Akhirnya
Harta Karun Laut Itu Dijual
Djulianto Susantio, Anggota
Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
SUMBER
: SINAR HARAPAN, 24 April 2012
Akhirnya artefak cagar budaya—yang populer
disebut harta karun laut—dari Indonesia itu dijual di Singapura awal April
2012. Sebenarnya benda-benda tersebut pernah dilelang di Indonesia tahun 2010
dan menarik minat banyak negara.
Namun, adanya keharusan bahwa setiap peserta
lelang menyetor uang jaminan sebesar 20 persen dari perkiraan penjualan
minimal, yakni sebesar US$ 16 juta, membuat para peserta lelang menarik diri.
Apalagi penjualan hanya dilakukan satu lot,
tidak dipilah-pilah sebagaimana lelang pada umumnya. Ketika itu diperkirakan
hasil lelang akan mencapai US$ 80 juta. Lelang kedua dan ketiga berupa
penawaran langsung kepada museum, juga tidak menarik peminat.
Benda-benda kuno tersebut berasal dari kapal
kargo asal Tiongkok yang tenggelam pada abad ke-10 Masehi di perairan Cirebon,
Jawa Barat. Sekitar 250.000 benda terdiri atas berbagai artefak itu, pertama
kali ditemukan para nelayan pada sebuah bangkai kapal sedalam 57 meter di bawah
laut. Di luar Tiongkok, benda-benda kuno lainnya berasal dari India dan wilayah
Timur Tengah.
Sesuai kesepakatan dengan Panitia Nasional
Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda-benda Berharga Asal Muatan Kapal yang
Tenggelam (Pannas BMKT), maka ditunjuk PT Paradigma Putra Sejahtera (PPS) untuk
bekerja sama dengan Belgia Cosmix Underwater Research Ltd. Seluruh benda yang
diangkat akan dibagi dua, yakni untuk perusahaan investor (eksplorer) dan
pemerintah RI.
Dengan catatan, artefak-artefak yang langka
dan unik diprioritaskan menjadi koleksi negara. Tercatat 991 artefak telah
dipilih menjadi koleksi negara untuk ditempatkan dalam museum-museum yang
ditunjuk.
Koleksi yang dijual di Singapura itu—dalam
sebuah transaksi yang tidak dipublikasikan ke publik—mencakup rubi, mutiara,
perhiasan emas, batu kristal dari dinasti Fatimiyah, gelas dari Iran, dan
porselen kekaisaran Tiongkok.
Benda-benda tersebut dijual dalam satu batch
sehingga dapat dibeli oleh kolektor atau museum yang berminat. Menurut Luc
Heymans, pemimpin Belgia Cosmix Underwater Research Ltd, barang-barang itu
merupakan temuan terbesar dari Asia Tenggara, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas.
Kejanggalan
Disayangkan, penjualan benda-benda kuno di
Singapura itu mengindikasikan kecurangan. Sebagai contoh adalah hulu pedang
yang saat ditemukan berjumlah dua. Ketika itu kondisi yang satu masih bagus,
sementara koleksi satunya lebih jelek. Menurut kesepakatan, seandainya ada dua
barang, maka yang terbaik harus menjadi koleksi negara. Ironisnya, yang terjadi
kebalikannya. Benda yang jelek malah jadi koleksi negara. Diperkirakan hulu
pedang tersebut milik seorang pembesar yang turut dalam kapal.
Arkeolog Bambang Budi Utama dikutip
mengatakan dirinya tidak tahu siapa yang mengambil keputusan pelelangan
tersebut. Dia hanya bertugas memilih dengan segala kemampuan dan pertimbangan
yang ada. Konon, artefak yang dipilih kemudian masuk dalam daftar lelang,
ditukar dengan cetakan bertulisan asmaul husna. Padahal, sesungguhnya cetakan
tersebut juga sudah termasuk yang dipilih untuk koleksi negara.
Menurut Bambang, kejanggalan lain adalah tim
pemilih tidak diberi akses untuk menyeleksi perhiasan yang disimpan di safety
box Bank Mandiri. Dalam safety box juga terdapat prasasti emas dari abad 9-10
M, sebagaimana terlihat pada foto.
Menurut dia, kejanggalan itu perlu ditelusuri
dan diusut tuntas, sebab bagaimana mungkin barang sedemikian banyaknya bisa
lolos sampai Singapura. Padahal, tidak pernah sekalipun ada perorangan atau
instansi yang minta izin ke instansi Kebudayaan (Direktorat Peninggalan Bawah
Air, sekarang Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman), apalagi
instansi Kebudayaan tidak akan memberikan izin keluar barang-barang tersebut.
Sejarah Penemuan
Pada Februari 2003, sekitar 70 kilometer
lepas pantai perairan Cirebon, jaring ikan nelayan setempat tersangkut beberapa
benda keramik. Informasi ini kemudian ditindaklanjuti oleh PT Paradigma Putra
Sejahtera (PPS) yang bekerja sama dengan Belgia Cosmix Underwater Research Ltd.
Mereka mengajukan permohonan izin kepada Pannas BMKT untuk melakukan survei dan
selanjutnya melakukan pengangkatan. Proses tersebut dimulai pada April 2004 dan
berakhir Oktober 2005.
Lebih dari 500.000 benda berhasil diangkat
dari runtuhan kapal yang tenggelam itu. Sekitar 262.000 keramik dikembalikan
lagi ke laut karena pecah. Benda-benda tersebut terbuat dari kayu, logam, kaca,
keramik, batu, dan gading. Ada juga rempah-rempah dan kemenyan. Artefak berupa
keramik paling menonjol, jumlahnya mencapai 90-an persen dari keseluruhan
benda.
Keramik dari perairan Cirebon terdiri atas
tiga jenis, yakni porselen, bahan batuan (stoneware), dan tembikar (earthenware).
Temuan terbanyak berupa mangkuk, piring, guci, dan cepuk. Keramik-keramik
tersebut diidentifikasi buatan Provinsi Zhejiang di Tiongkok dari masa Dinasti
Lima yang memerintah mulai abad ke-9 Masehi (Widiati, 2007:16-25).
Di antara kepingan kapal juga ditemukan kayu.
Diduga merupakan sisa-sisa runtuhan kapal. Temuan lain berupa gigi, gading,
tanduk, kerajinan tangan, dadu, pion catur, dan buah kelapa. Penemuan tulang
manusia sangat sedikit. Kemungkinan besar, para awak kapal mampu menyelamatkan
diri ke daratan ketika terjadi musibah.
Ekskavasi
Menurut Horst Liebner (Varuna, Jurnal
Arkeologi Bawah Air, 2007), posisi tenggelamnya kapal menjadi kunci dalam
menentukan trayek dan haluan pelayaran. Berhubung muatan yang diangkut berasal
dari Tiongkok, India, Timur Tengah, dan Sumatera, kemungkinan kapal itu
berlayar dari kawasan barat Nusantara ke arah timur.
Hampir seluruh artefak yang diangkat, bukan
produk kerajaan di Nusantara. Khusus artefak yang beraksara Arab, merupakan
nilai tambah untuk menafsirkan sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Berdasarkan
temuan ini, kemungkinan besar Islam masuk ke Indonesia bukan lagi awal abad
ke-12, tetapi sekitar abad ke-9 Masehi melalui orang-orang yang berhubungan
dagang dengan Nusantara.
Bambang Budi Utomo menduga, kapal yang
tenggelam itu berasal dari Pelabuhan Kufah atau Basra yang sekarang termasuk
wilayah Irak. Dalam pelayarannya ke arah timur, mungkin menuju Pelabuhan
Kambangputih (Tuban), kapal itu sempat singgah di Sumatera. Setelah meneruskan
perjalanan, kemudian tertimpa musibah di perairan Cirebon.
Tidak Serius
Liebner menilai tidak ada keseriusan, baik
pemerintah maupun ilmuwan Indonesia, dalam menangani temuan tersebut.
Bertahun-tahun lamanya, yaitu sejak akhir 2005, semua benda temuan itu
tersimpan begitu saja di sebuah gudang.
“Contohnya adalah lembaran emas. Ketika
membawanya ke darat, saya meminta agar dilakukan langkah-langkah konservasi
lalu menerjemahkan tulisan yang ada di atasnya. Namun, petugas pengawasan
memutuskan menyimpannya di safety box Bank Mandiri. Meski saya sudah buat foto
mozaik dan rekonstruksi tulisannya kemudian membaginya ke beberapa orang, tiada
seorang ilmuwan Indonesia pun yang tertarik menerjemahkannya,” kata Liebner.
“Setelah bertahun-tahun, akhirnya hanya teman
dari EFEO baru-baru ini mau menganalisis foto mozaik tulisan itu. Nasib
sampel-sampel lainnya lebih memprihatinkan, hanya membusuk di gudangnya,”
cerita Liebner (5/4/2012).
Menurut Liebner, sebenarnya Indonesia sudah
beberapa kali “menggudangkan” temuan-temuan serupa. Misalnya temuan kapal karam
Intan dan Karawang yang berasal dari kurun waktu yang sama. “Sudah pernahkah
ada informasi, terbitan, atau hasil penelitian tentang ini, selain yang dibuat
oleh orang asing (bagi muatan Intan oleh M Flecker) atau pekerja lepas
perusahaan salvage (bagi Karawang oleh sekelompok alumni arkeologi UI)?” kata
Liebner. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar