Rabu, 25 April 2012

Industrialisasi Perikanan


Industrialisasi Perikanan
Arif Satria, Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB;
Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia
SUMBER : SINDO, 25 April 2012


Belum lama ini kita memperingati Hari Nelayan pada 6 April 2012.Dalam rangka itu perlu kita cermati perkembangan terbaru kebijakan perikanan dan implikasinya bagi kemajuan nelayan.

Pemerintah telah menggariskan industrialisasi perikanan sebagai arah baru strategi pembangunan perikanan. Istilah industrialisasi selama ini terkesan serbamodern, sementara nelayan terkesan serbatradisional. Pertanyaannya, apakah keduanya kompatibel: industrialisasi bisa menjadi jalan menyejahterakan nelayan dan nelayan juga mampu menjadi pilar industrialisasi?

Tipologi Nelayan

Secara sederhana paling tidak ada tiga tipe kelembagaan usaha nelayan. Pertama, nelayan tradisional,yaitu nelayan yang melakukan kegiatan perikanan secara subsisten. Artinya hasil produksi digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Teknologinya pun sederhana dan beroperasi di wilayah pesisir.

Menjadi nelayan adalah sebagai jalan hidup (way of life). Pemilik perahu biasanya merangkap sebagai nakhoda atau anak buah kapal (ABK). Kedua, nelayan komersial, yaitu nelayan yang sudah berorientasi pada keuntungan dan diinvestasikan kembali untuk kemajuan usahanya. Teknologinya relatif sedang, beroperasi di laut lepas,dan masih menggunakan pola bagi hasil.

Organisasi produksi sudah mulai hierarkis dan membutuhkan tenaga-tenaga spesialis seperti juru mudi, juru mesin, dan juru arus. Pemilik kapal umumnya sudah tidak ikut melaut. Ketiga, nelayan industrial, yaitu nelayan yang orientasi produksinya pada keuntungan dan nilai tambah.Teknologinya tergolong tinggi sehingga beroperasi di laut lepas dan laut internasional. Organisasi produksinya sudah sangat hierarkis dengan tenaga spesialis yang lebih banyak. Namun, umumnya pola bagi hasil sudah ditinggalkan dan menggunakan pola upah. Nelayan industrial seperti ini tentu lebih tepat sebagai pengusaha perikanan. Bagaimana kondisi nelayan di Indonesia?

Nelayan kita berjumlah sekitar 2,7 juta jiwa, namun belum ada angka pasti tentang jumlah nelayan yang tergolong tradisional, komersial, maupun industrial. Yang paling memungkinkan adalah dengan melihat data armadaarmada perikanan. Pada 2011 armada tradisional (perahu tanpa motor, perahu dengan motor tempel, dan perahu motor kurang dari 5 GTT) berjumlah 498.020 unit (89,38%), sisanya nelayan komersial dan industrial. Situasi di Indonesia ini sebenarnya menggambarkan kondisi nelayan dunia.

Melihat data FAO (2009) ternyata nelayan di dunia ini terkonsentrasi di Asia dengan jumlah 37,3 juta jiwa atau 85% dari total nelayan dunia. Namun, nelayan Asia memiliki produktivitas paling rendah, yaitu 2,5 ton/tahun. Sementara Amerika Latin punya nelayan 1,4 juta jiwa (3,2%) dengan produktivitas 12,7 ton/ tahun, dan Eropa sebanyak 725.000 (1,75%) dengan produktivitas 21,4 ton/ tahun. Apakah dengan melihat kondisi nelayan kita yang masih tradisional, industrialisasi bisa dikembangkan? Bagaimana transformasi nelayan yang mestinya dilakukan?

Langkah Transformasi

Ini semua bergantung desain industrialisasi perikanan yang akan kita kembangkan. Dengan industrialisasi perikanan tentu tidak berarti terjadi transformasi nelayan tradisional menjadi nelayan industrial dengan semua atributnya. Jepang juga tidak memaksakan nelayan kecil (tradisional) harus menjadi nelayan besar (industrial), yang penting adalah produktivitas dan mutu produk.

Karena itu, industrialisasi perikanan mestinya dimaknai sebagai upaya transformasi budaya yang membawa perubahan dari sekadar produksi menjadi produksi dengan mutu produk yang baik: memiliki nilai ekonomi,memperhatikan keamanan pangan, serta keberlanjutan sumber daya. Karena itu, nelayan tetap didorong untuk meningkatkan produksi sesuai daya dukung sumber daya. Hal ini penting untuk memenuhi kebutuhan pasar konsumsi maupun industri pengolahan.

Saat ini industri pengolahan hanya mampu berproduksi 50% dari kapasitas terpasangnya karena kekurangan bahan baku yang kemudian berujung pada meningkatnya impor ikan. Untuk itu perlu sejumlah insentif agar mereka tetap mau melaut, baik insentif input maupun output. Pertama, insentif input mencakup akses pada penyediaan sarana produksi. Saat ini yang paling krusial adalah terkait isu harga bahan bakar minyak (BBM). Untung saja pada 1 April 2012 pemerintah menunda kenaikan harga BBM sehingga tidak mempersulit operasi penangkapan ikan oleh nelayan.

Menanggapi rencana pemerintah untuk membatasi BBM bersubsidi 1 Mei 2012, sudah semestinya nelayan diprioritaskan. Namun, langkah antisipasi harus disiapkan dari sekarang, yakni inovasi teknologi ke arah hemat BBM. Kedua, insentif inputberupa modernisasi armada penangkapan harus bersifat adaptif. Modernisasi bukanlah sematamata bagi-bagi kapal. Saat ini pemerintah memiliki target 1.000 kapal untuk dibagikan kepada nelayan.Upaya ini rawan masalah bila tidak diiringi dengan peningkatan adaptasi nelayan terhadap kelembagaan usaha baru.

Di sinilah transformasi nelayan sebagai perubahan orientasi budaya,kemampuan manajemen usaha, serta kebiasaan- kebiasaan lain menjadi penting. Ketiga, sistem informasi tentang cuaca harus dilembagakan dan mudah diakses nelayan. Saat ini perubahan cuaca yang semakin sulit ditebak menjadi salah satu faktor penghambat operasi penangkapan ikan. Keempat, perlu inovasi teknologi penangkapan untuk adaptasi terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim telah berpengaruh terhadap perubahan musim, daerah penangkapan (fishing ground), serta migrasi spesies ikan tertentu.

Begitu pula risiko melaut menjadi lebih tinggi. Kelima,untuk menjamin mutu ikan memiliki nilai ekonomi, aman dikonsumsi, serta diproduksi ramah lingkungan, perlu sistem penyuluhan yang andal.Apalagi saat ini beberapa negara importir telah mensyaratkan ada traceability yang berarti informasi asal-usul ikan,khususnya informasi kegiatan di tingkat nelayan harus tersedia.

Keenam, insentif output berupa jaminan harga ikan melalui mekanisme penyanggaan sehingga harga ikan bisa terjaga pada ambang batas yang menguntungkan. Untuk itulah, sistem logistik perikanan perlu segera diwujudkan. Upaya tersebutsekaligusmenunjukkan bahwa sebenarnya dalam industrialisasi perikanan yang terpenting adalah kesiapan nelayan. Jadi industrialisasi bukanlah semata transformasi teknologi, melainkan lebih merupakan transformasi sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar