Selasa, 24 April 2012

Menghalalkan Wakil Menteri


Menghalalkan Wakil Menteri
Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
SUMBER : KORAN TEMPO, 24 April 2012


Menarik tulisan yang dimuat daM lam kolom ini mengenai posisi wakil menteri yang dipermasalahkan oleh beberapa kalangan (“Wamen,`Anak Haram' Konstitusi?“, Koran Tempo, 17 April 2012). Saudara Feri Amsari menjelaskan dan menegaskan posisi wakil menteri merupakan jabatan yang tidak “diharamkan“ oleh konstitusi. Secara teoretis, pandangan ini tentu saja tidak bisa dianggap sebagai kebenaran yang mutlak, karena argumentasi yang dibangun hanya atas dasar fakta politik yang terjadi pada satu jabatan posisi wakil menteri, yaitu Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Dalam catatan yang ada pasca-reshuffle kabinet pada 18 Oktober 2011, posisi wakil menteri berjumlah 19 orang. Bahkan beberapa kementerian memiliki dua wakil menteri, misalnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam logika yang sederhana, jabatan satu wakil menteri tentu tidak bisa dijadikan alasan pembenar untuk menghadirkan jumlah wakil menteri yang tidak terbatas tersebut.

Jumlah yang fantastis ini juga menjadi sebuah fakta politik yang harus dipertimbangkan keberadaannya. Jangan sampai ini menjadi preseden buruk bagi pengisian jabatan wakil menteri di masa mendatang, itu pun jika jabatan wakil menteri adalah sebuah keharusan.

Kementerian Galau

Penyusunan kabinet dalam dua periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono selalu mengalami kegalauan. Posisi menteri selalu dipenuhi oleh tokoh partai politik pendukung pemerintah (koalisi), tapi sedikit sekali menghadirkan profesional yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai. Kegalauan ini semakin nyata ketika Presiden Yudhoyono melakukan reshuffle, yang kemudian memunculkan 19 wakil menteri. Jumlah yang menurut perkiraan adalah yang terbanyak dalam sejarah penyusunan kabinet di Indonesia.

Dalam sistem pemerintahan presidensial (presidential system), presiden sebagai kepala pemerintahan (head of government) memiliki hak konstitusional untuk mengangkat para menteri sebagai bawahan atau pembantunya yang bertanggung jawab kepada presiden (Jimly Asshiddiqie, 2008). Namun, dalam prakteknya, hak ini cenderung mengalami disorientasi, karena ternyata Presiden tidak cukup dominan dalam pengisian jabatan menteri. Aspek politik masih menjadi pertimbangan utama bagi Presiden ketimbang membentuk kabinet kerja, yaitu kabinet yang diisi oleh orang-orang yang ahli dalam urusan kenegaraan dan ahli di bidangnya.

Pilihan Presiden menunjuk para profesional di akhir masa pemerintahannya untuk menduduki jabatan wakil menteri sebetulnya bisa dipandang sebagai bentuk “kegalauan“ Presiden terhadap rendahnya kinerja kementerian yang dipimpin oleh para tokoh partai politik. Namun kelemahannya adalah Presiden tidak cukup berani menyingkirkan menteri dari partai yang buruk kinerjanya. Terbukti, ketika pengganti menteri yang berasal dari partai politik juga diisi kembali oleh para tokoh partai.

Jika kehadiran wakil menteri kemudian ditujukan untuk mengakselerasi kinerja kementerian, ini justru membuktikan betapa takutnya Presiden menggantikan posisi menteri yang diisi oleh tokoh partai dan menggantinya dengan profesional yang non-partai. Bagi penulis, tidak ada satu pun alasan yang bisa dipakai untuk membenarkan ketakutan Presiden ini.

Secara politik, sah saja seorang presiden kemudian mengakomodasi kepentingan partai politik pendukungnya untuk mengisi jabatan menteri. Namun tentu saja kebijakan ini tidak justru menjadi bumerang bagi Presiden karena kinerjanya yang memang buruk.

Upaya Presiden menyeimbangkan kekuatan politik dalam kabinetnya jangan sampai menjadi senjata pembunuh yang justru mendelegitimasi kekuasaannya di hadapan publik. Belum pernah ada dalam sejarah, seorang presiden memberhentikan menteri dari tokoh partai menteri dari tokoh partai politik pendukungnya, lalu muncul keributan politik dan ia diberhentikan melalui mekanisme impeachment.

Maka tantangannya adalah bagaimana Presiden bisa keluar dari ketakutan semu ini, termasuk bagaimana Presiden menunjuk menteri karena memang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang dibutuhkan oleh kabinet. Bukan justru menempatkan nya sebagai ban serep (wakil menteri) yang secara hukum tidak memiliki posisi tawar yang kuat.

Tafsir Sesat

Jika ditelusuri ke belakang, kehadiran wakil menteri hanya didasarkan atas Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal ini setidaknya memiliki dua kelemahan mendasar. Permata, konstitusi sama sekali tidak mengamanatkan untuk menghadirkan posisi baru dalam struktur kementerian. Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945 hanya menyebutkan menteri sebagai pembantu presiden, dan sama sekali tidak menyinggung soal wakil menteri.

Kedua, konstitusi hanya mendelegasikan kepada undang-undang untuk mengatur hal yang berkaitan dengan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara (pasal 17 ayat 4). Dalam sejarah perumusan dan risalah perubahan ketiga UUD 1945 (2001), terutama yang terkait dengan kemunculan pasal 17 ayat 4, pembicaraan untuk menghadirkan wakil menteri sama sekali tidak pernah ada. Penambahan ayat 4 hanya dikaitkan dengan bagaimana membangun mekanisme untuk membatasi jumlah kementerian. Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk membatasi presiden dalam membentuk dan membubarkan organisasi kementerian. Maka munculnya pasal 10 dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 dipandang sebagai “tafsir sesat“oleh pembuat undang-undang terhadap amanat Pasal 17 ayat 4 UUD 1945.

Pengujian konstitusional yang dilakukan terhadap pasal yang menghadirkan wakil menteri harus dipandang sebagai bagian dari upaya memperbaiki struktur kekuasaan pemerintahan negara yang ditafsirkan secara serampangan. Di samping itu, pengujian ini tentu saja bukan bagian dari serangan balik atas personal satu orang wakil menteri yang kebetulan dihadapkan pada situasi politik yang kurang menguntungkan.

Maka Mahkamah Konstitusi diharapkan mampu keluar dari perdebatan yang sifatnya semantik. Putusan ini hendaknya bersifat lebih prospektus untuk memperbaiki sistem pembagian kekuasaan pemerintahan pada masa depan. Bukan justru “dipaksa“ oleh situasi politik yang seolah-olah ingin “menghalalkan“ kehadiran wakil menteri. Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar