Rabu, 25 April 2012

Sepak Bola untuk “Harapan” Kemanusiaan


Sepak Bola untuk “Harapan” Kemanusiaan
Kristanto Hartadi, Redaktur Senior SINAR HARAPAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 24 April 2012


Seorang teman saya, yang keturunan Tionghoa, punya hati mulia ingin memajukan masyarakat asli Papua. Melalui berbagai cara dia berusaha membantu Papua sebisa mungkin, mulai dari mencarikan beasiswa untuk para pelajar, membina para “mama papua” yang hanya mampu menggelar sedikit dagangannya di pasar-pasar tradisional, dan yang terbaru adalah, memprakarsai akademi sepak bola di Waena, Jayapura.

Sebenarnya Sekolah Sepak Bola Emsyk sudah ada sejak 2003, dan cukup berprestasi, namun (selalu) kurang dana. Di situ pernah berlatih sekitar 600 anak-anak dan remaja. Mereka datang dari berbagai penjuru Papua: Biak, Sorong, Wamena, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah bahkan Merauke.

Bergabung di akademi sepak bola Emsyk ternyata jadi impian. Sudah terbukti, puluhan alumnus Emsyk kini bermain di berbagai klub di Papua. Namun, pada sisi lain, si empunya sekolah sepak bola itu, Benny Pepuho, tak tahan, dan bermaksud menutup tempat itu.   

Namun yang muncul malah Akademi Emsyk Unipapua (AEU).  Ketika mulai mewujudkan gagasan akademi sepak bola untuk usia 6-19 tahun tersebut, teman itu mengirim pesan lewat mailing list dan email kepada teman-temannya, bahwa dia perlu 100 bola ukuran 3, 100 bola ukuran 4, dan 100 bola ukuran 5.

Dimintanya juga sumbangan makanan bernutrisi, vitamin, dan susu, karena banyak siswa sekolah sepak bola itu datang dari keluarga prasejahtera yang terjangkit malaria atau TBC.  

Saya tidak tahu apakah dia menerima bantuan itu, yang pasti pada 6 Februari 2012, Letjen (Purn) EE Mangindaan, Menteri Perhubungan, meresmikan AEU, dan dia menjadi pelindungnya. Sebagai pencinta sepak bola pak menteri mau terlibat untuk sebuah sekolah sepak bola nun jauh di kampung sana.

Semasa menjadi Pangdam Trikora (1992-1993) dan memimpin Komda PSSI Irian Jaya (1992-1995), Persipura menjuarai Piala Perserikatan tahun 1993 dan Provinsi Irian Jaya mendapat medali emas PON.

Di lapangan Waena, Lape mengungkapkan keyakinannya 5-10 tahun ke depan Papua akan jadi gudang pemain sepak bola. Saat ini saja ada banyak pemain menonjol asal Papua yang bertebaran di sejumlah klub seperti Eduard Ivak Dalam, Ortizan, Okto Maniani, Boas Solossa, Patrich Wanggai, Titus Bonai, dan Lucas Mandowen. Mereka juga memperkuat tim nasional Indonesia. (Profile Emsyk UniPapua dapat dikunjungi melalui laman www.emsykunipapua.com.)

Resolusi Konflik

AEU juga akan tampil dalam laga ekshibisi dan persahabatan di Singapura pada 4-7 Agustus 2012, untuk pembuktian kualitas pembinaan usia muda Papua. Tur ini adalah pertama kali dalam sejarah persepakbolaan Indonesia dan Singapura. Kini tengah digalang dana untuk tur tersebut, dan mereka akan muncul di acara Kick Andy Hope, di Metro TV, pada 19 Mei mendatang. Sejumlah uji tanding juga digelar melawan berbagai klub senior di Papua.

AEU juga dilirik berbagai lembaga, antara lain kerja sama dengan Real Madrid Foundation, yang mengadopsi 100 anak miskin untuk berlatih AEU. Lalu SFCG, sebuah LSM yang bergerak di bidang resolusi konflik, juga mau membantu.

LSM ini menggandeng AEU untuk kampanye perdamaian di kalangan pemuda dan sekolah-sekolah di Papua. Sebuah LSM antinarkoba juga akan menggandeng AEU untuk kampanye nasional di Papua. Pada saat tulisan ini dibuat, di Lapangan AEU sedang digelar turnamen Danone Cup U-12 dan akan disambung dengan Manchester United/MU Premerie Cup U-15.

Kisruh PSSI

Sampai hari ini kita menyaksikan sepak bola nasional kita terus kisruh. Mulai dari dua turnamen yang bersaing (ISL dan IPL), dua kepengurusan di PSSI, sampai penunjukan manajer tim nasional yang juga memicu kontroversi. Belum lagi soal-soal yang berbau kriminal seperti suap dan penggunaan dana APBD untuk klub sepak bola. Kalau melihat karut-marut itu, muncul pertanyaan besar: akankah Indonesia mampu unjuk gigi di Asia Tenggara dan Asia?

Saya menilai, mereka yang terlibat dalam kancah sepak bola nasional itu sebenarnya tidak mencintai Indonesia. Mereka hanya membela kepentingan pribadi dan kelompoknya, tidak berpikir untuk kejayaan Indonesia. Makanya ribut terus, karena persepakbolaan nasional sudah dianggap seperti milik sendiri dan diperlakukan sesukanya. Seharusnya Indonesia, yang berpenduduk 240 juta, bisa menjadi harum namanya kalau sepak bolanya maju dan hebat.

Semoga saja ketika 5-10 tahun ke depan dunia persepakbolaan Indonesia makin matang, dan anak-anak dari AEU sudah dapat ditampung dalam wadah yang jauh lebih baik dan profesional. Semoga saja makin banyak klub dan sekolah sepak bola seperti AEU muncul di berbagai pelosok Indonesia, karena dari klub dan kompetisi antarklub itulah muncul bibit-bibit unggul untuk kejayaan bangsa.

Bila hari ini AEU punya misi “sepak bola untuk harapan kemanusiaan” guna membangun Papua dari sektor sepak bola, saya berdoa (seperti juga harapan EE Mangindaan, dan para orang tua yang mengirim anak mereka berlatih di Waena) 5-10 tahun ke depan AEU benar-benar menjadi gudang pemain top dan menjadi sebuah klub yang profesional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar