Aransemen
Buruk Otonomi
Irfan Ridwan Maksum, Guru
Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI
SUMBER
: KOMPAS, 24 April 2012
Sejak kebijakan otonomi diberlakukan 12 tahun
lalu, berbagai persoalan publik yang semula banyak diputuskan di Jakarta kini lebih
banyak diselesaikan di daerah. Namun, ironisnya, korupsi pun kini banyak
tersebar di daerah.
Berdasarkan data sejumlah LSM yang memiliki
perhatian pada pelayanan publik, pelayanan publik di daerah tetap saja buruk.
Belum lagi heterogenitas antar-elemen masyarakat, jurang lebar antara Jawa dan
luar Jawa, serta variasi budaya yang juga amat tinggi menyebabkan tata kelola
Negara Kesatuan RI hasil reformasi sulit menjangkaunya. Tentu kita wajib
memikirkan hal ini secara serius dan mendalam.
Susunan Otonomi
Baik sentralisasi maupun desentralisasi
adalah alat dalam sebuah negara-bangsa mencapai tujuan bernegara. Sebagai
negara kesatuan, pengatur kebijakan otonomi ada di tingkat nasional. Dengan
luas wilayah yang begitu besar, tata kelola NKRI terasa panjang dan kompleks.
Melalui otonomi, diharapkan bisa diperpendek, sekaligus meringankan beban
pemerintah pusat.
Aturan dasar otonomi terletak dalam UUD 1945
Pasal 18. Jika dianalisis, Pasal 18 sebelum amendemen ternyata lebih fleksibel
terkait sebutan daerah besar dan daerah kecil dalam susunan daerah otonom di
Indonesia. Sementara Pasal 18 hasil amendemen menyebutkan spesifik nama daerah
dengan terminologi ”provinsi dan
kabupaten/kota”.
Terminologi yang disebut spesifik ini lebih
menjerat. Akibatnya, setiap UU yang mengatur pemerintahan daerah sebagai
turunannya harus mengoperasionalkan dengan menggunakan nama bagi daerah-daerah
di Indonesia sesuai susunan tersebut.
Ini juga yang menimbulkan polemik kekhususan
Jakarta beberapa waktu lalu meskipun dalam aturan di pasal lain UUD 1945 hasil
amendemen seolah dapat diartikan ”boleh bertentangan” dengan Pasal 18 tersebut.
Kini tertantang lagi oleh keistimewaan Yogyakarta yang belum tuntas, ditambah
konflik otonomi khusus Papua dan pilkada di Aceh.
Catatan lain yang menjerat dari UUD hasil
amendemen, pertama, daerah dengan nama provinsi dan kabupaten/kota tersebut
adalah daerah otonom. Kedua, jerat pengelolaan otonomi yang bisa jadi kasus per
kasus di wilayah republik yang begitu luas dan heterogen adalah perlunya manajemen
bertahap, tetapi karena UUD hasil amendemen harus melalui proses lompatan.
Jerat-jerat tersebut memperlemah kelembagaan
otonomi daerah di Indonesia. Dalam praktik, desain dalam UU turunannya ternyata
semakin memperlemah daerah otonom. Pada saat UU No 22/1999 berlaku, justru
Pasal 18 UUD aromanya mengikuti UU yang seharusnya jadi turunannya. Karena
itulah, akhirnya, otonomi luas tidak menapak pada kondisi riil di lapangan yang
amat heterogen. Otonomi luas sekadar slogan dalam UU. Ini adalah jerat kelembagaan
yang amat parah dari UUD dan UU tersebut.
Kesimpulan itu semakin kuat dengan hadirnya
UU No 32/2004, yang merupakan revisi dari UU No 22/1999. UU ini telah menarik
kembali sejumlah wewenang daerah otonom yang semula dengan prinsip otonomi luas
menjadi dengan rincian 100 persen karena dinilai kebablasan. Namun, UU tersebut
menggulirkan pilkada langsung sebagai pengimbang. Ternyata, desain tanpa arah
yang baik ini pun terbukti gagal untuk sejumlah daerah yang tidak tepat
melaksanakan pilkada langsung.
Kelemahan kapasitas ini terbukti juga dari
ketergantungan suatu daerah pada figur pemimpinnya, bukan sistem yang dibangun.
Begitu figur tersebut dicokok KPK atau kejaksaan, hancur sudah apa yang sudah
dibangun di daerah tersebut.
Di samping itu, terjadi ketidakkompakan
antar-elemen pendukung sistem otonomi daerah. Keuangan daerah yang masih lemah,
pengelolaan SDM yang masih tarik-menarik antara pusat dan daerah, pembagian
wewenang di sejumlah bidang yang tidak jelas meski mengaku dengan ultra-vires
(rincian). Akibatnya, kapasitas kelembagaan otonomi pun semakin memburuk.
Hilangkan Jerat
Kebutuhan amendemen UUD, paling tidak kembali
ke Pasal 18 (lama), telah dirasakan. Sementara jerat UUD yang tinggi dan amat
mengurung kreasi tingkatan daerah otonom tidak sebanding dengan bagaimana
keleluasaan mengubah jerat tersebut.
Dorongan substansialnya yang kuat sudah
muncul menyangkut perubahan kondisi demografi, sosial-ekonomi dan politik,
bahkan peta budaya masyarakat. Susunan daerah otonom di Indonesia tentu amat
membutuhkan fleksibilitas kembali.
Desain yang tepat adalah provinsi yang ada
sekarang yang dari sisi luasnya cocok untuk dikembangkan menjadi wilayah tanpa
otonomi. Provinsi di Jawa telah naik jumlah penduduknya, sementara di luar Jawa
luasnya tak sebanding dengan jumlah penduduknya dan kondisi topografi yang
lebih rumit.
Sinkronisasi dan harmonisasi antar-elemen
dalam sistem otonomi daerah yang tidak kompak harus dilakukan. Konstitusi mesti
mengatur kembali ”wilayah administrasi
belaka”. Manajemen situasional pun muncul di sini, yang mampu mengakomodasi
tekanan yang berbeda di setiap daerah di wilayah RI sehingga diharapkan
efisiensi dan efektivitas serta demokratisasi dapat berjalan beriringan dalam
otonomi daerah kita yang sesuai dengan spirit reformasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar