Solusi Hukum
lewat Peradilan Desa
Misbah Zulfa Elizabeth, Dosen Fakultas Dakwah IAIN Walisongo,
Mahasiswa Program S-3
Antropologi UGM
SUMBER
: SUARA MERDEKA, 25 April 2012
GAGASAN Mendagri Gamawan Fauzi membentuk
peradilan desa untuk menangani kasus-kasus ringan merupakan upaya revolutif dan
patut mendapat dukungan (SM, 28/03/12). Hal itu mendasarkan fakta saat
ini pengadilan overloaded menangani kasus yang masuk. Penumpukan perkara tidak
bisa diabaikan sebab dampaknya mengganggu rasa keadilan masyarakat.
Tahun 2010, guru besar UI Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa penumpukan perkara di pengadilan mencapai 3 juta kasus (vivanews.com, 20/02/10). Tanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan angka itu makin menggeelembung. Pada level Mahkamah Agung, tercatat sekitar 13 ribu perkara kasasi belum ditangani hingga akhir 2011.
Makin banyak perkara menumpuk, kualitas penanganan perkara dan putusan yang dijatuhkan berisiko berkualitas rendah. Sulit berharap, hakim menjalankan tugas dengan mempertimbangkan profesionalisme. Ini berdampak pada masyarakat pencari keadilan. Mereka tidak memperoleh keadilan sebagaimana mestinya. Peradilan tak bisa cepat memeriksa perkara karena banyaknya beban.
Kondisi itu berisiko memunculkan kepentingan uang. Orang kaya dan makelar kasus ’’bermain’’ sehingga muncul transaksi perkara. Di sisi lain, kita menyaksikan lolosnya kasus-kasus kecil ke pengadilan yang mengundang kontroversi, semisal kasus pencurian sandal jepit, pencurian 3 biji kakao, dan sebagainya.
Indonesia yang mengakui adanya hukum tidak tertulis, yang biasa disebut hukum adat, mengenal penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/ ADR) khususnya perkara perdata. Beberapa negara maju sudah menggunakan model ini secara luas sehingga proses penyelesaian sengketa dapat diatasi lewat berbagai pintu tanpa harus menunggu lama dan mengeluarkan banyak biaya.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, pemerintah dapat mengkaji ulang revitalisasi berbagai kearifan tradisi yang berorientasi pada penyelesaian perselisihan, supaya bisa menerapkan secara operasional. Aparat penegak hukum dapat memanfaatkan pusat mediasi dan resolusi konflik, serta pusat kajian perdamaian di berbagai wilayah untuk merealisasikan tujuan ini.
Masalah Sosial
Dalam ketentuan hukum nasional, tiap kejahatan atau pelanggaran dalam masyarakat dipandang dan dimaknai sebagai kejahatan atau pelanggaran terhadap negara. Konsekuensinya, negara melalui aturan perundang-undangan lebih mengedepankan sanksi hukum, berupa pidana atau pemidanaan untuk menyelesaikannya.
Hal ini berbeda dari mekanisme hukum adat yang menganggap tiap kejahatan atau pelanggaran di masyarakat bukan kejahatan atau pelanggaran terhadap negara melainkan sebatas persoalan sosial. Proses penyelesaiannya pun cukup melalui keterlibatan masyarakat, pelaku dan korban, serta keluarga melalui mekanisme musyawarah dan mufakat.
Saat ini banyak pusat mediasi yang telah terakreditasi oleh Mahkamah Agung untuk mencetak mediator profesional, yang siap membantu masyarakat menyelesaikan pertikaian. Misalnya Pusat Mediasi Nasional di Jakarta, Pusat Studi Pengembangan Perdamaian (PSPP) Universitas Duta Wacana Yogyakarta, dan Walisongo Mediation Center (WMC) IAIN Walisongo Semarang.
Negara dan masyarakat memperoleh beberapa keuntungan dari penyelesaian perselisihan lewat cara mediasi. Pertama; hubungan baik antarpihak (korban dan pelaku) yang bertikai tetap terjaga mengingat mediasi menerapkan prinsip win-win solution. Kedua; menjamin confidentiality (kerahasiaan) dan membuat pihak yang bertikai merasa nyaman karena orang lain tidak tahu permasalahannya. Ketiga; prosesnya cepat dan tidak membutuhkan banyak biaya. Dalam perspektif negara, cara mediasi jauh lebih menguntungkan karena pengadilan dapat menggunakan anggaran seefektif, bahkan seminimal mungkin, dalam menyelesaikan perkara. ●
Tahun 2010, guru besar UI Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa penumpukan perkara di pengadilan mencapai 3 juta kasus (vivanews.com, 20/02/10). Tanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan angka itu makin menggeelembung. Pada level Mahkamah Agung, tercatat sekitar 13 ribu perkara kasasi belum ditangani hingga akhir 2011.
Makin banyak perkara menumpuk, kualitas penanganan perkara dan putusan yang dijatuhkan berisiko berkualitas rendah. Sulit berharap, hakim menjalankan tugas dengan mempertimbangkan profesionalisme. Ini berdampak pada masyarakat pencari keadilan. Mereka tidak memperoleh keadilan sebagaimana mestinya. Peradilan tak bisa cepat memeriksa perkara karena banyaknya beban.
Kondisi itu berisiko memunculkan kepentingan uang. Orang kaya dan makelar kasus ’’bermain’’ sehingga muncul transaksi perkara. Di sisi lain, kita menyaksikan lolosnya kasus-kasus kecil ke pengadilan yang mengundang kontroversi, semisal kasus pencurian sandal jepit, pencurian 3 biji kakao, dan sebagainya.
Indonesia yang mengakui adanya hukum tidak tertulis, yang biasa disebut hukum adat, mengenal penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/ ADR) khususnya perkara perdata. Beberapa negara maju sudah menggunakan model ini secara luas sehingga proses penyelesaian sengketa dapat diatasi lewat berbagai pintu tanpa harus menunggu lama dan mengeluarkan banyak biaya.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, pemerintah dapat mengkaji ulang revitalisasi berbagai kearifan tradisi yang berorientasi pada penyelesaian perselisihan, supaya bisa menerapkan secara operasional. Aparat penegak hukum dapat memanfaatkan pusat mediasi dan resolusi konflik, serta pusat kajian perdamaian di berbagai wilayah untuk merealisasikan tujuan ini.
Masalah Sosial
Dalam ketentuan hukum nasional, tiap kejahatan atau pelanggaran dalam masyarakat dipandang dan dimaknai sebagai kejahatan atau pelanggaran terhadap negara. Konsekuensinya, negara melalui aturan perundang-undangan lebih mengedepankan sanksi hukum, berupa pidana atau pemidanaan untuk menyelesaikannya.
Hal ini berbeda dari mekanisme hukum adat yang menganggap tiap kejahatan atau pelanggaran di masyarakat bukan kejahatan atau pelanggaran terhadap negara melainkan sebatas persoalan sosial. Proses penyelesaiannya pun cukup melalui keterlibatan masyarakat, pelaku dan korban, serta keluarga melalui mekanisme musyawarah dan mufakat.
Saat ini banyak pusat mediasi yang telah terakreditasi oleh Mahkamah Agung untuk mencetak mediator profesional, yang siap membantu masyarakat menyelesaikan pertikaian. Misalnya Pusat Mediasi Nasional di Jakarta, Pusat Studi Pengembangan Perdamaian (PSPP) Universitas Duta Wacana Yogyakarta, dan Walisongo Mediation Center (WMC) IAIN Walisongo Semarang.
Negara dan masyarakat memperoleh beberapa keuntungan dari penyelesaian perselisihan lewat cara mediasi. Pertama; hubungan baik antarpihak (korban dan pelaku) yang bertikai tetap terjaga mengingat mediasi menerapkan prinsip win-win solution. Kedua; menjamin confidentiality (kerahasiaan) dan membuat pihak yang bertikai merasa nyaman karena orang lain tidak tahu permasalahannya. Ketiga; prosesnya cepat dan tidak membutuhkan banyak biaya. Dalam perspektif negara, cara mediasi jauh lebih menguntungkan karena pengadilan dapat menggunakan anggaran seefektif, bahkan seminimal mungkin, dalam menyelesaikan perkara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar