Rabu, 25 April 2012

Memaknai Putusan Nazaruddin


Memaknai Putusan Nazaruddin
Marwan Mas, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUMBER : SINDO, 25 April 2012


Proses peradilan terdakwa Nazaruddin yang begitu panjang dan berliku untuk sementara telah memperoleh putusan dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada Jumat (20/4/2012).

Nazaruddin dijatuhi pidana penjara selama empat tahun sepuluh bulan dan denda sebesar Rp200 juta yang dapat diganti empat bulan kurungan. Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan cara menerima suap berupa cek senilai Rp4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah. Putusan yang dijatuhkan hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut tujuh tahun penjara, plus denda Rp300 juta, subsider enam bulan kurungan.

Nazaruddin dinilai terbukti melanggar Pasal 11 UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan dakwaan ketiga. Padahal, dalam tuntutan jaksa diurai bahwa Nazaruddin terbukti melanggar Pasal 12 huruf b UU Nomor 20/2001 yang memuat ancaman paling sedikit empat tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara.

Masih di Lorong Gelap

Meski Nazaruddin dan tiga tersangka lain kasus suap Wisma Atlet sudah dijatuhi pidana, harapan publik agar kasus ini diungkap sampai ke akar-akarnya masih tersesat di lorong gelap. Nyanyian Nazaruddin, Rosa, dan beberapa saksi lain yang dihadirkan penasihat hukum Nazaruddin di sidang pengadilan belum memperlihatkan kemajuan berarti di tingkat penyidikan KPK. Salah satu penyebabnya adalah dugaan kasus ini didesain hanya sampai pada level tertentu.

Dugaan ini bisa terbaca pada berita acara pemeriksaan (BAP) yang terurai di depan persidangan Nazaruddin dan Rosa. Indikasi lain dapat juga disimak pada penetapan Angelina sebagai tersangka, tetapi belum diperiksa oleh penyidik sampai putusan Nazaruddin dijatuhkan. Timbullah tudingan miring pada pimpinan KPK yang dianggap terburu-buru menetapkan Angelina sebagai tersangka, padahal belum didukung oleh bukti yang cukup.

Semuanya serbakabur sehingga wajar jika publik khawatir kasus ini hanya sampai pada Nazaruddin, tidak pada nama-nama yang disebut dan diungkap dalam sidang pengadilan. Penyidik KPK terpaksa harus memutar otak bagaimana fakta yang ada itu bisa mengantar Angelina ke ruang sidang pengadilan. Fakta lain yang tidak dimaknai secara baik oleh penyidik— kalau tidak dikatakan sebagai upaya untuk ditutupi— adalah kesaksian Yulianis yang mengungkap ada pihak yang membiayai apartemen tempat dirinya diperiksa penyidik.

Yulianis terkesan diproteksi, padahal bisa menjadi pintu masuk untuk menjerat nama-nama yang disebut Nazaruddin. Hal ini pernah ditanggapi penasihat hukum Yulianis, Junimart Girsang, (6/3) tentang perlakuan istimewa KPK kepada Yulianis. Apakah pemeriksaan Yulianis di luar Gedung KPK pada dua tempat dalam waktu berbeda sebagai bagian dari upaya untuk menyembunyikan Yulianis dari intaian media massa? Kenapa Yulianis tidak ditetapkan sebagai tersangka? Padahal bukti untuk itu sudah cukup seperti keterangan sejumlah saksi yang menyebutkan Yulianis yang memberikan uang suap Wisma Atlet ke beberapa anggota DPR.

Meski juru bicara KPK membantah tudingan penasihat hukum Yulianis dan KPK bekerja independen dan tidak menutupi kasus ini, patut dipertanyakan tentang begitu banyaknya aspek yang tidak terungkap dan dimaksimalkan penyidik mengenai peran Yulianis. Semuanya bisa terjawab dan kasus Wisma Atlet bisa lepas dari lorong gelap jika KPK jilid III berani merevisi pola penyidikan dan merealisasi komitmennya saat uji kelayakan di depan Komisi III DPR.

Kotak Pandora

Mengungkap kasus Wisma Atlet yang diduga melibatkan elite politik bukan persoalan gampang. Begitu banyak penghalang, laksana sebuah jaring laba-laba, tetapi hanya mampu menjerat serangga kecil. Publik juga tersita perhatiannya, bukan hanya karena banyaknya nama-nama besar yang disebut- sebut terlibat, melainkan juga berbagai testimoni selama persidangan yang saling menyudutkan. Proses persidangan Nazaruddin sampai dijatuhkan putusan penuh kejutan mengingatkan orang pada mitologi Yunani tentang keberadaan sebuah kotak pandora.

Dikisahkan, betapa mengejutkan saat Pandora membuka sebuah kotak, tetapi akibatnya amat mengerikan lantaran petaka datang silih berganti tanpa bisa dihentikan. Mitologi ini terjadi pada kasus Wisma Atlet, banyak kejutan muncul laksana sebuah petaka bagi nama-nama yang dituding. Bermunculan begitu banyak fakta yang terungkap dalam sidang pengadilan Nazaruddin, tetapi sekadar fakta karena tidak mampu dijinakkan oleh KPK menjadi sebuah bukti hukum. Saksi yang hadir di persidangan lebih banyak yang menyatakan “lupa dan tidak tahu”.

Sementara hakim tidak berani menerapkan ketentuan Pasal 242 KUHP (Pidana) tentang larangan memberikan keterangan palsu (bohong) di atas sumpah dalam sidang pengadilan. Padahal, ini bertujuan agar proses pengadilan berjalan pada rel yang benar demi mencari dan menemukan kebenaran materiil. Jika negeri ini betul-betul serius memerangi korupsi, baiknya Pengadilan Tipikor dilengkapi alat pendeteksi kebohongan (lie detector) yang bisa berfungsi sebagai alat bukti.Hasil pemeriksaan dan keabsahan tes lie detector diperkuat oleh ahli forensik komputer.

Publik berharap agar KPK lebih memaknai putusan hakim, terutama pada fakta persidangan yang dituangkan dalam pertimbangan majelis hakim. Fakta itu harus ditelusuri tentang kaitannya dengan elite politik dan kekuasaan yang diduga terlibat. KPK tidak boleh ragu,apalagi takut untuk menjerat tokoh penting dalam politik agar perpolitikan negeri ini tidak tersandera tanpa ada kepastian.

Sudah cukup lama rasa keadilan rakyat dirampas oleh para koruptor, dan petaka mengerikan atas terbukanya kotak pandora dalam sidang Nazaruddin harus diurai dan dibuat terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar