Selasa, 24 April 2012

Rugi Ekonomi Vonis Nazar


Rugi Ekonomi Vonis Nazar
Effnu Subiyanto, Mahasiswa Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
SUMBER : JAWA POS, 24 April 2012


PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 20 April 2012 akhirnya menjatuhkan vonis 4 tahun 10 bulan kepada M. Nazaruddin dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan penjara. Vonis itu justru lebih ringan daripada tuntutan KPK semula 7 tahun penjara. Kendati demikian, Nazaruddin dan tim kuasa hukumnya menyatakan pikir-pikir.

Hakim Ketua Dharnawati Ningsih menyebutkan bahwa Nazaruddin terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 11 UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam vonis itu, Nazaruddin dinyatakan terbukti terlibat dalam delik gratifikasi dengan menerima cek Rp 4,6 miliar dari PT Duta Graha Indah (DGI) dalam perkara wisma atlet SEA Games XXVI 2011 di Jakabaring, Palembang.

Kasus berikutnya yang menunggu Nazaruddin adalah masalah pembelian saham Garuda Rp 300 miliar dan berbagai masalah proyek di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang bernilai sekurang-kurangnya Rp 6 triliun. Nazaruddin juga pasti terlibat dalam gonjang-ganjing money politics saat pemilihan ketua umum Partai Demokrat pada Mei 2010. Masih ada sekurang-kurangnya 37 masalah yang kini melilit Nazaruddin.

Buron fenomenal karena melintasi delapan negara kurang dari tiga bulan dan mantan elite partai berkuasa tersebut tercatat bisa dibawa pulang ke Indonesia sejak 13 Agustus 2011 di Lanud Halim Perdanakusuma. Peristiwa kepulangannya juga tergolong kontroversial karena menggunakan pesawat jet supermewah Gulfstream G550 dengan biaya sewa Rp 4 miliar. Jadi, di samping fenomenal dan kontroversial, biaya handling Nazaruddin sangat mahal.

Banyak kalangan yang sangat mengharapkan kasus Nazaruddin bisa membuka semua borok partai politik. Nazaruddin juga disebut-sebut akan menjadi whistle-blower atau setidak-tidaknya justice collaborator. Namun, vonis 20 April benar-benar antiklimaks. Secara ekonomi, negara ini rugi dalam menangani kasus Nazaruddin.

Hitung-hitungan Ekonomi

Seberapa besar kerugian negara karena vonis Nazaruddin dari kasus wisma atlet saja? Jumlahnya ternyata cukup besar dan pihak yang untung tetap Nazaruddin. Kurungan penjara 4 tahun 10 bulan ternyata tidak sebanding, apalagi sistem hukum Indonesia juga mengakui sistem remisi. Jadi, sangat mungkin Nazaruddin tidak akan genap 4 tahun 10 bulan di dalam penjara. Apalagi, kehidupan penjara kini juga sudah sangat ''modern'' dan tidak lagi menakutkan.

Dari hasil gratifikasi Rp 4,6 miliar, jika diproporsikan dengan vonis 4 tahun 10 bulan penjara atau total 58 bulan, pendapatan Nazaruddin per bulan, belum termasuk bunga, adalah sekitar Rp 79,3 juta. Agar mendapat fasilitas khusus dalam penjara, katakanlah harus menyewa kamar penjara Rp 10 juta per bulan, Nazaruddin tetap untung Rp 69,3 juta per bulan. Kekayaan Nazaruddin setelah menjalani hukuman tanpa remisi masih sekitar Rp 4,02 miliar. Padahal, uang sewa penjara dapat ''dinegosiasikan'' dan hukuman juga bisa berkurang dengan adanya remisi. Jadi, kekayaan Nazaruddin pascavonis itu tidak membuat bangkrut dirinya.

Jika pendapatan Nazaruddin disetarakan dengan PNS, nilai sisa kekayaannya setelah di penjara sebesar Rp 4,02 miliar itu harus dikumpulkan PNS eselon III senior selama 30 tahun bekerja full time. Itu pun nilai kumulatif. Jadi, PNS pada akhir periode pengabdiannya tidak akan memegang uang tersebut seluruhnya karena mereka harus membiayai kebutuhan harian seperti konsumsi, biaya sekolah anak, berobat, cicilan rumah serta kendaraan, dan utang-utang lain.

Jadi, perbandingannya sudah sangat tidak sebanding. Sebab, Nazaruddin mendapatkannya dalam waktu kurang dari setahun setelah bergabung dengan PD pimpinan Anas Urbaningrum pada Mei 2010. Kasus itu terbongkar saat penangkapan Sesmenpora Wafid Muharam (WM) pada 21 April 2011 atau tidak sampai setahun sejak Nazaruddin malang melintang di kancah politik.

Kalau melihat kehebohan kasus Nazaruddin selama ini, biaya penjemputannya yang fantastis Rp 4 miliar, berperilaku korup, tampaknya, masih sangat menarik secara ekonomi. Vonis hukuman yang tidak berimbang tersebut akan memancing publik untuk kini berkalkulasi jika mendapat tawaran korupsi.

Negara Membuang Waktu

Kerugian negara lainnya yang tidak kalah penting adalah kerugian waktu (wasting time). Sejak pemulangan ke Indonesia pada 13 Agustus 2011, diperlukan 251 hari untuk memutus perkara dengan nilai Rp 4,6 miliar tersebut.

Kondisi psikologis bangsa menjadi teraduk-aduk selama kurun waktu itu, bercampur-baur, debat berlangsung, serta demonstrasi yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan tentu saja uang. Para investor juga menahan diri untuk menanamkan modalnya di Indonesia karena melihat tidak adanya kepastian hukum investasi.

Semakin lama putusan digantung, hukum kian bias dan memungkinkan terjadinya transaksi ekonomi dalam sistem hukum. Vonis hukuman menjadi subjek negosiasi karena semakin banyak para ahli hukum yang turut serta disertai dengan pertempuran opini publik media massa.

Putusan sudah dijatuhkan oleh sebuah proses penegakan hukum yang sudah diupayakan mendekati dengan berbagai variabel hukum. Karena itu, bagaimanapun harus dihormati. Proses ini belum selesai dari antre-nya kasus yang melilit Nazaruddin. Vonis tersebut menjadi pintu pembuka persidangan berikutnya yang seharusnya semakin diperbaiki belajar dari kekurangan sebelumnya.

Hanya, kita semakin menyadari bahwa undang-undang antikorupsi itu demikian lemahnya. Jalan masih terjal karena Nazaruddin juga berniat banding ke pengadilan tinggi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar