Rabu, 25 April 2012

Akhirnya Harta Karun Laut Itu Dijual


Akhirnya Harta Karun Laut Itu Dijual
Djulianto Susantio, Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
SUMBER : SINAR HARAPAN, 24 April 2012


Akhirnya artefak cagar budaya—yang populer disebut harta karun laut—dari Indonesia itu dijual di Singapura awal April 2012. Sebenarnya benda-benda tersebut pernah dilelang di Indonesia tahun 2010 dan menarik minat banyak negara.

Namun, adanya keharusan bahwa setiap peserta lelang menyetor uang jaminan sebesar 20 persen dari perkiraan penjualan minimal, yakni sebesar US$ 16 juta, membuat para peserta lelang menarik diri.

Apalagi penjualan hanya dilakukan satu lot, tidak dipilah-pilah sebagaimana lelang pada umumnya. Ketika itu diperkirakan hasil lelang akan mencapai US$ 80 juta. Lelang kedua dan ketiga berupa penawaran langsung kepada museum, juga tidak menarik peminat.

Benda-benda kuno tersebut berasal dari kapal kargo asal Tiongkok yang tenggelam pada abad ke-10 Masehi di perairan Cirebon, Jawa Barat. Sekitar 250.000 benda terdiri atas berbagai artefak itu, pertama kali ditemukan para nelayan pada sebuah bangkai kapal sedalam 57 meter di bawah laut. Di luar Tiongkok, benda-benda kuno lainnya berasal dari India dan wilayah Timur Tengah.

Sesuai kesepakatan dengan Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda-benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam (Pannas BMKT), maka ditunjuk PT Paradigma Putra Sejahtera (PPS) untuk bekerja sama dengan Belgia Cosmix Underwater Research Ltd. Seluruh benda yang diangkat akan dibagi dua, yakni untuk perusahaan investor (eksplorer) dan pemerintah RI.

Dengan catatan, artefak-artefak yang langka dan unik diprioritaskan menjadi koleksi negara. Tercatat 991 artefak telah dipilih menjadi koleksi negara untuk ditempatkan dalam museum-museum yang ditunjuk.

Koleksi yang dijual di Singapura itu—dalam sebuah transaksi yang tidak dipublikasikan ke publik—mencakup rubi, mutiara, perhiasan emas, batu kristal dari dinasti Fatimiyah, gelas dari Iran, dan porselen kekaisaran Tiongkok.

Benda-benda tersebut dijual dalam satu batch sehingga dapat dibeli oleh kolektor atau museum yang berminat. Menurut Luc Heymans, pemimpin Belgia Cosmix Underwater Research Ltd, barang-barang itu merupakan temuan terbesar dari Asia Tenggara, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Kejanggalan

Disayangkan, penjualan benda-benda kuno di Singapura itu mengindikasikan kecurangan. Sebagai contoh adalah hulu pedang yang saat ditemukan berjumlah dua. Ketika itu kondisi yang satu masih bagus, sementara koleksi satunya lebih jelek. Menurut kesepakatan, seandainya ada dua barang, maka yang terbaik harus menjadi koleksi negara. Ironisnya, yang terjadi kebalikannya. Benda yang jelek malah jadi koleksi negara. Diperkirakan hulu pedang tersebut milik seorang pembesar yang turut dalam kapal.

Arkeolog Bambang Budi Utama dikutip mengatakan dirinya tidak tahu siapa yang mengambil keputusan pelelangan tersebut. Dia hanya bertugas memilih dengan segala kemampuan dan pertimbangan yang ada. Konon, artefak yang dipilih kemudian masuk dalam daftar lelang, ditukar dengan cetakan bertulisan asmaul husna. Padahal, sesungguhnya cetakan tersebut juga sudah termasuk yang dipilih untuk koleksi negara.

Menurut Bambang, kejanggalan lain adalah tim pemilih tidak diberi akses untuk menyeleksi perhiasan yang disimpan di safety box Bank Mandiri. Dalam safety box juga terdapat prasasti emas dari abad 9-10 M, sebagaimana terlihat pada foto.

Menurut dia, kejanggalan itu perlu ditelusuri dan diusut tuntas, sebab bagaimana mungkin barang sedemikian banyaknya bisa lolos sampai Singapura. Padahal, tidak pernah sekalipun ada perorangan atau instansi yang minta izin ke instansi Kebudayaan (Direktorat Peninggalan Bawah Air, sekarang Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman), apalagi instansi Kebudayaan tidak akan memberikan izin keluar barang-barang tersebut.

Sejarah Penemuan

Pada Februari 2003, sekitar 70 kilometer lepas pantai perairan Cirebon, jaring ikan nelayan setempat tersangkut beberapa benda keramik. Informasi ini kemudian ditindaklanjuti oleh PT Paradigma Putra Sejahtera (PPS) yang bekerja sama dengan Belgia Cosmix Underwater Research Ltd. Mereka mengajukan permohonan izin kepada Pannas BMKT untuk melakukan survei dan selanjutnya melakukan pengangkatan. Proses tersebut dimulai pada April 2004 dan berakhir Oktober 2005.

Lebih dari 500.000 benda berhasil diangkat dari runtuhan kapal yang tenggelam itu. Sekitar 262.000 keramik dikembalikan lagi ke laut karena pecah. Benda-benda tersebut terbuat dari kayu, logam, kaca, keramik, batu, dan gading. Ada juga rempah-rempah dan kemenyan. Artefak berupa keramik paling menonjol, jumlahnya mencapai 90-an persen dari keseluruhan benda.

Keramik dari perairan Cirebon terdiri atas tiga jenis, yakni porselen, bahan batuan (stoneware), dan tembikar (earthenware). Temuan terbanyak berupa mangkuk, piring, guci, dan cepuk. Keramik-keramik tersebut diidentifikasi buatan Provinsi Zhejiang di Tiongkok dari masa Dinasti Lima yang memerintah mulai abad ke-9 Masehi (Widiati, 2007:16-25).

Di antara kepingan kapal juga ditemukan kayu. Diduga merupakan sisa-sisa runtuhan kapal. Temuan lain berupa gigi, gading, tanduk, kerajinan tangan, dadu, pion catur, dan buah kelapa. Penemuan tulang manusia sangat sedikit. Kemungkinan besar, para awak kapal mampu menyelamatkan diri ke daratan ketika terjadi musibah.

Ekskavasi

Menurut Horst Liebner (Varuna, Jurnal Arkeologi Bawah Air, 2007), posisi tenggelamnya kapal menjadi kunci dalam menentukan trayek dan haluan pelayaran. Berhubung muatan yang diangkut berasal dari Tiongkok, India, Timur Tengah, dan Sumatera, kemungkinan kapal itu berlayar dari kawasan barat Nusantara ke arah timur.

Hampir seluruh artefak yang diangkat, bukan produk kerajaan di Nusantara. Khusus artefak yang beraksara Arab, merupakan nilai tambah untuk menafsirkan sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Berdasarkan temuan ini, kemungkinan besar Islam masuk ke Indonesia bukan lagi awal abad ke-12, tetapi sekitar abad ke-9 Masehi melalui orang-orang yang berhubungan dagang dengan Nusantara.

Bambang Budi Utomo menduga, kapal yang tenggelam itu berasal dari Pelabuhan Kufah atau Basra yang sekarang termasuk wilayah Irak. Dalam pelayarannya ke arah timur, mungkin menuju Pelabuhan Kambangputih (Tuban), kapal itu sempat singgah di Sumatera. Setelah meneruskan perjalanan, kemudian tertimpa musibah di perairan Cirebon.

Tidak Serius

Liebner menilai tidak ada keseriusan, baik pemerintah maupun ilmuwan Indonesia, dalam menangani temuan tersebut. Bertahun-tahun lamanya, yaitu sejak akhir 2005, semua benda temuan itu tersimpan begitu saja di sebuah gudang.

“Contohnya adalah lembaran emas. Ketika membawanya ke darat, saya meminta agar dilakukan langkah-langkah konservasi lalu menerjemahkan tulisan yang ada di atasnya. Namun, petugas pengawasan memutuskan menyimpannya di safety box Bank Mandiri. Meski saya sudah buat foto mozaik dan rekonstruksi tulisannya kemudian membaginya ke beberapa orang, tiada seorang ilmuwan Indonesia pun yang tertarik menerjemahkannya,” kata Liebner.

“Setelah bertahun-tahun, akhirnya hanya teman dari EFEO baru-baru ini mau menganalisis foto mozaik tulisan itu. Nasib sampel-sampel lainnya lebih memprihatinkan, hanya membusuk di gudangnya,” cerita Liebner (5/4/2012).

Menurut Liebner, sebenarnya Indonesia sudah beberapa kali “menggudangkan” temuan-temuan serupa. Misalnya temuan kapal karam Intan dan Karawang yang berasal dari kurun waktu yang sama. “Sudah pernahkah ada informasi, terbitan, atau hasil penelitian tentang ini, selain yang dibuat oleh orang asing (bagi muatan Intan oleh M Flecker) atau pekerja lepas perusahaan salvage (bagi Karawang oleh sekelompok alumni arkeologi UI)?” kata Liebner. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar