Perempuan
& Pembangunan
Dewi Aryani, Anggota
Komisi VII DPR RI Fraksi PDI Perjuangan,
Ketua PP Ikatan Sarjana NU (ISNU), Duta UI untuk Reformasi Birokrasi Indonesia
Ketua PP Ikatan Sarjana NU (ISNU), Duta UI untuk Reformasi Birokrasi Indonesia
SUMBER
: SINDO, 21 April 2012
Lebih
dari 60 tahun yang lalu Bung Karno telah memberikan angin sejuk dan harapan
besar bagi bangsa Indonesia melalui lima butir dasar negara, yaitu Pancasila,
yang dikatakannya sebagai pijakan karakter keindonesiaan kita.
Masing-masing
butir sarat dengan makna dan sangatlah dangkal ketika kita memahaminya hanya
sebatas frasa semata. Melalui kelima sila tersebut, Bung Karno menginginkan
agar bangsa Indonesia selalu melandaskan pembangunan nasional dan pembangunan
karakter bangsanya.
Salah satu butir yang harus melekat dan tidak boleh disegregasikan dalam pembangunan nasional (nation building) dan pembangunan karakter bangsa (capacity building) adalah butir kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Sila kelima ini setidaknya menekankan pada dua hal.Pertama, bahwa pembangunan harus dilandaskan pada keadilan dan kemerataan distribusi “kue pembangunan”.
Kedua, bahwa masing-masing elemen masyarakat berhak atas akses yang setara untuk memberikan sumbangsihnya bagi pembangunan. Apa pun latar belakang budaya, pendidikan, jenis kelamin,status sosial dan ekonomi, maka tidak ada halangan baginya untuk mendapatkan keduanya. Atas dasar tersebut, posisi dan perempuan dalam pembangunan pun tentu tidak lagi dapat disangkal kehadirannya.
Melalui potensi dan karakter unik yang berbeda dengan lakilaki, perempuan sangat dibutuhkan dalam mendorong pembangunan. Mahatma Gandhi, seperti yang dikutip dalam buku Sarinah, berpuluh-puluh tahun yang lalu pernah berkata “Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena ketiadaan perempuan di dalamnya.”
Melalui ucapannya tersebut, Gandhi pada waktu itu ingin mengatakan kepada rakyat India yang pada waktu itu dipimpinnya, bahwa keterlibatan perempuan dalam pembangunan bangsanya adalah hal mutlak dan tidak dapat tergantikan. Saat ini pun perbincangan tentang peran dan posisi perempuan dalam pembangunan berkeadilan (equitable development) sedang marak dan terus dikampanyekan oleh banyak negara di Timur dan Barat.
Negara-negara tersebut menyadari, bahwa perempuan menjadi determinan dan unsur yang paling signifikan dalam menciptakan pembangunan berkeadilan. Permasalahan yang lahir kemudian adalah bahwa urgensi peran perempuan dalam pembangunan masih belum diakui, bahkan oleh kebanyakan perempuan itu sendiri. Banyak perempuan yang lebih memilih untuk mengambil bagian domestik dan rumah tangga saja sebagai keahliannya.
Padahal, Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul Engendering Development— Through Gender Equality in Rights, Resources, and Voice (2001) telah memaparkan bahwa kesetaraan peran laki-laki dan perempuan telah berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Bank Dunia juga menjelaskan bahwa kepastian pendidikan dan kesehatan bagi perempuan akan cenderung meningkatkan pendapatan keluarga, karena perempuan yang sehat dan berpendidikan akan lebih mampu menciptakan kegiatan- kegiatan produktif. Perempuan yang memiliki kualitas kehidupan yang baik juga berperan penting dalam menciptakan generasi bangsa yang lebih baik.
Memperkuat Peran
Oleh karena itu, untuk memperkuat dan meningkatkan posisi dan peran perempuan dalam pembangunan berkeadilan, setidaknya ada tiga pekerjaan rumah yang sampai saat ini harus diselesaikan baik oleh pemerintah, masyarakat umum,dan oleh perempuan itu sendiri. Pertama, pekerjaan rumah untuk pemerintah adalah untuk menciptakan instrumen kebijakan yang pro terhadap keterlibatan perempuan dalam pembangunan.
Akses bagi perempuan untuk sekaligus menjadi objek dan aktor pembangunan harus setara dengan laki-laki . Sebagai aktor pembangunan, pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan yang membuka akses bagi perempuan untuk terlibat secara aktif dalam sektor-sektor strategis, seperti sektor pemerintahan, ekonomi, pendidikan. Keterlibatan perempuan dalam sektor pemerintahan akan menjadi katalisator dalam menciptakan kebijakan- kebijakan yang berorientasi pada pemberdayaan perempuan.
Oleh karena itu, tidak mustahil bahkan jika persentase partisipasi perempuan di kabinet atau di parlemen ke depan harusnya setara dengan laki-laki. Kedua, bagi masyarakat umum, pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah untuk menghilangkan anggapan bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua yang sebaiknya “dirumahkan”. Peran melayani suami dan mendidik anak memang benar menjadi tugas perempuan, namun manakala peran perempuan dalam ranah publik dibatasi dan dianggap tabu, itulah yang salah.
Ketiga, pekerjaan rumah ditujukan bagi perempuan itu sendiri untuk menciptakan dan melahirkan kemampuan dan kemauan para perempuan untuk mengubah dan memperbaiki nasibnya. Karena itu, anggapan bahwa perempuan tidak mampu lambat laun akan terkikis seiring dengan prestasi dan sumbangsih perempuan dalam pembangunan. Perempuan harus dapat membuktikan bahwa mereka mampu dan bisa disejajarkan dengan para laki-laki, bahkan untuk hal-hal strategis seperti pembangunan nasional.
Para perempuan harus banyak belajar dari RA Kartini sebagai pemikir dan pelopor emansipasi perempuan, ataupun dari Ibu Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan pertama di Republik Indonesia. Sebenarnya masih banyak sosok perempuan lain yang dapat kita jadikan teladan karena prestasi dan sumbangsihnya bagi bangsa ini. Namun, satu hal yang harus ditekankan adalah bahwa anggapan terhadap perempuan sebagai kaum marjinal tidak akan berubah manakala perempuan itu sendiri tidak mampu menunjukkan kemampuannya untuk berkarier dan berprestasi.
Oleh karena itu, membangun kapasitas para perempuan Indonesia menjadi pekerjaan rumah bersama, baik bagi pemerintah, masyarakat umum, dan terutama bagi perempuan itu sendiri. Di akhir tulisan ini, saya ingin menyuguhkan salah satu ucapan Presiden Eksekutif Institut Leimena, Jacob Tobing, dalam buku Megawati Anak Sang Putra Fajar: “Ini Abad 21: perempuan jangan cengeng menuntut ini itu, buktikan bahwa Anda bisa. Peluang untuk itu terbuka lebar sekarang.
Dan, Anda berhak pada posisi atau jabatan itu, bukan dengan cara mengemis atau diberi sebagai hadiah.“ Pada akhirnya, dengan keterlibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, baik dalam skala kecil, menengah, maupun besar, tentunya akan sangat berarti dan bernilai sebagai sumbangsih perempuan dalam menciptakanpembangunan Indonesia yang berkeadilan. Mari kita buktikan, wahai perempuan Indonesia! ●
Salah satu butir yang harus melekat dan tidak boleh disegregasikan dalam pembangunan nasional (nation building) dan pembangunan karakter bangsa (capacity building) adalah butir kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Sila kelima ini setidaknya menekankan pada dua hal.Pertama, bahwa pembangunan harus dilandaskan pada keadilan dan kemerataan distribusi “kue pembangunan”.
Kedua, bahwa masing-masing elemen masyarakat berhak atas akses yang setara untuk memberikan sumbangsihnya bagi pembangunan. Apa pun latar belakang budaya, pendidikan, jenis kelamin,status sosial dan ekonomi, maka tidak ada halangan baginya untuk mendapatkan keduanya. Atas dasar tersebut, posisi dan perempuan dalam pembangunan pun tentu tidak lagi dapat disangkal kehadirannya.
Melalui potensi dan karakter unik yang berbeda dengan lakilaki, perempuan sangat dibutuhkan dalam mendorong pembangunan. Mahatma Gandhi, seperti yang dikutip dalam buku Sarinah, berpuluh-puluh tahun yang lalu pernah berkata “Banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena ketiadaan perempuan di dalamnya.”
Melalui ucapannya tersebut, Gandhi pada waktu itu ingin mengatakan kepada rakyat India yang pada waktu itu dipimpinnya, bahwa keterlibatan perempuan dalam pembangunan bangsanya adalah hal mutlak dan tidak dapat tergantikan. Saat ini pun perbincangan tentang peran dan posisi perempuan dalam pembangunan berkeadilan (equitable development) sedang marak dan terus dikampanyekan oleh banyak negara di Timur dan Barat.
Negara-negara tersebut menyadari, bahwa perempuan menjadi determinan dan unsur yang paling signifikan dalam menciptakan pembangunan berkeadilan. Permasalahan yang lahir kemudian adalah bahwa urgensi peran perempuan dalam pembangunan masih belum diakui, bahkan oleh kebanyakan perempuan itu sendiri. Banyak perempuan yang lebih memilih untuk mengambil bagian domestik dan rumah tangga saja sebagai keahliannya.
Padahal, Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul Engendering Development— Through Gender Equality in Rights, Resources, and Voice (2001) telah memaparkan bahwa kesetaraan peran laki-laki dan perempuan telah berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Bank Dunia juga menjelaskan bahwa kepastian pendidikan dan kesehatan bagi perempuan akan cenderung meningkatkan pendapatan keluarga, karena perempuan yang sehat dan berpendidikan akan lebih mampu menciptakan kegiatan- kegiatan produktif. Perempuan yang memiliki kualitas kehidupan yang baik juga berperan penting dalam menciptakan generasi bangsa yang lebih baik.
Memperkuat Peran
Oleh karena itu, untuk memperkuat dan meningkatkan posisi dan peran perempuan dalam pembangunan berkeadilan, setidaknya ada tiga pekerjaan rumah yang sampai saat ini harus diselesaikan baik oleh pemerintah, masyarakat umum,dan oleh perempuan itu sendiri. Pertama, pekerjaan rumah untuk pemerintah adalah untuk menciptakan instrumen kebijakan yang pro terhadap keterlibatan perempuan dalam pembangunan.
Akses bagi perempuan untuk sekaligus menjadi objek dan aktor pembangunan harus setara dengan laki-laki . Sebagai aktor pembangunan, pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan yang membuka akses bagi perempuan untuk terlibat secara aktif dalam sektor-sektor strategis, seperti sektor pemerintahan, ekonomi, pendidikan. Keterlibatan perempuan dalam sektor pemerintahan akan menjadi katalisator dalam menciptakan kebijakan- kebijakan yang berorientasi pada pemberdayaan perempuan.
Oleh karena itu, tidak mustahil bahkan jika persentase partisipasi perempuan di kabinet atau di parlemen ke depan harusnya setara dengan laki-laki. Kedua, bagi masyarakat umum, pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah untuk menghilangkan anggapan bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua yang sebaiknya “dirumahkan”. Peran melayani suami dan mendidik anak memang benar menjadi tugas perempuan, namun manakala peran perempuan dalam ranah publik dibatasi dan dianggap tabu, itulah yang salah.
Ketiga, pekerjaan rumah ditujukan bagi perempuan itu sendiri untuk menciptakan dan melahirkan kemampuan dan kemauan para perempuan untuk mengubah dan memperbaiki nasibnya. Karena itu, anggapan bahwa perempuan tidak mampu lambat laun akan terkikis seiring dengan prestasi dan sumbangsih perempuan dalam pembangunan. Perempuan harus dapat membuktikan bahwa mereka mampu dan bisa disejajarkan dengan para laki-laki, bahkan untuk hal-hal strategis seperti pembangunan nasional.
Para perempuan harus banyak belajar dari RA Kartini sebagai pemikir dan pelopor emansipasi perempuan, ataupun dari Ibu Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan pertama di Republik Indonesia. Sebenarnya masih banyak sosok perempuan lain yang dapat kita jadikan teladan karena prestasi dan sumbangsihnya bagi bangsa ini. Namun, satu hal yang harus ditekankan adalah bahwa anggapan terhadap perempuan sebagai kaum marjinal tidak akan berubah manakala perempuan itu sendiri tidak mampu menunjukkan kemampuannya untuk berkarier dan berprestasi.
Oleh karena itu, membangun kapasitas para perempuan Indonesia menjadi pekerjaan rumah bersama, baik bagi pemerintah, masyarakat umum, dan terutama bagi perempuan itu sendiri. Di akhir tulisan ini, saya ingin menyuguhkan salah satu ucapan Presiden Eksekutif Institut Leimena, Jacob Tobing, dalam buku Megawati Anak Sang Putra Fajar: “Ini Abad 21: perempuan jangan cengeng menuntut ini itu, buktikan bahwa Anda bisa. Peluang untuk itu terbuka lebar sekarang.
Dan, Anda berhak pada posisi atau jabatan itu, bukan dengan cara mengemis atau diberi sebagai hadiah.“ Pada akhirnya, dengan keterlibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, baik dalam skala kecil, menengah, maupun besar, tentunya akan sangat berarti dan bernilai sebagai sumbangsih perempuan dalam menciptakanpembangunan Indonesia yang berkeadilan. Mari kita buktikan, wahai perempuan Indonesia! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar