Mengantisipasi
Dini Penyakit Gunung
Anies, Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
SUMBER
: SUARA MERDEKA, 24 April 2012
"Kurangnya
aklimatisasi dapat berakibat fatal, yaitu menurunnya kadar oksigen dalam darah
pada ketinggian tertentu"
BERITA mengejutkan, Wakil Menteri ESDM
Widjajono Partowidagdo meninggal dunia saat mendaki Gunung Tambora, NTB.
Meskipun belum dipastikan penyebabnya, diduga putra Magelang kelahiran 16
September 1951 itu kekurangan oksigen saat mencapai ketinggian 2.851 meter di
atas permukaan air laut/ dpl (SM, 22/04/12).
Ada beberapa kemungkinan dan salah satu
penyebab yang paling berisiko pada alumnus Teknik Perminyakan ITB 1975 itu
adalah acute mountain sickness, yang biasa disebut penyakit gunung. Pemicunya
antara lain ketinggian yang dicapai, terlalu cepat mendaki, tubuh kekurangan
cairan, dan kelelahan yang sangat.
Upaya
Pencegahan
Penyakit itu yang juga disebut altitude
sickness terjadi karena tubuh tidak mampu beradaptasi dengan kondisi alam
pegunungan yang sangat jauh berbeda dari kondisi di dataran rendah. Di
ketinggian (gunung) tertentu, tekanan udara dan kadar oksigen lebih rendah/
tipis ketimbang di dataran rendah dan hal ini menyebabkan tubuh kekurangan
oksigen. Penyakit gunung banyak menyerang pendaki, terutama tatkala ia mencapai
ketinggian lebih dari 2.400 meter, dan tak jarang mengakibatkan kematian.
Dalam pendakian gunung yang tinggi, salah
satu latihan yang wajib dijalani pendaki adalah aklimatisasi. Kurangnya
aklimatisasi atau penyesuaian dua kondisi lingkungan yang berbeda dapat
berakibat fatal, yaitu penurunan kadar oksigen dalam darah ketika berada pada
ketinggian tertentu.
Kondisi ini sering terjadi bila terlalu cepat
melakukan pendakian. Pada kasus Wamen ESDM, diberitakan ia sempat beberapa kali
beristirahat. Namun pada ketinggian 2.851 dpl oksigen sangat tipis. Bahkan hal
ini berbahaya bagi seseorang yang memiliki riwayat penyakit jantung.
Gejala menurunnya kadar oksigen dalam darah
antara lain pusing dan sesak napas, sulit diajak bicara, jantung berdetak lebih
cepat, mual, muntah, serta kuku dan bibir terlihat kebiru-biruan. Sebenarnya
efek penyakit gunung dapat diminimalisasi melalui beberapa upaya. Istirahat yang
cukup mutlak harus dilakukan. Meskipun Wamen diberitakan sempat beristirahat,
faktanya hanya beberapa jam. Padahal sangat dianjurkan beristirahat 24-48 jam.
Bantuan oksigen sangat diperlukan, dan bila
ada dokter atau tenaga medis, pengobatan dengan acetazolamide bisa mempercepat
proses adaptasi tubuh. Bila berencana mendaki gunung berketinggian di
atas 3.000 meter, sangat dianjurkan mendaki hanya kurang dari 300 meter/
hari. Sebaiknya menginap 2-3 hari di ketinggian intermediet guna penyesuaian.
Penyakit
Lain
Penyakit lain dapat pula mengancam pendaki
gunung pada ketinggian tertentu. Salah satunya hipotermia (hypothermia), berupa penurunan suhu tubuh secara berangsur, dan
dapat mengakibatkan cedera serius, bahkan kematian. Apabila suhu berada pada
titik terendah, tubuh sangat menderita.
Suhu normal berkisar 37 derajat C, dan pada
kasus hipotermia bisa turun menjadi 25 derajat. Diawali badan menggigil,
depresi pada pernapasan dan tekanan jantung. Pada suhu yang lebih dingin akan
terjadi kejang-kejang yang berakibat pada kematian.
Ada pula frostbite
(radang dingin). Pada kondisi ini jaringan sel dalam tubuh rusak karena terjadi
pembekuan. Cuaca dingin membuat cairan sel membeku sehingga aliran darah tak
lancar. Bagian yang tidak teraliri darah lebih dari 15 menit akan membusuk (gangrene) sehingga harus diamputasi.
Penyebab frostbite di samping suhu yang dingin juga daya tahan tubuh,
kelelahan, dan kekurangan cairan (dehidrasi).
Solusinya, berilah minuman hangat dan manis
kepada penderita hipotermia. Bila baju yang dipakai basah cepatlah ganti dengan
baju yang kering. Usahakan mencari tempat yang aman dari embusan angin,
misalnya dengan berlindung di tenda atau pelindung lainnya. Kantong tidur
sangat membantu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar