Selasa, 24 April 2012

Dilema Widjajono: Antara Akademik dan Birokrasi

Dilema Widjajono: Antara Akademik dan Birokrasi
Anggito Abimanyu, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 23 April 2012


Indonesia telah kehilangan seorang ilmuwan energi yang berkelas, akademisi yang bersahaja dan jujur, Wakil Menteri (Wamen) ESDM, yakni Prof Dr Widjajono Partowidagdo. Sebelum menjabat sebagai wamen, lelaki kelahiran Magelang ini aktif mengajar di almamaternya di Institut Teknologi Bandung (ITB).

Di institut itu, Widjajono meraih gelar sarjana teknik dari Program Studi Teknik Perminyakan ITB pada 1975. Kemudian, ia memperoleh gelar Master of Science (MSc) dalam bidang Petroleum Engineering (1980), dilanjutkan MSc di bidang Operation Research (1982), dan MA dalam bidang Economics (1986) dengan judul tesis An Energy Economy Model for Indonesia dari University of Southern California (USC).

Gelar PhD ia dapatkan dari universitas yang sama pada 1987 setelah merampungkan disertasi berjudul An Oil and Gas Supply and Economic Model for Indonesia. Setelah menjabat karier akademik di ITB, terakhir beliau menjadi anggota Dewan Energi Nasional (DEN).

Perkenalan saya dengan beliau secara akrab terjadi di berbagai acara talkshow BBM di TV. Pertama kali kami bertemu di Metro TV di sebuah acara “Kebijakan Ekonomi“ dengan menampilkan mantan wakil presiden Jusuf Kalla, November tahun lalu. Saya panggil beliau Pak Wid. Pak Wid dan saya bersama yang lain menjadi pembahas bagi pak JK.
Dalam acara itu, layaknya seorang akademisi, Pak Wid menyampaikan gagasan kedaulatan energi. Indonesia dikatakan menghadapi situasi energi yang berubah, dari produsen menjadi konsumen energi. Yang paling sulit, mengubah mindset masyarakat dari penghasil jadi importir minyak. Seperti layaknya pengamat, Pak Wid sepertinya ingin mengoreksi kebijakan pemerintah yang keliru.

Pertemuan kedua kami terjadi pada acara talkshow di TVOne. Wamen, saya, dan politikus PDIP Effendi Simbolon membahas rencana pemerintah membatasi BBM awal 2012. Di acara itu, Pak Wid sepertinya tak berdaya dibombardir pertanyaan soal pembatasan BBM yang kurang terencana, khususnya oleh Effendi Simbolon. Anggota DPR itu menyerang rencana pembatasan konsumsi BBM tanpa persetujuan DPR.
Saya berusaha menetralisasi situasi dengan mengatakan, klausul pembatasan BBM sudah ada dalam APBN 2012. Pak Wid dengan berani membela kebijakan pembatasan meskipun itu kebijakan warisan menteri sebelumnya. Entah karena jujur, argumentasi Pak Wid mudah dipatahkan.

Pertemuan saya dan beliau berikutnya dalam talkshow di TVOne bersama mantan menko perekonomian Kwik Kian Gie sekitar Februari 2012. Pak Wid menjelaskan karut-marutnya situasi energi kita, ketergantungan minyak, lemahnya investasi non-BBM, dan ketidakjelasan kebijakan harga BBM.

Kala itu, Widjajono memastikan, rencana kenaikan harga BBM bakal terealisasi dalam waktu dekat. Meski masih harus menunggu persetujuan DPR, pemerintah sudah resmi mengumumkan rencana kenaikan harga BBM ini ke publik.

Menurut dia, kenaikan harga akan berkisar Rp 500 hingga Rp 2.000 per liter. Memang mengagetkan ketika menyebut angka itu karena Pak Wid begitu percaya kenaikan harga sebaiknya adalah Rp 2.000, bukan Rp 1.500 seperti rencana pemerintah dalam RAPBNP 2012. Beliau punya analisis yang masuk akal, namun sayangnya itu bukan rencana pemerintah.

Saya juga sangat setuju dengan itu dan mengingatkan pemerintah agar segera menaikkan harga BBM jika tidak ingin mengulang kondisi krisis pada 2008. Subsidi itu salah sasaran serta tak mendorong pemakaian energi alternatif.

Penguasaan BBM

Sebagai seorang dengan latar belakang energi, Pak Wid paham seluk-beluk teknis energi. Namun, nilai plusnya, beliau juga berlatar belakang ekonomi, bahkan disertasinya soal ekonomi energi. Pak Wid selalu menyampaikan alasan kenaikan harga BBM dengan tujuan ganda. Kenaikan itu baik dari sisi energi dan baik dari sisi penghematan anggaran.

Pemerintah akhirnya mengajukan permohonan menaikkan harga BBM sekitar 30 persen dari harga semula. Bila disetu jui DPR, harga Premium dan Solar akan naik dari Rp 4.500 per liter menjadi Rp 6.000.

Menurut Pak Wid, kenaikan harga BBM tak bisa lagi dielakkan. Langkah ini untuk menyelamatkan APBN yang terus defisit. “APBN kita tidak akan kuat untuk terus menyubsidi. Apalagi, subsidi yang diberikan salah sasaran,“ kata Widjajono.

Pak Wid juga mendorong kenaikan pada April sebagai waktu yang tepat. Pendapatnya, saya amini. Pada April, harga barang relatif stabil bahkan cenderung deflasi. Bila kenaikan BBM tertunda hingga Juni atau Juli, dampaknya sangat besar buat perekonomian. Pada Juni dan Juli biasanya tingkat inflasi meninggi lantaran libur dan tahun ajaran baru sekolah.

Sayangnya, kebijakan itu kandas di sidang paripurna DPR. Namun, Pak Wid tidak berhenti. Proses edukasi BBM harus terus dijalankan lewat kampus. Beliau mengajak saya memulai diskusi BBM di kampus dengan menggandeng Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dan Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Gagasan pengendalian terus disuarakan, apakah itu kebijakan pemerintah atau baru sekadar wacana.

Selama menjabat sebagai Wamen, Pak Wid dikenal sebagai tokoh yang cukup kontroversial. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai almarhum sebagai seorang yang sering melemparkan wacana ke publik dan ini dinilai baik olehnya.

Banyak orang berpendapat, wamen ESDM ini sebagai orang yang suka mendobrak tradisi birokrasi. Itu tentu hal positif. Di sisi lain, dobrakan itu juga bisa menimbulkan ketidakpastian karena masih digodok internal.

Wacana terakhir yang dilemparkan almarhum ke publik adalah mengoplos BBM jenis Pertamax dengan Premium menjadi Premix. Lagi-lagi gagasan ini kandas di kalangan pemerintah sendiri.

Wacana yang dilontarkan Widjajono ke publik relatif belum teruji. Langkahnya merupakan hal bagus. Almarhum berani mengekspresikan suatu wacana menjadi perdebatan publik. Langkah ini pas karena dengan begitu bisa didapatkan kebijakan publik yang teruji. “Gagasan publik memang harus dimulai dengan suatu perdebatan,“ terang Pak Wid.

Dalam talkshow di Indonesian Lawyers Club, Pak Wid berbisik ke saya. “Mas Anggito, tugas saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan situasi energi kita meskipun sangat pahit. Saya ingin supaya situasi energi dijadikan debat publik dan dicari solusi karena terlalu berat bagi pemerintah sendiri untuk berpikir.

Kejujuran dan keberanian mengungkapkan yang sebenarnya sudah lazim disampaikan di dunia akademik dalam berbagai seminar. Namun, tidak lazim dilontarkan oleh birokrat, apalagi setingkat pimpinan menteri dan wakil menteri. Ada anggapan, kebijakan pemerintah dikeluarkan setelah digodok matang secara internal. DPR juga sering merasa memiliki hak pertama untuk mengetahui berbagai kebijakan publik.

Pak Wid sudah memulai tradisi baru mengawinkan pemikiran akademik yang objektif dan kebijakan yang transparan. Meskipun kontroversial, saya mengapresiasi berbagai gagasan beliau. Saatnya mendobrak tradisi birokrasi yang kaku, monoton, dan tidak kreatif. Selamat jalan Pak Widjajono, semoga segala dedikasi, pengabdian, amal, dan perbuatannya diterima di sisi-Nya. Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar