Sekarat
Daulat Rakyat
Saldi Isra, Guru
Besar Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
SUMBER
: KOMPAS, 24 April 2012
Makna hakiki kedaulatan rakyat sebagaimana
termaktub dalam UUD 1945 sedang berada dalam helaan napas terakhir.
Setidaknya kondisi ini dapat dilacak pada
hasil kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR untuk memberlakukan ambang
batas parlemen secara nasional. Keadaan sekaratnya daulat rakyat itu tidak
terletak pada pilihan menaikkan ambang batas dari 2,5 persen ke 3,5 persen,
tetapi lebih pada penyeragaman dukungan suara bagi pengisian kursi anggota DPRD
dengan pengisian kursi anggota DPR. Dengan pemberlakuan secara nasional,
kesepakatan ambang batas sengaja mendorong kedaulatan rakyat menuju kematian.
Bahkan, tanpa menaikkan menjadi 3,5 persen
pun, pilihan politik pembentuk undang-undang memberlakukan ambang batas secara
nasional tetap saja tidak akan menyelamatkan daulat rakyat. Ujung semua itu,
keberagaman politik daerah yang telah tumbuh dan sekaligus menjadi warna
dinamika politik negeri ini akan segera terkubur. Karena itu, tak berlebihan
kritik Didik Supriyanto yang menyebut penerapan ambang batas nasional sebagai
bentuk kejahatan politik luar biasa (Kompas, 18/4).
Tak Terkendali
Sebagai hukum dasar, Pasal 1 Ayat (2) UUD
1945 menyatakan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UUD. Jamak diketahui, pengejawantahan makna kedaulatan rakyat di antaranya
dilakukan melalui pemilihan umum. Sebagai negara yang memilih sistem
presidensial, UUD 1945 membuat desain pelaksanaan pemilihan umum yang
memosisikan pemilih sebagai pemberi mandat secara langsung, baik kepada
pemegang kekuasaan legislatif maupun kepada pemegang kekuasaan eksekutif
tertinggi.
Terkait dengan desain itu, Pasal 22E Ayat (1)
UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa pemilihan umum dilaksanakan secara
langsung umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Kemudian frasa ”secara langsung” itu diulangi
kembali dalam Pasal 6A Ayat (1) UUD 1945 guna menjelaskan desain pemilihan
presiden dan wakil presiden oleh rakyat. Dikaitkan dengan kesepakatan perubahan
UUD 1945, pemilihan langsung itu adalah bentuk nyata dari purifikasi sistem
pemerintahan presidensial.
Bahkan, untuk menjaga konsistensi dengan
desain sistem pemerintahan presidensial, model pemilihan kepala daerah yang
hanya diwadahi Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dengan frasa ”dipilih secara
demokratis” via UU No 32/2004 dimaknai pula dengan dipilih secara langsung. Tak
hanya itu, putusan Mahkamah Konstitusi memberi terobosan luar biasa dengan
memberi kesempatan bagi calon perseorangan bertarung dalam pemilihan kepala dan
wakil kepala daerah.
Meski sama-sama mengamanatkan pemilihan
langsung, UUD 1945 mengatur dengan cara berbeda. Pada salah satu sisi, pemilihan
presiden dan wakil presiden diatur lebih rinci. Dengan pengaturan demikian,
pembentuk undang-undang masih menginjeksi ambang batas pencalonan yang sama
sekali tak dikehendaki Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Di sisi lain, untuk memilih
anggota lembaga legislatif, pengaturan lebih rinci diserahkan kepada substansi
undang-undang.
Merujuk pada pengalaman dua kali pemilihan
umum setelah perubahan UUD 1945, dengan alasan legal policy, pembentuk
undang-undang seperti sulit dikendalikan dalam menentukan desain pemilihan umum
anggota legislatif. Salah satu pengaturan yang dapat membuktikan perumusan
norma demikian adalah hadirnya ambang batas. Misalnya, UU No 10/2008 tentang
Pemilu Legislatif 2009 memperkenalkan ambang batas berlapis, yaitu ambang batas
elektoral dan ambang batas parlemen.
Kini, menyongsong Pemilu Legislatif 2014,
pembentuk undang-undang meneguhkan kembali ambang batas parlemen dengan syarat
yang diperberat. Selain menambah besaran (menjadi 3,5 persen), ambang batas
diberlakukan secara nasional.
Pilihan ini akan menutup peluang bagi partai
politik yang memiliki basis dukungan di daerah tertentu karena tak mampu
memenuhi ambang batas secara nasional. Padahal, alasan legal policy hanya dapat dibenarkan sepanjang tak bertentangan
dengan desain dan substansi konstitusi.
Desain Konstitusi
Dengan membaca secara utuh konstruksi Pasal
22E UUD 1945, secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa frasa ”secara
langsung” diperkuat Pasal 22E Ayat (2) UUD 1945. Karena itu, secara yuridis
konstitusional pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih: (1) anggota DPR, (2)
anggota DPD, (3) presiden dan wakil presiden, (4) anggota DPRD provinsi, dan
(5) anggota DPRD kabupaten/kota.
Desain konstitusi yang membedakan lima
sasaran penggunaan hak pilih itu sekaligus menjadi penjelasan bahwa pemberian
hak suara dilakukan dengan tingkat representasi yang berbeda pula. Sebagai
salah satu wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat, suara yang ditujukan ke dalam
kotak tertentu tak boleh menegasikan dan mereduksi makna pemberian suara ke
kotak yang lain. Apalagi dengan semakin banyak pemilih yang tecerdaskan,
pilihan mereka sangat mungkin berbeda untuk setiap kotak suara.
Di situlah letak kekeliruan elementer
pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional. Selain berpotensi mereduksi
kebinekaan pilihan pemilih, ambang batas parlemen secara nasional sangat
potensial membunuh daulat rakyat dalam menentukan representasi mereka di
lembaga legislatif pada setiap tingkatan yang berbeda. Hal itu sekaligus
bermakna, pemberlakuan ambang batas parlemen secara nasional menjadi semacam
mesin pembunuh massal kebinekaan berpolitik yang diamanatkan UUD 1945.
Dengan hilangnya kebinekaan berpolitik,
sangat mungkin partai politik yang secara tradisional hanya memiliki basis
dukungan di daerah tertentu, tetapi tak berhasil mencapai ambang batas 3,5
persen di tingkat nasional, secara otomatis suara pemilihnya akan hilang sampai
ke level provinsi dan kabupaten/kota.
Bila boleh berandai-andai, PKB yang punya
basis dukungan terbesar di Jawa Timur tak mampu mencapai angka 3,5 persen pada
Pemilu Legislatif 2014. Maka, PKB akan kehilangan kursi di semua DPRD di Jawa
Timur.
Saat ini dengan ambang batas parlemen yang
hanya berlaku bagi kursi di DPR, partai gurem masih mampu mempertahankan
eksistensi mereka di daerah tertentu. Namun, dengan aturan baru yang akan
berlaku di Pemilu 2014, partai gurem yang memiliki basis dukungan besar di
daerah tertentu, seperti PBB, PDS, PKNU, harus bersiap-siap kehilangan
eksistensi dalam peta perpolitikan Indonesia. Karena itu, jika harus menata
partai politik dengan ambang batas parlemen, pemberlakuan secara bertingkat
jauh lebih bijak.
Di atas itu semua, kita tak perlu cemas
dengan kehilangan partai politik tertentu di tengah ingar-bingar politik
nasional. Namun, yang paling ditakutkan, daulat rakyat terancam mati di tengah
kontestasi yang ia bangun sendiri. Saya percaya, Mahkamah Konstitusi menjadi
tumpuan terakhir untuk menyelamatkan daulat rakyat dari sakratulmaut. Tanpa
itu, matinya daulat rakyat tak mungkin dielakkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar