Jika
Ragu, Tinggalkan!
Herry Tjahjono ; Terapis Budaya
Perusahaan
|
KOMPAS,
01 April 2014
MAJALAH Economist
edisi 20-26 Juli 2013 menulis tentang gaji anggota legislatif atau wakil
rakyat sejumlah negara. Hal yang mengejutkan, anggota DPR RI menempati urutan
ke-4 terbesar sejagat. Data diambil dari rilis Independent Parliamentary Standards Authority (IPSA) dan Dana
Moneter Internasional (IMF). Singkatnya, dalam setahun penghasilan seorang
anggota DPR RI bisa melebihi Rp 1 miliar.
Maka,
pertanyaannya: apakah prestasi dan produktivitas kerja mereka sesuai dengan
besarnya gaji yang diterima? Secara singkat, Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR
Siswono Yudo Husodo menyampaikan fakta tentang pertanyaan tersebut. Bahkan,
disampaikan, menjelang pemilihan legislatif, prestasi mereka akan makin
merosot dari segi produktivitas; meninggalkan sidang-sidang di DPR yang
seharusnya jadi tanggung jawab mereka.
Sesungguhnya
sudah rahasia umum betapa amburadulnya kinerja para wakil rakyat itu,
termasuk sikap kerjanya yang memalukan (bolos, tidur di ruang sidang, dan
lainnya). Tak sedikit survei dan hasil penelitian yang mengungkapkan tentang
buruknya kinerja mereka. Semua fakta yang diuraikan di atas mengantar kita
pada analogi pemetaan anggota organisasi sebuah perusahaan (baca: karyawan)
dari aspek hubungan komparatif ”kontribusi (yang diberikan) dengan kompensasi
(yang diterima)”. Hubungan komparatif itu berdasarkan prinsip memberi (the giving principle):
memberi–menerima.
Prinsip
ini mengajarkan bahwa manusia (dengan status, profesi, atau jabatan apa pun)
harus memberi lebih dulu baru menerima. Jika kita bersedia memberi lebih banyak,
kita akan menerima lebih banyak lagi. Bukan sebaliknya, menerima dulu baru
mau memberi. Seperti pernah disampaikan Einstein: give and take. Bukan take
and give yang populer dan kita kenal selama ini. Praksis manajemen sumber
daya manusia modern mengajarkan bahwa kinerja atau kontribusi seorang
karyawan bisa dikuantifikasikan. Konkretnya, bisa dihitung nilai nominalnya,
terutama dalam kaitan dengan kompensasi (nominal) yang diterima.
Dalam
ilustrasi ini diasumsikan kompensasi yang diterima seorang karyawan adalah X (secara nominal). Maka, ada tiga skema hubungan. Pertama,
seorang karyawan memberikan kontribusi (kinerja) kurang dari nilai kompensasi
X yang diterima, katakan hanya sebesar X-1. Karyawan tipe ini disebut bad
employee (karyawan yang buruk, di bawah standar) dan secara kuantitatif
karyawan buruk ini sesungguhnya ”berutang” pada perusahaan tempat dia
bekerja.
Kedua,
kontribusi (kinerja) seorang karyawan relatif sama dengan jumlah kompensasi X
yang dia terima. Karyawan tipe ini disebut good employee (karyawan standar,
biasa). Dia memberikan pas dengan yang dia terima meski dia tidak berutang
kepada perusahaannya.
Ketiga,
skema terakhir adalah jika kontribusi (kinerja) karyawan melebihi jumlah
kompensasi yang diterima, katakan X+1, dia disebut great employee (karyawan
hebat, di atas standar). Dia bukannya berutang, malah dia yang memberi lebih
kepada perusahaan.
Tiga prinsip memilih
Kondisi
wakil rakyat dengan kompensasi selangit tetapi kontribusi (kinerja) yang
menyedihkan (sekaligus memalukan)
beranalogi sempurna dengan bad employee, karyawan buruk. Mereka adalah
para wakil rakyat yang buruk dan jelas
berutang (sangat) besar kepada bangsa dan rakyat yang membayar mereka.
Melihat
skala dan kompleksitas permasalahan bangsa ini ke depan, yang
diperlukan—merujuk konsep Jim Collins (dalam Good to Great)—adalah great DPR. Bahkan, good DPR pun tak lagi
cukup, apalagi bad DPR. Kita perlu mengadaptasi konsepnya, yang secara
kontekstual sangat relevan dengan urgensi kebutuhan kita dalam proses pemilu
legislatif sesaat lagi.
Ada
beberapa prinsip yang perlu kita renungkan yang diharapkan jadi pedoman kita
dalam memilih kelak. Pertama, SDM (baca: wakil rakyat) bukanlah aset
perusahaan (baca: organisasi DPR). Yang benar: orang yang tepat (wakil rakyat
yang tepat) adalah aset perusahaan (DPR).
Kedua,
kompensasi atau reward bukan untuk membuat orang (wakil rakyat) yang salah
jadi benar, melainkan membuat wakil rakyat yang benar menjadi lebih
produktif. Jadi, konsekuensinya, kompensasi sebesar apa pun yang kita berikan
kepada para wakil rakyat itu (seperti saat ini terjadi) tidak menjamin akan
mengubah mereka jadi lebih baik dan produktif karena mereka adalah
orang-orang yang tidak tepat.
Prinsipnya:
”siapa yang Anda bayar, bukan berapa
banyak Anda membayarnya”. Prinsip itu makin meneguhkan betapa penting dan
krusial kesediaan dan kemampuan kita sebagai rakyat memilih para calon yang
tepat.
Ketiga,
prinsip lain yang penting adalah ”siapa”, baru ”apa”. Salah satu implikasi
penting prinsip ini adalah ketika kita ragu-ragu, jangan direkrut (baca:
dipilih). Bahkan, jika perlu, jika Anda melihat ada calon lain yang Anda
yakin tepat (meski bukan separtai dengan Anda), jangan ragu: pilih dia.
Sebagai
pemilih, hendaknya kita makin dewasa dengan menjadi pemilih yang proaktif
(aktif mencari informasi seobyektif mungkin) dan bukannya pasif menunggu
sampai datangnya saat mencoblos.
Selain dewasa, kita juga mesti makin bijak dengan menjadi pemilih yang
patriotik: menempatkan loyalitas pada bangsa (dan negara) di atas
loyalitas (sempit) pada partai. Jadi, jika ragu, tinggalkan. Kita rindu punya
DPR yang hebat yang selama ini hanya jadi mimpi. Peran kita sangat besar
untuk merealisasikan mimpi itu. Kita ”hanya” perlu menemukan dan memilih
manusia yang tepat, tak lebih tak kurang. Sekali lagi: jika ragu, tinggalkan!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar