Selasa, 24 April 2012

Upaya Menghemat BBM


Upaya Menghemat BBM
Rahardi Ramelan, Pengamat Teknologi dan Masyarakat
SUMBER : REPUBLIKA, 24 April 2012



Satu hari setelah Wamen ESDM Prof Widjajono Partowidagdo meninggalkan kita, pemerintah pun memastikan pembatasan pemakaian Premium akan di lakukan melalui kapasitas volume silinder mesin mobil. Kelas 1.500 cc ke atas dengan nopol pelat hitam diharuskan memakai BBM Pertamax. Bagaimana halnya dengan pelat nomor merah, kepolisian, TNI, Kemhan, dan Lemhanas? Apakah mereka termasuk pelat nomor yang diharuskan memakai Pertamax?

Berhentilah sejenak diskusi kemungkinan dimunculkannya Premix dengan RON 90, gagasan yang pernah disampaikan almarhum Prof Widjajono. Demikian juga selesailah (?) sudah perdebatan akademis antara para pakar energi. Keputusan politik telah ditetapkan, tinggal bagaimana kita melaksanakannya, dan meminimalkan penyimpangannya.

Pelaksanaan di lapangan tentu tidak mudah, sangat bergantung pada para petugas di SPBU. Mungkin industri kendaraan bermotor sudah mencium pembatasan ini dengan memperkenalkan mobil-mobil baru. Misalnya, yang sedang trendy adalah mobil sedan dengan mesin 1.200 cc, seperti Nissan/March, Suzuki /Splash, Honda/Brio, KIA/Picanto, Chev rolet/Spark, dan yang lain. Selain itu muncul juga bermacam mobil dengan kelas mesin 1.400 cc, seperti Suzuki Ertiga, KIA Rio, Ford Fiesta, dan yang lainnya.

Belajar dari Jepang

Berbagai kendaraan bermotor yang sudah lama beredar di Indonesia, terkadang mempunyai dua kelas mesin, seperti Toyota Avanza 1.300 dan 1.500 cc, Mitsubushi Colt T120 1.300 dan 1.500 cc, Daihatsu Gran Max 1.300 dan 1.500 cc, Ford Fiesta 1.400 dan 1.600 cc, Daihatsu Gran Max/Luxio 1.300 dan 1.500 cc, dan masih ada yang lain. Tetapi, tampak, bentuk, dan besar kendaraannya sama, bagaimana petugas SPBU bisa membedakannya. Apakah harus memeriksa STNK atau membuka kap mesin? Belum lagi kendaraan-kendaraan keluaran awal tahun 2000 dan tahun 1990, yang biasanya masih menggunakan mesin yang sudah tidak diingat.

Sebagai contoh di negara asal mayoritas mobil yang beroperasi di Indonesia, Jepang, telah menerapkan tanda khusus kendaraan dengan mesin di bawah 1.000 cc. Kendaraan-kendaraan tersebut banyak mendapatkan keringananan atau insentif, baik pajak maupun tarif jalan tol.

Untuk membedakan kendaraan pribadi dengan mesin 1.000 cc diterapkan pemakaian nomor polisi dengan pelat kuning dan tulisan hitam. Sedangkan untuk kendaraan niaga memakai pelat nomor hitam dengan tulisan kuning. Sehingga, dengan mudah para petugas dapat membedakannya. Cara ini mungkin dapat diterapkan di Indonesia. Kendaraan niaga telah menggunakan pelat kuning dengan tulisan hitam. Se karang tinggal menentukan warna pelat nomor yang mencolok bagi kendaraan pribadi.

Pembedaan warna pelat nomor ini akan mempermudah petugas SPBU dan pengawas lapangan untuk mengadakan pengecekan. Saatnya kepolisian meng adakan upaya besar perubahan tersebut dan sekaligus pemerintah atau instansi berkepentingan bisa mengetahui dan me mantau kendaraan yang akan mempergunakan Premium. Hal inipun akan menghilangkan keraguan pengisian Premix untuk kendaraan yang mempunyai dua kelas mesin.

Kalau ketentuan ini diberlakukan maka inisiatif menukar warna pelat nomor akan berada di tangan pemakai. Biaya pemasangan pelat nomor baru menjadi beban pemilik kendaraan karena merekalah yang akan menikmati harga Premium yang disubsidi.

Hemat BBM

Pengaturan pemakaian Premium BBM bersubsidi terbatas pada pengamanan APBN, 
pengurangan subsidi BBM, dan rasa keadilan. Tetapi, untuk menjalankan kebijakan hemat energi, khususnya BBM untuk kendaraan bermotor perlu dilakukan langkah-langkah lain. Pengalihan untuk beralih ke angkutan umum, belum bisa dilakukan dalam waktu dekat. Jumlah dan kualitas angkutan umum kita BELUM memadai.

Kendaraan bermotor dengan mesin bakar seperti sekarang ini, mempunyai karakteristik bahwa efisiensinya rendah atau menurun di putaran mesin yang rendah atau tinggi sekali. Jadi, yang ha rus dihindari adalah perjalanan stop and go dan padat merayap, seperti yang kita hadapi setiap hari khususnya pagi dan sore hari. Melaju dengan kecepatan tinggi, khususnya di jalan tol, juga akan menguras bahan bakar, sebab itu sewaktu krisis energi, Eropa membatasi kecepatan di jalan tol pada 100 km dan 130 km per jam. Upaya lain membatasi kapasitas mesin yang diizinkan untuk kendaraan pribadi.

Bagi kita yang penting adalah mengatur arus lalu lintas khususnya di simpang jalan dan tempat yang menyempit. Sekarang ini hampir tidak ada rambu dan marka jalan yang dipatuhi pengemudi kendaraan. Banyak rambu dilarang berhenti dan parkir hanya menjadi hiasan jalan.

Jangan membuat rambu dan marka jalan kalau ternyata tidak bisa dipatuhi. Mobil patroli polisi yang parkir di bahu jalan tol mengakibatkan melambatnya arus kendaraan. Sebaiknya untuk jamjam tertentu bahu jalan tol dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kepadatan.

Semua gerbang tol sudah harus disesuaikan dengan perkembangan teknologi, sehingga kendaraan tidak perlu berhenti. Masak harus kalah dengan restoran cepat saji yang sudah bisa melayani drive through.

Di tempat-tempat ramai yang harus diatur oleh polisi adalah yang berhenti seenaknya, tidak pada tempatnya, sehingga dikenal halte atau terminal bayangan. Merekalah yang membuat kemacetan dengan berhenti seenaknya. Para pengembang perkantoran, pusat belanja, dan perumahan diharuskan membuat jalan penyeberangan di bawah tanah.
Kadang-kadang kita merasa heran, mengapa untuk mengangkut batu bara sebagai pengganti BBM kita masih memakai lokomotif yang menggunakan BBM diesel? 

Penghematan harus dilakukan menyeluruh, termasuk bagi para pejabat agar mengurangi kendaraan kawal yang berlebihan, apalagi kalau sekadar mau pulang atau menuju resepsi di luar kedinasan. Marilah kita renungkan kembali apa yang pernah diucapkan oleh almarhum Prof Widjajono, bahwa kita bukanlah negara kaya energi minyak. Selamat Jalan Bung Wid!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar