Selasa, 24 April 2012

Krisis Keuangan dan Hukum


Krisis Keuangan dan Hukum
Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Hukum Pidana;
Pengajar Program Pascasarjana Bidang Studi Ilmu Hukum FHUI
SUMBER : KOMPAS, 24 April 2012


Panitia seleksi pemilihan komisioner Otoritas Jasa Keuangan telah menyerahkan calon komisioner kepada Presiden untuk diteruskan kepada DPR. Komisioner terpilih akan menjalankan institusi OJK selama masa jabatan lima tahun sesuai amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)—sebagaimana ditegaskan ekonom dari UGM, Anggito Abimanyu—adalah lembaga otoritas yang dibentuk dari integrasi dua lembaga besar: Bank Indonesia (dalam hal ini Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan) serta Kementerian Keuangan (dalam hal ini Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan). Tujuannya mengatur dan mengawasi lembaga keuangan sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas koordinasi semua sektor jasa keuangan.
Namun, diakui, tujuan integrasi lembaga jasa keuangan ini menimbulkan kendala diferensial dilihat dari sisi formulasinya. Perbankan dan lembaga keuangan menekankan pada pendekatan prudensial (kehati-hatian), sedangkan keterbukaan (disclosure) lebih pada sektor pasar modal. OJK akan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain, yang semula berada di lingkup kewenangan BI dan Kementerian Keuangan.
Salah satu tugas pengaturan dari OJK pada Pasal 8 huruf (e) adalah menetapkan ”kebijakan” mengenai pelaksanaan tugas OJK. Pada penjelasan atas pasal ini disebutkan ”cukup jelas”. Berdasarkan pengalaman implementasi yuridis, suatu pasal yang disebut ”cukup jelas” justru menimbulkan multi-interpretasi yang semakin tak jelas tentang makna ”kebijakan” itu.
Kebijakan dan Krisis Keuangan
Tugas dari OJK pada Pasal 8 huruf (e) adalah pengaturan suatu ”kebijakan” yang tentunya dalam kaitan suatu kondisi yang tidak normal, termasuk krisis keuangan. Sayang sekali definisi ”krisis keuangan” tidak ditemukan pada Pasal 1 ketentuan umum dari UU OJK ini, walaupun pada Pasal 45 Ayat (2) diinterpretasikan bahwa adanya potensi atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan adalah masuk dalam kategori ”kondisi tidak normal” untuk pencegahan dan penanganan krisis .
Tentunya makna ”kebijakan” ataupun ”krisis keuangan” akan jadi perdebatan tersendiri dilihat dari sisi pendekatan disiplin ilmu ekonomi dan pengetahuan hukum. Hal ini sudah terbukti saat krisis keuangan global yang terjadi pada 1997 dan 2008 sehingga bermuara ke pengadilan tindak pidana korupsi sebagai perbuatan korupsi.
Ada beberapa catatan implementasi yang akan menjadi tantangan OJK sebagai masalah hukum nantinya dalam kaitan krisis keuangan. Pertama, pemaknaan ”kebijakan” dalam pemahaman hukum administrasi negara terdiri atas suatu kebijakan terikat dalam bentuk regulasi tugas dan kewenangan aparatur negara. Namun, di negara mana pun tidak ada tugas dan kewenangan aparatur negara akan berhenti manakala ada suatu perbuatan yang tidak ada pengaturannya.
Dalam hal ini aparatur negara memiliki apa yang dinamakan ”kebijaksanaan”, suatu discretionary atau beleid yang bebas dalam menjalankan tugas dan kewenangan tersebut. Diskresioner ini, baik dalam bentuk lisan maupun tertulis, dikeluarkan dalam kondisi darurat, urgen, bahkan instan, yang umumnya secara substansial tak sesuai dengan peraturan tertulis. Karena itu, diskresioner yang abnormal sama sekali tak dapat dinilai atau diukur dengan produk regulasi dalam keadaan normal.
Karena tidak ada pemahaman makna ”kebijakan” yang jadi fungsi pengaturan OJK, dikhawatirkan nantinya kebijakan OJK yang diterbitkan sebagai fungsi pengatur akan menjadi obyek pemeriksaan penegak hukum sebagai kebijakan yang bernuansa pidana. Kebijakan yang menjadi kompetensi hukum administrasi negara prinsipnya tidak dapat dijadikan obyek kriminalisasi. Kendati demikian, apabila kebijakan itu bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik berupa asas kecermatan substantif, juga adanya pelanggaran asas norma tersamar dan asas doelgrichte (tujuan akhir dikeluarkan diskresi), penyimpangan diskresi itu akan menjadi kompetensi hukum pidana. Suatu saat, kebijakan akan selalu diputuskan apabila terjadi krisis keuangan.
Kedua, makna ”krisis keuangan” memang tak dapat ditemukan secara definitif karena krisis keuangan memiliki pemahaman yang komprehensif. Pandangan tentang tidak mungkin ditemukannya definisi baku krisis keuangan dikemukakan pengamat pasar uang, Maria Sutopo, kandidat doktor Universitas Pelita Harapan. Tentang pasar uang dan krisis keuangan, ia mengatakan bahwa setiap negara memiliki sistem politik, ekonomi, sosial yang berbeda sehingga wajar apabila tak ada keseragaman terhadap makna ”krisis keuangan”. Meski demikian, keseragaman yang ada dan diterima adalah ”krisis sistemik perbankan” yang justru akan memengaruhi sistem keuangan negara secara menyeluruh.
Pengaruh dari krisis sistemik perbankan ini tentunya meliputi dan meluas pada sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain. Jadi, sumber utama dari krisis keuangan berpulang kembali pada krisis sistemik perbankan.
Pada saat kondisi tak normal, untuk mencegah dan menangani krisis keuangan sebagai akibat krisis sistemik perbankan, OJK dapat mengeluarkan kebijakan (diskresioner) untuk memutuskan langkah pencegahan dan penanganan. Kebijakan aktif atau diskresi ini bersifat darurat, urgen, dan instan, tak dapat diukur dengan kondisi normal karena diskresi justru diterbitkan dalam kondisi tak normal.
Sebelum adanya OJK, BI memiliki kebijakan yang dikenal sebagai Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang akhirnya menimbulkan dualisme pandangan peradilan sebagai kriminal korupsi. Terkait kebijakan dana talangan senilai Rp 6,7 triliun untuk Bank Century, hingga kini KPK juga belum memastikan ini kriminal korupsi atau kebijakan administrasi.
Hindari Inefisiensi Birokratis
Ketiga, potensi terjadinya diskresi bermasalah dalam penanganan krisis keuangan sebagai akibat krisis sistemik perbankan. Semula, kewenangan berada di satu lembaga BI. Dengan adanya OJK, penanganan sifatnya menjadi multi-kelembagaan. Bayangkan, dalam kondisi tak normal di tengah terjadinya kepanikan masyarakat (public rush)—sebagai wujud riil krisis sistemik perbankan—ternyata Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) dapat mengusulkan segera dilangsungkannya rapat untuk memutuskan langkah pencegahan dan penanganan. Ini sesuai Pasal 45 dan Pasal 46 UU OJK. Kebijakan FKSSK terkait keuangan negara ini bahkan wajib mendapat persetujuan DPR (dalam 1 x 24 jam).
Dari pengalaman BI sebagai lembaga tunggal dalam penanganan krisis keuangan, langkah yang ditempuh ternyata bisa dianggap bermasalah sebagai kebijakan koruptif, baik ada maupun tidak regulasi yang menyebutkan ia tak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangnya sesuai Pasal 45 UU No 3/2004 tentang Perubahan atas UU No 23/1999 tentang BI. Apalagi, dengan multi-kelembagaan. Dalam kondisi tak normal untuk mengatasi krisis keuangan sebagai akibat dari krisis sistemik perbankan, seharusnya dihindari rentang inefisiensi birokrasi kelembagaan yang justru dikhawatirkan berpotensi menghasilkan diskresi bermasalah yang koruptif! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar