Kartini
Suara Subaltern
Asrudin, Peneliti di Lingkaran Survei Indonesia Grup
SUMBER
: KORAN TEMPO, 21 April 2012
Bandingkan dengan tulisan Asrudin di Suara Karya 20 April 2012 (Memaknai Hari Kartini)
http://budisansblog.blogspot.com/2012/04/memaknai-hari-kartini.html
Bandingkan dengan tulisan Asrudin di Suara Karya 20 April 2012 (Memaknai Hari Kartini)
http://budisansblog.blogspot.com/2012/04/memaknai-hari-kartini.html
"Kamu
tahu motto hidupku? ‘Aku mau’. Dua kata sederhana ini telah membawaku melewati
gemunung kesulitan. ‘Aku tidak mampu’ berarti menyerah. ‘Aku mau!’ mendaki
gunung itu."
Demikian Kartini mengatakan hal itu kepada
Stella Zeehandelaar (seorang perempuan Belanda) dalam suratnya pada 23 Agustus
1900. Moto "aku mau" bukan tanpa makna. "Aku mau"
menunjukkan keinginan keras Kartini untuk mengubah situasi dan kondisi
Indonesia yang saat itu terbilang cukup memprihatinkan: marginalisasi terhadap
perempuan dan kondisi kolonialisme.
Atas situasi tersebut, Kartini tidak hanya
berdiam diri. Ia justru melawannya. Dalam konteks ini, Kartini dapat dipandang
sebagai tokoh perempuan Indonesia yang mewakili suara perempuan yang tertindas,
subordinat, dan non-hegemonik (subaltern).
Dalam spirit Hari Kartini, tepat kiranya jika
suara Kartini terus digaungkan untuk dapat dijadikan sebagai sebuah
pembelajaran bagi perempuan Indonesia. Agar pada saatnya nanti akan datang
sebuah era ketika tidak ada lagi diskriminasi di semua lapangan kehidupan
ataupun kekerasan terhadap perempuan Indonesia.
Istilah "subaltern" pertama kali
digunakan oleh pemikir Marxis kenamaan asal Italia, Antonio Gramsci, untuk
merujuk pada kaum petani asal desa Italia Selatan yang pencapaian kesadaran
sosial dan politiknya terbatas dan lemah. Dalam bukunya yang berjudul Prison
Notebook (1929-1935), Gramsci memakai istilah "subaltern" secara
bergantian dengan "subordinat" dan "instrumental" untuk
menggambarkan petani tersebut sebagai kelompok atau kelas yang non-hegemonik.
Dengan mengacu pada istilah subaltern
Gramsci, Kartini dapat disebut sebagai tokoh subaltern, meskipun dikenal
sebagai anak dari keluarga bangsawan. Mengapa? Karena Kartini adalah anak gadis
yang dipingit, yang kemudian harus tunduk agar mau dinikahkan secara paksa
(subordinat). Tapi Kartini tidak hanya berdiam diri. Kartini melawan itu semua,
bersuara melawan kesepian karena pingitan, bersuara melawan arus kekuasaan
besar penjajahan, yang dapat ditemukan dalam catatan-catatan pribadinya.
Seperti Gramsci dalam Prison Notebook, Kartini juga meninggalkan
catatan-catatan sebagai bentuk perlawanan.
Dalam korespondensinya dengan Stella
Zeehandelaar (1899-1903), Kartini menulis banyak hal tentang kondisi Indonesia
kala itu. Salah satu yang paling menonjol adalah ulasannya tentang poligami dan
kritiknya terhadap kolonialisme.
Dalam suratnya kepada Zeehandelaar (6
November 1899), misalnya, Kartini pernah menulis, "Aku tidak akan pernah,
tidak akan pernah bisa mencintai. Bagiku, untuk mencintai, pertama kali kita harus
bisa menghargai pasangan kita. Dan itu tidak kudapatkan dari seorang pemuda
Jawa. Bagaimana aku bisa menghargai seorang laki-laki yang sudah menikah dan
sudah menjadi seorang ayah? Yang hanya karena dia sudah bosan dengan istrinya
yang lama, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya? Ini sah
menurut hukum Islam. Kalau seperti ini, siapa yang tidak mau melakukannya?
Mengapa tidak? Ini bukan kesalahan, tindak kejahatan, ataupun skandal; Hukum
Islam mengizinkan laki-laki beristri empat sekaligus. Meski banyak orang
mengatakan ini bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya, akan tetap menganggap
ini sebagai sebuah dosa."
Begitu pula dalam hal kolonialisme, Kartini
tetap bersuara kritis. Melihat rakyat yang hidup dalam kemiskinan, dengan beban
pajak yang tinggi, ditambah lagi adanya pengaruh opium yang merusak para
generasi muda akibat kolonialisme waktu itu, Kartini lantas melontarkan kritik
pedasnya kepada orang-orang kolonial. Menurut dia, "... Sejumlah orang
Belanda mengumpati Hindia sebagai ‘ladang kera yang mengerikan’. Aku naik pitam
jika mendengar orang mengatakan Hindia yang miskin. Orang mudah sekali lupa
kalau negeri kera yang miskin ini telah mengisi penuh kantong kosong mereka
dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di
sini" (Vissia Ita Yulianto, 2004).
Tanpa disadari, sikap Kartini itu telah
memberikan semacam wujud pedagogis bagi rakyat dan perempuan Indonesia agar
tidak berdiam diri, tapi melawan segala bentuk ketidakadilan, agar perubahan
dapat segera dilakukan.
Pedagogis
Hari Kartini tidak sekadar untuk
diselebrasikan, tapi juga untuk dimaknai dan diaktualisasikan. Kartini melalui
tulisannya (surat-suratnya) telah memberikan semacam pedagogis yang menyokong
banyak pemikiran bagi para kaum subaltern (subordinat).
Melalui tulisan-tulisannya yang bernuansa
pedagogis, secara tidak sengaja, Kartini telah menyediakan ruang bagi apa yang
disebut oleh Gayatri Spivak sebagai one-on-one epistemic change.
Maksudnya adalah, tulisan-tulisan Kartini secara tidak sengaja telah melatih
para perempuan satu demi satu untuk melakukan suatu perubahan.
Dengan begitu, para perempuan Indonesia
nantinya mampu mengidentifikasi dan mempertanyakan sistem representasi politik
dominan (yang umumnya didominasi oleh kaum laki-laki), yang membungkam dan
mengeksklusi mereka karena kedudukan kelas mereka.
Pada saat sekarang, contoh paling bagus dari
bentuk one-on-one epistemic change dapat kita lihat dari upaya para
aktivis dan organisasi-organisasi perempuan Indonesia yang menuntut kuota 30
persen keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun belum
mencapai sasaran kuota 30 persen, upaya tersebut telah berhasil meningkatkan
jumlah keterwakilan perempuan di parlemen. Pada 2004 anggota DPR perempuan
hanya 61 orang, sedangkan pada pemilu 2009 jumlahnya meningkat menjadi 101
orang (18,04 persen) dari 550 anggota DPR. Begitu pula pada tingkat DPD, pada
2004 anggota DPD perempuan hanya 26 orang, sedangkan pada pemilu 2009 jumlahnya
meningkat menjadi 34 orang (27,27 persen) dari 132 anggota DPD.
Tapi, sayangnya, perubahan ini (one-on-one
epistemic change) tidak terjadi dalam hal kekerasan terhadap perempuan,
yang kasusnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Komisi Nasional Perempuan
mencatat, terdapat 119.107 kasus kekerasan yang terjadi terhadap perempuan
sepanjang 2011. Jumlah ini didapat dari 395 lembaga layanan perempuan korban
kekerasan di 33 provinsi di Indonesia. Angka ini meningkat 13,32 persen
dibanding tahun sebelumnya (2010), 105.103 korban.
Kekerasan itu terjadi karena masih minimnya
kesadaran pedagogis perempuan awam untuk melawan segala bentuk kekerasan.
Banyak perempuan korban kekerasan tidak melaporkan kasusnya sehingga jumlah
kasus yang ditangani menurun. Penyebabnya antara lain sulitnya korban mendapat
dukungan dari orang-orang terdekatnya, rasa malu maupun trauma, dan
keterbatasan mengakses layanan yang tersedia.
Untuk itu, di masa mendatang, kesadaran
pedagogis yang diwariskan oleh Kartini ini, melalui peringatan Kartini,
diharapkan dapat menginspirasi para perempuan Indonesia untuk terus melawan
segala bentuk ketidakadilan dan kekerasan terhadapnya, agar kondisi-kondisi
tersebut tidak lagi terjadi atau minimal mengurangi dampaknya. ●
Penulis tidak etis, karena mengirimkan tulisan di dua koran dengan tema yang sama, hanya beda judulnya saja.
BalasHapus