Minggu, 22 April 2012

Globalisasi, Demokrasi, dan Kekacauan


Globalisasi, Demokrasi, dan Kekacauan
Jennie S Bev, Penulis dan Kolumnis yang Bermukim di California
SUMBER : JARINGNEWS.COM, 21 April 2012



Suatu kenyataan yang dijumpai di seluruh dunia bahwa siapa yang kuat dalam memegang kendali ekonomi.

CALIFORNIA, Jaringnews.com - Perkembangan ekonomi Indonesia luar biasa. Dengan economic growth lebih dari 6 persen di 2012, serta PDB per kapita USD 3.500 dan PDB nominal Indonesia USD 846 miliar di tahun 2011, Indonesia sudah menduduki ranking 16 besar dunia, setelah Korea Selatan yang mempunyai PDB USD 1,12 trilyun. Ekonomi, politik, dan kultur semakin mengglobal. Sayangnya, ketimpangan sosial dan ekonomi juga semakin besar yang dapat dirasakan dengan semakin “tidak nyaman”-nya dalam kehidupan bermasyarakat.

Situasi ini bukan enigma, mengingat semakin bebas pasar yang dibawa bersamaan dengan semakin demokratis suatu negara membawa dampak semakin tinggi pula ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh kecemburuan sosial. Pengamatan ini sejalan dengan teori Amy Chua dalam World on Fire: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability, yang menyatakan bahwa kecemburuan masyarakat mayoritas akan semakin besar terhadap sekelompok kecil para pemegang kekuatan ekonomi.

Suatu kenyataan yang dijumpai di seluruh dunia bahwa siapa yang kuat dalam memegang kendali ekonomi, maka semakin cepat pula mereka dapat menggandakan uang. Mengingat jumlah pemegang kendali alias “kreator” ekonomi jauh lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang berperan sebagai “konsumen” ekonomi, maka bisa dijumpai banyak terjadi aksi-aksi kekacauan bahkan kekerasan yang disebabkan oleh kecemburuan sosial. Berbeda dengan Amy Chua yang berhipotesis bahwa pemegang kekuatan ekonomi kebanyakan dari kelompok minoritas etnis, saya berpendapat bahwa pemegang kendali ekonomi terbesar dari etnis apapun bisa menjadi “momok” bagi mayoritas kelas menengah dan menengah bawah.

Ketimpangan ekonomi di era krisis global ini bisa dirasakan di mana saja, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat. Masih segar ingatan kita akan London Riots tahun lalau dan Occupy Movement yang masih berlanjut sampai sekarang di 1.500 kota di seluruh dunia dengan pusatnya di New York City. Saya sendiri telah beberapa kali mendatangi situs Occupy Movement di Oakland, San Jose, dan San Francisco yang kebetulan dekat dengan tempat kediaman saya.

Bayangkan, menurut data ekonom pemenang Nobel Joseph Stiglitz, satu persen dari populasi AS menguasai 40 persen kekayaan dan menikmati 60 persen penghasilan dari 90 persen. Mereka yang berada di pucuk paling atas totem ekonomi mempunyai penghasilan minimal USD 1.5 juta per tahun. Bahkan di negara Paman Sam yang paling demokratis ini, ketimpangan ekonomi demikian parahnya.

Namun yang menakjubkan bagi saya: masyarakat Amerika sangat “sopan” sehingga ketimpangan ini memerlukan waktu lebih dari 3 tahun sejak implosi finansial 2008 untuk bergerak. Setelah lebih dari 5 juta properti disita bank (foreclosure) dan lebih dari 49 juta jiwa mengalami kesulitan pangan, barulah Occupy Movement terbentuk dan rakyat melampiaskan kemarahan mereka dengan demonstrasi dan aksi-aksi yang merusak, walaupun cukup jarang. Apa sebabnya?

Masyarakat AS menginternalisasi nilai-nilai pasar bebas dan demokrasi yang sejalan dengan kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi sebagai suatu “prestasi” pribadi (achievement). Nilai-nilai ini terbukti sudah menjadi “momok” bagi mereka yang kurang kuat memegang kendali ekonomi, seperti kelas menengah pekerja (the working class), karena dengan “semakin bebas, berarti semakin yang kuat bisa berhasil.” Sebaliknya, kolektivisme sosialisme mengagungkan proteksionisme yang merupakan kebalikan dari kebebasan.

Hal ini membingungkan bagi masyarakat AS karena ternyata “kebebasan yang diagungkan telah menuai implosi ekonomi.” Namun mereka juga masih belum yakin bahwa “proteksionisme sosialisme” adalah pilihan yang tepat. Di sinilah perlu keberimbangan antara kebebasan pasar yang diusung demokrasi dengan mencari titik keseimbangan antara kebebasan dengan kolektivisme sosial.

Di Indonesia, fenomena dampak dan kontradiksi dari pasar bebas dan demokrasi serupa juga kita temui. Perbedaannya terletak di sikap kolektif masyarakatnya: di mana di AS mengagungkan kebebasan individu dan kebebasan pasar sebagai implementasi dari demokrasi, sedangkan di Indonesia mengagungkan kolektivisme dan proteksionisme. Perbedaan sikap kolektif ini membedakan respon tingkat kekacauan dari rakyat kelas pekerja. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar