Rabu, 25 April 2012

Industri “Korupsi”


Industri “Korupsi”
Jede Kuncoro, Ketua Umum Lembaga Pengawas Kebijakan Publik (LPKaP)
SUMBER : SUARA MERDEKA, 25 April 2012


ANTHONY Robin, pakar neuro-linguistic programming (NLP) berpendapat, perilaku manusia selalu didorong oleh dua motif, yakni pertama; mencari kenikmatan, dan kedua; menghindari kesengsaraan. Tentu saja premis dasar ini tidak berlaku mutlak. Kita jamak menemui praktik menyakiti diri sendiri sampai dengan bunuh diri. Meski demikian jumlahnya tidaklah sesignifikan seperti disinyalir Robin.

Bagaimana soal korupsi? Dari konteks jumlah pelaku, korupsi tampaknya lebih dipersepsi sebagai sumber kenikmatan ketimbang kesengsaraan. Konon bila semua koruptor dipidana, yang tersisa hanyalah rakyat tanpa aparat. Sebegitu parahkah? Bisa jadi. Tengok saja bagaimana life style para pejabat. Standar hidup mereka jauh melampaui penghasilan resminya.

Nilai kolektif masyarakat kini telah berubah, dari penghargaan terhadap intangible value (nilai) ke tangible value (benda). Budi pekerti dan watak satriya utama tergilas oleh modernisasi, alih-alih diuri-uri ia terancam menjadi fosil sejarah. Manusia modern yang asyik berkompetisi terhadap sumber-sumber ekonomi, alpa merawat nilai-nilai hakiki warisan leluhur.

Akibatnya, pragmatisme menyeruak ke berbagai sendi kehidupan. Kini, di tengah derap hedonisme, materialisme, dan konsumtivisme, kita makin jauh meninggalkan nilai-nilai transendental, seperti kejujuran, tanggung jawab, dan kesederhanaan. Paripurnalah penderitaan Pancasilaisme di atas kedigdayaan neoliberalisme.

Bagi sebuah negeri, menjadi petaka besar manakala rakyatnya justru bangga dengan perilaku buruknya (korupsi). Contohnya adalah koruptor yang tampil tanpa rasa bersalah, didampingi pengacara yang sangat percaya diri, konon dengan dalih akan memberantas korupsi. Sungguh susah dinalar, membela koruptor tetapi sekaligus memberantas korupsi.

Hakikat Korupsi

Tidak sedikit koruptor yang diputus bebas oleh pengadilan tipikor. Akhirnya, merujuk pada teori Anthony Robin, korupsi lebih dipersepsi sebagai sumber kenikmatan ketimbang sumber kesengsaraan. Terlebih ketika jumlah koruptor yang ditangkap, jauh lebih sedikit ketimbang jumlah pelakunya. Korupsi kemudian menjadi business opportunity, di tengah rendahnya kemampuan aparat, yang jauh di bawah kemampuan koruptor untuk melemahkannya. Kini, korupsi telah menyerupai industri.

Jadi apa yang bisa dilakukan? Sederhananya adalah, mengubah hakikat korupsi, dari sumber kenikmatan menjadi sumber kesengsaraan.

Dari sesuatu yang sangat diinginkan, menjadi sesuatu yang harus dihindari. Itu semua membutuhkan perbaikan sistem ketatanegaraan. Khususnya adalah, perbaikan sistem pengawasan, sekaligus penguatan lembaga pengawasan.

Tentunya tidak bisa parsial namun holistik, dalam bentuk pencegahan sekaligus penindakan. Sumber-sumber korupsi di sektor hulu, misalnya di Ditjen Pajak harus disumbat, antara lain dengan mereduksi kekuasaan yang menumpuk.

Merujuk pada apa yang disinyalir mantan napi kasus pajak, Heri Prabowo, kekuasaan yang terlalu besar di satu tangan membuat aparat Ditjen Pajak mudah korupsi.  Maka kekuasaan Ditjen Pajak harus didekonsentrasi, antara lain dengan mengeluarkan kewenangan mengadili sengketa pajak, dan kewenangan menyita aset wajib pajak. Keduanya harus menjadi domain dari peradilan yang dibuat khusus untuk itu. Dengan dikeluarkannya dua kewenangan tersebut, kekuasaan yang terlalu besar di ditjen tersebut menyusut sehingga peluang korupsi pun berkurang.  Korupsi telah menjadi industri, tidak cukup diatasi dengan sistem yang ada. Kita memerlukan sistem pengawasan yang jauh lebih baik, dan lembaga pengawasan yang jauh lebih kuat. Saatnya berbenah, saatnya jujur, dan bertanggung jawab. ●

1 komentar:

  1. analisanya tajam dan penuh makna. mantap Pak Jede, dan teruslah berkarya.

    Salam,
    Natsir Kongah

    BalasHapus