Sepak Bola
untuk “Harapan” Kemanusiaan
Kristanto Hartadi, Redaktur
Senior SINAR HARAPAN
SUMBER
: SINAR HARAPAN, 24 April 2012
Seorang
teman saya, yang keturunan Tionghoa, punya hati mulia ingin memajukan
masyarakat asli Papua. Melalui berbagai cara dia berusaha membantu Papua sebisa
mungkin, mulai dari mencarikan beasiswa untuk para pelajar, membina para “mama
papua” yang hanya mampu menggelar sedikit dagangannya di pasar-pasar
tradisional, dan yang terbaru adalah, memprakarsai akademi sepak bola di Waena,
Jayapura.
Sebenarnya
Sekolah Sepak Bola Emsyk sudah ada sejak 2003, dan cukup berprestasi, namun
(selalu) kurang dana. Di situ pernah berlatih sekitar 600 anak-anak dan remaja.
Mereka datang dari berbagai penjuru Papua: Biak, Sorong, Wamena, Paniai,
Nabire, Pegunungan Tengah bahkan Merauke.
Bergabung
di akademi sepak bola Emsyk ternyata jadi impian. Sudah terbukti, puluhan
alumnus Emsyk kini bermain di berbagai klub di Papua. Namun, pada sisi lain, si
empunya sekolah sepak bola itu, Benny Pepuho, tak tahan, dan bermaksud menutup
tempat itu.
Namun
yang muncul malah Akademi Emsyk Unipapua (AEU). Ketika mulai mewujudkan
gagasan akademi sepak bola untuk usia 6-19 tahun tersebut, teman itu mengirim
pesan lewat mailing list dan email kepada teman-temannya, bahwa dia perlu 100
bola ukuran 3, 100 bola ukuran 4, dan 100 bola ukuran 5.
Dimintanya
juga sumbangan makanan bernutrisi, vitamin, dan susu, karena banyak siswa
sekolah sepak bola itu datang dari keluarga prasejahtera yang terjangkit
malaria atau TBC.
Saya
tidak tahu apakah dia menerima bantuan itu, yang pasti pada 6 Februari 2012,
Letjen (Purn) EE Mangindaan, Menteri Perhubungan, meresmikan AEU, dan dia
menjadi pelindungnya. Sebagai pencinta sepak bola pak menteri mau terlibat
untuk sebuah sekolah sepak bola nun jauh di kampung sana.
Semasa
menjadi Pangdam Trikora (1992-1993) dan memimpin Komda PSSI Irian Jaya
(1992-1995), Persipura menjuarai Piala Perserikatan tahun 1993 dan Provinsi
Irian Jaya mendapat medali emas PON.
Di
lapangan Waena, Lape mengungkapkan keyakinannya 5-10 tahun ke depan Papua akan
jadi gudang pemain sepak bola. Saat ini saja ada banyak pemain menonjol asal
Papua yang bertebaran di sejumlah klub seperti Eduard Ivak Dalam, Ortizan, Okto
Maniani, Boas Solossa, Patrich Wanggai, Titus Bonai, dan Lucas Mandowen. Mereka
juga memperkuat tim nasional Indonesia. (Profile Emsyk UniPapua dapat
dikunjungi melalui laman www.emsykunipapua.com.)
Resolusi
Konflik
AEU
juga akan tampil dalam laga ekshibisi dan persahabatan di Singapura pada 4-7
Agustus 2012, untuk pembuktian kualitas pembinaan usia muda Papua. Tur ini
adalah pertama kali dalam sejarah persepakbolaan Indonesia dan Singapura. Kini
tengah digalang dana untuk tur tersebut, dan mereka akan muncul di acara Kick
Andy Hope, di Metro TV, pada 19 Mei mendatang. Sejumlah uji tanding juga
digelar melawan berbagai klub senior di Papua.
AEU
juga dilirik berbagai lembaga, antara lain kerja sama dengan Real Madrid
Foundation, yang mengadopsi 100 anak miskin untuk berlatih AEU. Lalu SFCG,
sebuah LSM yang bergerak di bidang resolusi konflik, juga mau membantu.
LSM
ini menggandeng AEU untuk kampanye perdamaian di kalangan pemuda dan
sekolah-sekolah di Papua. Sebuah LSM antinarkoba juga akan menggandeng AEU
untuk kampanye nasional di Papua. Pada saat tulisan ini dibuat, di Lapangan AEU
sedang digelar turnamen Danone Cup U-12 dan akan disambung dengan Manchester
United/MU Premerie Cup U-15.
Kisruh PSSI
Kisruh PSSI
Sampai
hari ini kita menyaksikan sepak bola nasional kita terus kisruh. Mulai dari dua
turnamen yang bersaing (ISL dan IPL), dua kepengurusan di PSSI, sampai
penunjukan manajer tim nasional yang juga memicu kontroversi. Belum lagi
soal-soal yang berbau kriminal seperti suap dan penggunaan dana APBD untuk klub
sepak bola. Kalau melihat karut-marut itu, muncul pertanyaan besar: akankah
Indonesia mampu unjuk gigi di Asia Tenggara dan Asia?
Saya
menilai, mereka yang terlibat dalam kancah sepak bola nasional itu sebenarnya
tidak mencintai Indonesia. Mereka hanya membela kepentingan pribadi dan
kelompoknya, tidak berpikir untuk kejayaan Indonesia. Makanya ribut terus,
karena persepakbolaan nasional sudah dianggap seperti milik sendiri dan
diperlakukan sesukanya. Seharusnya Indonesia, yang berpenduduk 240 juta, bisa
menjadi harum namanya kalau sepak bolanya maju dan hebat.
Semoga
saja ketika 5-10 tahun ke depan dunia persepakbolaan Indonesia makin matang,
dan anak-anak dari AEU sudah dapat ditampung dalam wadah yang jauh lebih baik
dan profesional. Semoga saja makin banyak klub dan sekolah sepak bola seperti
AEU muncul di berbagai pelosok Indonesia, karena dari klub dan kompetisi
antarklub itulah muncul bibit-bibit unggul untuk kejayaan bangsa.
Bila
hari ini AEU punya misi “sepak bola untuk harapan kemanusiaan” guna membangun
Papua dari sektor sepak bola, saya berdoa (seperti juga harapan EE Mangindaan,
dan para orang tua yang mengirim anak mereka berlatih di Waena) 5-10 tahun ke
depan AEU benar-benar menjadi gudang pemain top dan menjadi sebuah klub yang
profesional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar