Ekonomi,
Lingkungan dan Monorel
Prima Gandhi ; Pengajar pada
Departemen Ekonomi Sumber Daya
dan Lingkungan FEM IPB
|
KORAN
SINDO, 01 April 2014
Perbincangan
tentang monorel kembali ramai dibahas di media massa dan media sosial.
Monorel seakan menjadi trending topic, mungkin karena banyak alasan.
Pertama,
kesemrawutan lalu lintas di Jakarta semakin parah sehingga orang menuntut
adanya alat transportasi massal yang efektif. Kedua, ada segelintir orang
penting yang mengusahakan agar program Gubernur DKI untuk mengatasi kemacetan
ini dibatalkan. Penyebab utama kesemrawutan di Jakarta adalah arus lalu
lintas melampaui kapasitas jalan akibat jumlah kepemilikan kendaraan yang
tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah.
Selain
macet, pemborosan energi, kerugian waktu, peningkatan polusi udara, dan
peningkatan stres pengguna jalan merupakan dampak lain kesemrawutan Jakarta.
Melihat realitas dan dampak kesemrawutan lalu lintas ini, memang sangat
disayangkan jika ada segelintir orang berusaha membatalkan program monorel.
Secara
makro, monorel dibutuhkan Jakarta karena moda transportasi massal ini juga
dapat melestarikan lingkungan. Jakarta adalah kota dengan tingkat polusi yang
buruk. WHO (2010) menempatkan Jakarta bersama-sama Mexico City, Beijing, dan
Kairo sebagai metropolitan dengan udara yang paling tercemar. Masih dalam
skala global, kadar partikel debu (particulate
matter) yang terkandung dalam udara Jakarta adalah yang tertinggi nomor 9
(104 mikrogram per meter kubik) dari 111 kota dunia yang disurvei oleh Bank
Dunia.
Penyebab
paling signifikan dari polusi udara di Jakarta adalah gas buang kendaraan
bermotor yang menyumbang andil sebesar kurang lebih 70 persen dari total
polusi udara. Situasi ini bisa bertambah buruk mengingat setiap harinya
meluncur 1.000 unit mobil baru dan 5.000 unit sepeda motor baru di jalanan
ibu kota. Monorel yang sedang dikembangkan di Jakarta adalah alat
transportasi massal dengan rata-rata enam gerbong sekali jalan, melaju setiap
tiga menit, dengan kapasitas penumpang bisa mencapai 600 ribu orang per hari.
Dengan
adanya monorel yang berbahan bakar listrik, sehingga amat ramah lingkungan,
maka diharapkan polusi udara di Jakarta bisa turut terkurangi. Pelajaran dari
Las Vegas, Amerika Serikat, pada tahun 2007 menunjukkan, sistem monorel di
sana sudah membantu menghapus emisi sebanyak lebih dari 58 ton karbon
monoksida (CO), senyawa organik volatil (VOC), dan nitrogen oksida (NOx)
selama setahun. Adanya monorel di sana memang sanggup mengurangi laju
kendaraan sejauh 3,2 juta mil di jalan raya utama Southern Nevada.
Monorel
juga memakai roda karet yang tidak berisik saat dipakai melintas di atas rel
beton. Ini merupakan kelebihan monorel dibandingkan MRT dan KRL Commuter Line
yang memakai roda besi dan berjalan di atas rel besi pula, sehingga
menimbulkan polusi suara. Sepertinya monorel memang pas untuk Jakarta. Moda
transportasi ini hanya membutuhkan ruang kecil untuk tiang-tiang
penyangganya.
Monorel
juga bisa didesain untuk mengatasi belantara beton ibukota. Moda ini bisa
dibawa menanjak, menurun, berbelok lebih tajam dan cepat dibanding kereta
biasa. Utamanya lagi, monorel juga aman karena keretanya yang seakan memegang
erat jalur rel. Jalur monorel yang berada di atas jalan raya untuk
menghindarinya dari ancaman tabrakan dengan pejalan raya dan pengendara
lainnya. Menurut catatan the monorails
society di Amerika, dari sebanyak 2 miliar pengguna monorel di seluruh
dunia, angka kecelakaannya ternyata masih 0.
Selain
itu monorel juga menguntungkan secara bisnis. Dengan pengelolaan yang tepat
dan efisien, kita bisa mengambil contoh Tokyo-Haneda
Monorail yang sudah beroperasi sejak 1964. Layanan ini dimiliki oleh
swasta dan terus menghasilkan keuntungan setiap tahun. Begitu pula The Seattle Center Monorail, yang
dibangun tahun 1962, dijalankan oleh swasta pula dan sanggup memberikan pajak
signifikan setoran ke pemerintah kota Seattle. Belakangan, kota-kota
berpenduduk padat di seluruh dunia terus mengembangkan monorel.
Ambil
contoh Mumbai dan Chennai di India, Beijing dan Xi’an di Tiongkok, Bangkok
(Thailand), dan Sao Paolo (Brasil). Di sini, monorel juga bisa diharapkan
mampu meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Jakarta sebagai pusat
ekonomi Indonesia dinilai sudah tidak efisien dan efektif untuk berbisnis. Di
kota ini, mobil hanya melaju dengan kecepatan rata-rata 8,7 kilometer per
jam! Dan setiap hari, setiap orang terpaksa membuang waktu setidaknya dua jam
hanya untuk beperjalanan.
Kesemrawutan,
kemacetan dan banjir memiliki opportunity
cost yang tinggi terhadap bisnis. Pusat Penelitian Pusat Pengkajian dan
Pengembangan IPB (P4W) Institut Pertanian Bogor menyatakan, kesemrawutan
Jakarta mengakibatkan merosotnya daya saing Jakarta sebagai kota bisnis di
mata Internasional. Jika ini terus berlangsung maka Jakarta bisa kehilangan
daya saing bisnis dan ekonomi di tahun 2030 (Ernan Rustiadi, 2010).
Selain
itu, berdasarkan data Kadin DKI yang didapatkan dari kajian Universitas
Indonesia di akhir tahun 2013, kerugian ekonomi akibat kemacetan di Jakarta
ini setiap tahunnya berkisar Rp12,8 triliun. Sementara, monorel lebih murah
dibangun dan dirawat dibanding kereta bawah tanah. Jika ada monorel, dan moda
transportasi massal ini berkembang di Jakarta, maka setiap orang bisa merasa
lebih nyaman hidupnya. Waktu bisa dialokasikan secara lebih produktif.
Manfaat
lain dari proyek monorel adalah terciptanya lapangan kerja. Tak kurang dari
seribu pekerja baru akan terserap dalam proyek ini. Monorel juga bisa membuat
Jakarta tidak lumpuh saat banjir. Jakarta, sebagai kota pesisir, rentan pada
tingginya curah hujan dan peningkatan permukaan laut. Kedua hal itu merupakan
penyebab banjir yang mampu melumpuhkan kota.
National Geographic dalam
laporan akhir tahun 2013 menyatakan Indonesia sebagai kota kesebelas rawan
banjir dari 101 negara yang disurvei di dunia. Ini berarti sampai 20 tahun ke
depan Jakarta tetap rawan banjir. Monorel dengan jalur menggunakan tiang
penyangga, memberikan solusi bagi masyarakat agar bisa bertransportasi saat
banjir.
Dengan
banyaknya manfaat dari monorel, kebijakan membangun monorel harus segera
dimulai. Kita harus melihat monorel ini sebagai suatu kesatuan sistem
transportasi massal di Indonesia. Monorel adalah salah satu penyangga dalam
sistem tersebut yang ke depannya diharapkan sistem transportasi massal di
Jakarta akan kian besar dengan berbagai pilihan yang memudahkan warga
Jakarta.
Jika
kita masih bercita-cita menjadi negara besar dan sejahtera, kita harus bisa melepas
vested dan political interest pribadi sebagai warga negara. Terakhir, untuk
membuat Jakarta lebih baik, masyarakat Jakarta harus mementingkan kepentingan
bersama dibanding kepentingan pribadi atau kelompok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar