Selasa, 24 April 2012

Merayakan Pembunuhan Politik


Merayakan Pembunuhan Politik
Yudi Latif, Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
SUMBER : KOMPAS, 24 April 2012


Tepatlah ekspresi kemeriahan politik di negeri ini dinamakan ”pesta demokrasi”. Demokrasi dirayakan sebagai festival kolosal, padat modal, penuh kegaduhan, serta ajang perseorangan mengundi nasib dan aji mumpung.

Dalam demokrasi sebagai pesta, terjadi surplus politisi, tetapi defisit politik. Politisi bukannya melakukan kerja politik, malahan tega berjemaah membunuh politik bak Malin Kundang yang membunuh ibunya.

Politik adalah dimensi manusia secara keseluruhan. Dasar mengada dari politik adalah kepedulian terhadap konstruksi dan realisasi kebajikan kolektif (collective good). Dengan demikian, suatu kontradiksi jika orang-orang memasuki dunia politik hanya untuk meraih keuntungan pribadi.

Keuntungan pribadi bisa diperjuangkan di pasar barang dan jasa. Namun, di pasar sekalipun, jika semua orang hanya memedulikan keuntungan dan kepentingan sendiri, pada gilirannya akan terjadi bentrokan kepentingan yang bermuara pada hukum rimba: yang bertahan adalah yang terkuat (the survival of the fittest).

Untuk mencegah hal itu, kepentingan pribadi harus memberi ruang bagi kehadiran institusi publik yang dapat menjamin kebajikan hidup bersama. Institusi itu bernama politik. Sejatinya, politik adalah usaha resolusi atas problem-problem kolektif dengan pemenuhan kebajikan kolektif.

Sementara jembatan yang dipakai oleh pribadi-pribadi untuk mempertautkan kepentingan perseorangan ke dalam kepentingan kolektif adalah partai politik. Untuk itu, partai politik harus mencerminkan ide kolektif (ideologi), dipimpin dalam semangat kolektif, dan tetap dalam kendali kolektif.

Keburukan demokrasi kita bermula ketika para politisi dan partai politik tidak melakukan kerja politik untuk kebajikan publik, tetapi kerja ”perdagangan” untuk kepentingan pribadi-pribadi. Dalam politik yang mengalami proses privatisasi, rasionalitas kepentingan individual harus dibayar oleh irasionalitas kehidupan publik.

Politik kenegaraan yang semestinya lebih mengedepankan kepentingan publik acap kali lebih berpihak pada kepentingan privat. Di satu sisi, pemerintah bersikukuh mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) bagi rakyat (secara keseluruhan) dengan dalih penyelamatan APBN. Saat yang sama, APBN justru mengambil alih pembayaran utang swasta, seperti bunga bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Lapindo.

Di satu sisi, pemerintah mengeluh tentang besarnya alokasi anggaran untuk biaya rutin. Saat yang sama, pemekaran wilayah tanpa ukuran, satgas-satgas serabutan diciptakan, biaya perjalanan ”dinas” digelembungkan, dan berbagai proyek rekaan dibangun dengan mark up.

Di satu sisi, DPR kerap merevisi perundang-undangan politik dan pemilihan umum dengan dalih menciptakan kualitas demokrasi dan pemilihan yang lebih sehat. Saat yang sama, asas fairness dalam pemilu justru sering diabaikan oleh DPR.

Dalam Undang-Undang Pemilu yang baru, DPR cenderung menerapkan standar ganda: meloloskan otomatis partai-partai yang ada di DPR sebagai peserta pemilu seraya mewajibkan proses verifikasi hanya bagi partai-partai di luar itu. Padahal, dengan ketentuan-ketentuan kepartaian yang lebih sulit dalam UU Pemilu baru itu, tidak ada jaminan partai-partai di DPR bisa lolos verifikasi.

Kebijakan yang lebih mengedepankan keuntungan pribadi ketimbang kebaikan tatanan kehidupan politik juga tecermin dari inkonsistensi Presiden dalam menyikapi posisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di satu sisi, PKS dinyatakan dikeluarkan dari Setgab Koalisi. Saat yang sama, apalah artinya dikeluarkan dari koalisi jika menteri-menteri PKS tetap dipertahankan dalam kabinet?

Di satu sisi, Presiden dan orang sekelilingnya kerap menyatakan bahwa urusan pengangkatan dan pemberhentian menteri merupakan hak prerogatif Presiden. Namun, saat Presiden tidak berani mengambil keputusan, mereka justru mendesak PKS untuk menarik menterinya dari kabinet.

Kecenderungan sikap para politisi yang lebih mengedepankan keuntungan dan keselamatan sendiri ketimbang kebaikan kolektif membuat demokrasi Indonesia tidak memiliki pijakan yang kuat dalam menghadapi apa yang disebut Robert Reich sebagai gempuran ”superkapitalisme”.

Superkapitalisme menggambarkan kecenderungan menguatnya kompetisi di dunia bisnis dalam memperebutkan konsumer dan investor yang merambah dunia politik. Persaingan bisnis mendorong dana dalam jumlah besar mengalir dari korporasi dan badan-badan keuangan untuk membiayai serta mengarahkan politik dan kebijakan publik guna kepentingan mereka.

Demokrasi yang dasar ontologisnya untuk menetralisasi kekuatan-kekuatan perseorangan justru jatuh ke tampuk pemodal. Semakin kapitalisme menguat, semakin ketidakadilan merebak, semakin demokrasi tergerus. Krisis demokrasi timbul manakala ”hasrat manusia sebagai investor dan konsumer dimenangkan karena nilai-nilai publik kewargaan tidak memiliki sarana ekspresi yang efektif.”

Dibandingkan negara-negara dengan tradisi good governance dan social accountability yang baik, krisis demokrasi Indonesia bisa lebih parah. Dalam praktik demokrasi patrimonial dengan pertanggungjawaban publik yang buruk, politisi Indonesia lebih mudah menghamba pada daulat modal ketimbang daulat rakyat. Demokrasi berkembang menjadi sejenis pesta berjemaah untuk membunuh politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar