Rabu, 25 April 2012

Bertindaklah, Jangan Galau!


Bertindaklah, Jangan Galau!
Dinna Wisnu, Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina
SUMBER : SINDO, 25 April 2012


Sudah menjadi buah bibir di mana-mana, perekonomian Indonesia akan terus tumbuh tinggi dalam tahun-tahun mendatang. Kementerian Keuangan sangat optimistis produk domestik bruto (PDB) di Indonesia akan mencapai USD1 triliun dalam waktu kurang dari tiga tahun. Ibarat sebuah bola, posisi Indonesia sedang di puncak sehingga kemana pun ia menggelinding, akumulasi kekayaan akan terjadi relatif mudah meskipun perekonomian dunia melambat. Karena itulah Indonesia laksana magnet yang menarik untuk diajak bekerja sama.

Yang baru saja mengusulkan kerja sama dengan Indonesia adalah organisasi negara-negara kaya dunia, yakni OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Lembaga tersebut menawarkan kerja sama kepada pemerintah dan sektor usaha di Indonesia melalui penguatan kerja sama B to B (business to business) dengan bingkai BIAC (Business and Industry Advisory Committee). Setidaknya ada dua hal menarik dari paket kerja sama tersebut. Pertama,di satu sisi Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang sedang didekati OECD, tetapi Indonesia termasuk yang merespons tawaran itu dengan baik.

Bulan Mei 2007, keputusan tingkat menteri di OECD menetapkan akan dikembangkan kerja sama lebih dekat dan kuat dengan Indonesia, Brasil, China, India, dan Afrika Selatan. Kegiatan yang akan didorong adalah penguatan keterlibatan bisnis dan perwakilan pemerintah dari negara-negara tersebut dalam acara-acara dan penelitian di OECD. Dari pengakuan para utusan OECD, sulit sekali menembus Brasil, China, dan India. Afrika Selatan relatif baik, menurut mereka.Indonesia merespons positif. Kedua, pintu masuk dari kerja sama dengan Indonesia adalah karut-marutnya pengelolaan ekonomi di Indonesia.

OECD menyoroti meskipun prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia baik,masih ada pertanyaan besar: apakah pertumbuhan ekonomi tersebut berkelanjutan? Apakah bisa dijaga untuk selalu tinggi mengingat di Indonesia ada cukup banyak peraturan yang menyulitkan gerak langkah pebisnis? Istilah mereka ada bottle neck policy. Hal ini diutarakan meskipun OECD di awal bulan ini baru saja menaikkan peringkat ekonomi Indonesia ke level 3 (dari skala 0–7) sehingga bisa sejajar dengan Thailand,Uruguay,Afrika Selatan, Rusia, India, Brasil, dan Peru.

Kita perlu kembali pada hakikat OECD. Lembaga ini mengusung misi sebagai wadah kerja sama yang menguntungkan bagi negara-negara berpaham ekonomi pasar bebas dan demokrasi.Wajar saja bila China, India, dan Brasil kemudian memilih menolak OECD. Aliran ideologi mereka dalam mengelola ekonomi berbeda dengan aliran OECD. China,India,dan Brasil mengedepankan peranan negara dalam mengelola ekonomi pasar dan bukannya melepaskan tata kelolanya kepada bisnis. Tapi Indonesia belum sampai pada keputusan seperti itu.

Secara historis, Indonesia tidak punya keterikatan ideologis pada model pengelolaan ekonomi pasar tertentu.Model industri substitusi impor semasa Orde Baru mengamini ajaran untuk berhati-hati atas ketergantungan ekonomi pada negara-negara Barat, tetapi di sisi lain menjadi alat untuk menarik lebih banyak investor masuk ke Indonesia. Dalam konteks kekinian di mana sesungguhnya sedang terjadi perdebatan serius di tataran politisi global tentang model arsitektur ekonomi yang dianggap lebih baik untuk mengatasi krisis dan kesenjangan sosial ekonomi,sesungguhnya Indonesia sedang didesak untuk berpihak.

Bukan berpihak karena antinegaranegara yang tidak sepaham, tetapi berpihak karena punya prinsip bahwa cara itulah yang lebih menguntungkan bagi Indonesia. Di sini Indonesia terlihat galau dan kegalauan ini disebabkan banyak pejabat yang terpilih dari tingkat pusat hingga daerah disandera para bandar yang membiayai kampanye mereka.Media massa mencatat seminggu lalu dari tahun 2004 hingga 2012,174 kepala daerah terindikasi korupsi. Bagi yang pragmatis, terutama para teknokrat, sudah dalam tahap tidak peduli atau lelahuntuk mengurusi kebijakan domestik.Mereka akhirnya memilih untuk lebih bicara di tingkat nasional dan internasional.

Alasannya sedapat mungkin Indonesia terlibat dalam tiap pengambilan keputusan penting di dunia. Di G-20,OECD,ASEAN,ASEAN Plus, APEC, dan lain-lain semua diikutinya. Repotnya, kegiatan seperti itu sesungguhnya justru membuka ruang kritik seperti tadi muncul di OECD, yakni bahwa pemerintah terlihat tidak fokus berupaya menyelesaikan problem- problem domestik yang menghimpit pebisnis.Sebaiknya pemerintah segera menyadari bahwa pebisnis sebenarnya ragu-ragu akan niat baik pemerintah. Yang dibutuhkan pebisnis adalah keberanian dari pemerintah untuk menentukan cara yang koheren dalam menghadapi berbagai tawaran kerja sama dari luar negeri.

Bukan untuk menerima semuanya. Bagi pebisnis, keikutsertaan dalam semua proses pengambilan kebijakan sesungguhnya membingungkan.Buat mereka, tugas utama adalah menghidupkan usahanya. Sayang sekali, kepemimpinan masa kini justru melimpahkan kepusingan politik itu kepada kalangan bisnis. Akibatnya,Indonesia terus saja jalan di tempat, padahal mitranya banyak, dananya ada, dan orang-orang yang terlibat pun pandai-pandai. Jadi,sesungguhnya momen masa kini memberi peluang yang bagus sekali kepada Indonesia untuk melompat setinggi- tingginya menjadi lebih baik.

Lebih baik tidak hanya dari segi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk menentukan arah arsitektur tata kelola ekonomi dunia. Apakah kita meyakini bahwa model yang dikembangkan Brasil, China, India lebih cocok untuk visi misi Indonesia? Atau model yang dikembangkan negara-negara Baratlah yang lebih cocok? Mari menjawab itu. Janganlah kita galau. Bersihkan birokrasi dari korupsi dan tentukanlah arah politik pembangunan kita dengan ketegasan dan kepemimpinan yang kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar