Tongkat
Estafet Perjuangan Kartini
Nur’aeni Ahmad, Dosen
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta,
Ketua PB Wanita Tarbiyah
Ketua PB Wanita Tarbiyah
SUMBER
: SINDO, 21 April 2012
Peringatan
hari Kartini yang jatuhnya hari ini, 21 April 2012, pada esensinya sebagai
bentuk penghargaan terhadap perjuangan kaum perempuan Indonesia yang
disimbolisasikan dengan kepeloporan Raden Ajeng Kartini.
Kartini
menjadi simbol perjuangan kaum perempuan Indonesia yang diperlakukan
sewenang-wenang dan tidak adil oleh kaum laki-laki.Kaum perempuan dipandang
sebagai makhluk kelas dua yang tidak mendapatkan haknya sebagai manusia
merdeka. Sejatinya perjuangan kaum perempuan bukanlah hanya perjuangan Kartini
seorang.
Sejak zaman sebelum kemerdekaan, banyak tokoh perempuan Indonesia lainnya yang perjuangannya segaris dengan apa yang dilakukan Kartini. Di masing-masing daerah di wilayah Indonesia,muncul perempuan- perempuan pejuang yang tak kalah pentingnya, seperti Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Aceh, Rasuna Said dan St Manggopoh Minangkabau dari Sumatera Barat, Nyi Ageng Serang dan banyak lainnya.
Perjuangan Kartini dan perempuan- perempuan pejuang lainnya menjadi batu pijakan dan berhasil mengangkat sedikit demi sedikit derajat kaum perempuan Indonesia. Saat ini perempuan Indonesia tidak kalah dibandingkan kaum pria.Perempuan Indonesia telah berperan dalam berbagai sektor.Sudah tidak aneh lagi ketika melihat perempuan menjadi profesor/guru besar, dokter, ekonom, dan tidak sedikit kaum perempuan duduk dalam jabatan-jabatan penting baik di politik maupun dunia bisnis seperti ada yang menjadi gubernur, bupati, direktur utama.
Bahkan, Ibu Megawati Soekarno Putri menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia. Di politik pun, kesempatan untuk perempuan terbuka kian lebar. Melanjutkan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum yang mengakomodasi kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, UU untuk Pemilu 2014 juga menggariskan hal yang sama.Walaupun keterwakilan suara perempuan 30% di parlemen belum sebanding bila dibanding dengan jumlah perempuan, setidaknya ini menjadi affirmative action yang cukup baik bagi perempuan.
Tinggal bagaimana perempuan mengoptimalkannya. Sayangnya, data menunjukkan bahwa selama ini kesempatan politik itu belum teroptimalkan. Berdasarkan catatan Kaukus Perempuan Parlemen (KPP, 2012) pada Pemilu 2004 jumlah perempuan di parlemen sebanyak 11% dan meningkat menjadi 18% pada 2009. Sementara di DPRD provinsi, pada 2004 jumlah perempuan di parlemen hanya 10% dan pada 2009 naik menjadi 15%.
Di level DPRD kabupaten/kota, juga mengalami peningkatan dari yang rata-rata hanya 10% pada 2004 menjadi 15% pada 2009. Sementara wakil perempuan yang duduk di DPD, naik dari 18% pada 2004 menjadi 27% pada 2009.Harus ada langkah lebih tegas dan membangkitkan kesadaran mendorong naiknya keterwakilan minimal untuk menyuarakan kesejahteraan kaum perempuan.
Perbaikan
Melalui peringatan hari Kartini yang biasanya diperingati secara meriah,akan lebih baik jika kita mencoba merenung ulang dengan mengajukan pertanyaan kritis: “Sudahkan cita-cita Kartini menjadi kenyataan?” Tentu di berapa sektor dapat dijawab sudah, namun masih banyak Kartini- Kartini yang kurang beruntung di negeri ini.
Di antaranya mereka ada yang memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, bahkan di antara mereka menjadi korban keganasan majikannya dan diperlakukan tak senonoh, diperkosa, dibunuh, disiksa, dipenjarakan, bahkan hingga dipancung. Kondisi kemiskinan menjadi masalah besar bagi kaum perempuan yang membuatnya jauh lebih sengsara.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari nasib perempuan adalah angka kematian ibu melahirkan. Suatu hal yang mengagetkan bahwa angka kematian ibu melahirkan di Indonesia pada 2011 diperkirakan mencapai 11.534 jiwa (SINDO, 5/2). Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarif menjelaskan bahwa situasi ini mengkhawatirkan karena Indonesia tidak akan dapat mencapai target dalam Millennium Development Goals (MDGs) pada 2015 dalampenuntasankematianibu.
Perempuan sebagai ibu adalah modal pembangunan bangsa.Perempuan yang mempunyai pengetahuan yang luas akan menjadi modal kemajuan keluarganya yang dalam skala luas menjadi motor kemajuan bangsa.Sangat menarik mengikuti pemikiran seorang ahli gizi, Tirta Prawita Sari, yang dituangkan di harian ini dengan judul Mengasuh Ibu: Menyelamatkan Masa Depan dalam rangka menyambut hari Gizi Nasional yang jatuh pada 25 Januari. (SINDO, 25/1).
Menurut Tirta salah satu masalah penting yang perlu diperhatikan adalah masalah gizi ibu, terutama ibu hamil dan ibu menyusui. Menurutnya, ibu merupakan bagian penting yang akan memengaruhi perkembangan anak. Ibu yang memiliki kesadaran gizi yang tinggi akan memperhatikan gizi anaknya dan menularkan kesadaran itu pada anaknya. Gizi yang baik akan menjadi modal perkembangan anak, calon penerus bangsa ini. Permasalahan kesejahteraan dan pengetahuan itulah yang harusdiperhatikansecaraserius.
Jika Kartini dan perempuanperempuan hebat lainnya dari masa prakemerdekaan sudah meletakkan batu pijakan untuk kemajuan perempuan,sekarang tugas kita semua untuk meneruskan tongkat estafet yang telah mereka berikan. Kita perlu merenung ulang bagaimana langkah-langkah nyata yang seharusnya dilakukan ke depan terutama mengangkat harkat dan martabat Kartini-Kartini yang masih termarjinalkan oleh ketidakberuntungan mereka baik dalam masalah ekonomi dan pendidikan.”
“Banyak sudah pergerakan yang kandas di tengah jalan karena mengabaikan potensi dan eksistensi kaum perempuan,” kata Mahatma Gandhi. Jangan sampai bangsa ini yang sedang bersiap-siap melompat menjadi bangsa yang disegani harus terjerembab karena tidak memperhatikan kesejahteraan perempuan. ●
Sejak zaman sebelum kemerdekaan, banyak tokoh perempuan Indonesia lainnya yang perjuangannya segaris dengan apa yang dilakukan Kartini. Di masing-masing daerah di wilayah Indonesia,muncul perempuan- perempuan pejuang yang tak kalah pentingnya, seperti Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Aceh, Rasuna Said dan St Manggopoh Minangkabau dari Sumatera Barat, Nyi Ageng Serang dan banyak lainnya.
Perjuangan Kartini dan perempuan- perempuan pejuang lainnya menjadi batu pijakan dan berhasil mengangkat sedikit demi sedikit derajat kaum perempuan Indonesia. Saat ini perempuan Indonesia tidak kalah dibandingkan kaum pria.Perempuan Indonesia telah berperan dalam berbagai sektor.Sudah tidak aneh lagi ketika melihat perempuan menjadi profesor/guru besar, dokter, ekonom, dan tidak sedikit kaum perempuan duduk dalam jabatan-jabatan penting baik di politik maupun dunia bisnis seperti ada yang menjadi gubernur, bupati, direktur utama.
Bahkan, Ibu Megawati Soekarno Putri menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia. Di politik pun, kesempatan untuk perempuan terbuka kian lebar. Melanjutkan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum yang mengakomodasi kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, UU untuk Pemilu 2014 juga menggariskan hal yang sama.Walaupun keterwakilan suara perempuan 30% di parlemen belum sebanding bila dibanding dengan jumlah perempuan, setidaknya ini menjadi affirmative action yang cukup baik bagi perempuan.
Tinggal bagaimana perempuan mengoptimalkannya. Sayangnya, data menunjukkan bahwa selama ini kesempatan politik itu belum teroptimalkan. Berdasarkan catatan Kaukus Perempuan Parlemen (KPP, 2012) pada Pemilu 2004 jumlah perempuan di parlemen sebanyak 11% dan meningkat menjadi 18% pada 2009. Sementara di DPRD provinsi, pada 2004 jumlah perempuan di parlemen hanya 10% dan pada 2009 naik menjadi 15%.
Di level DPRD kabupaten/kota, juga mengalami peningkatan dari yang rata-rata hanya 10% pada 2004 menjadi 15% pada 2009. Sementara wakil perempuan yang duduk di DPD, naik dari 18% pada 2004 menjadi 27% pada 2009.Harus ada langkah lebih tegas dan membangkitkan kesadaran mendorong naiknya keterwakilan minimal untuk menyuarakan kesejahteraan kaum perempuan.
Perbaikan
Melalui peringatan hari Kartini yang biasanya diperingati secara meriah,akan lebih baik jika kita mencoba merenung ulang dengan mengajukan pertanyaan kritis: “Sudahkan cita-cita Kartini menjadi kenyataan?” Tentu di berapa sektor dapat dijawab sudah, namun masih banyak Kartini- Kartini yang kurang beruntung di negeri ini.
Di antaranya mereka ada yang memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, bahkan di antara mereka menjadi korban keganasan majikannya dan diperlakukan tak senonoh, diperkosa, dibunuh, disiksa, dipenjarakan, bahkan hingga dipancung. Kondisi kemiskinan menjadi masalah besar bagi kaum perempuan yang membuatnya jauh lebih sengsara.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari nasib perempuan adalah angka kematian ibu melahirkan. Suatu hal yang mengagetkan bahwa angka kematian ibu melahirkan di Indonesia pada 2011 diperkirakan mencapai 11.534 jiwa (SINDO, 5/2). Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarif menjelaskan bahwa situasi ini mengkhawatirkan karena Indonesia tidak akan dapat mencapai target dalam Millennium Development Goals (MDGs) pada 2015 dalampenuntasankematianibu.
Perempuan sebagai ibu adalah modal pembangunan bangsa.Perempuan yang mempunyai pengetahuan yang luas akan menjadi modal kemajuan keluarganya yang dalam skala luas menjadi motor kemajuan bangsa.Sangat menarik mengikuti pemikiran seorang ahli gizi, Tirta Prawita Sari, yang dituangkan di harian ini dengan judul Mengasuh Ibu: Menyelamatkan Masa Depan dalam rangka menyambut hari Gizi Nasional yang jatuh pada 25 Januari. (SINDO, 25/1).
Menurut Tirta salah satu masalah penting yang perlu diperhatikan adalah masalah gizi ibu, terutama ibu hamil dan ibu menyusui. Menurutnya, ibu merupakan bagian penting yang akan memengaruhi perkembangan anak. Ibu yang memiliki kesadaran gizi yang tinggi akan memperhatikan gizi anaknya dan menularkan kesadaran itu pada anaknya. Gizi yang baik akan menjadi modal perkembangan anak, calon penerus bangsa ini. Permasalahan kesejahteraan dan pengetahuan itulah yang harusdiperhatikansecaraserius.
Jika Kartini dan perempuanperempuan hebat lainnya dari masa prakemerdekaan sudah meletakkan batu pijakan untuk kemajuan perempuan,sekarang tugas kita semua untuk meneruskan tongkat estafet yang telah mereka berikan. Kita perlu merenung ulang bagaimana langkah-langkah nyata yang seharusnya dilakukan ke depan terutama mengangkat harkat dan martabat Kartini-Kartini yang masih termarjinalkan oleh ketidakberuntungan mereka baik dalam masalah ekonomi dan pendidikan.”
“Banyak sudah pergerakan yang kandas di tengah jalan karena mengabaikan potensi dan eksistensi kaum perempuan,” kata Mahatma Gandhi. Jangan sampai bangsa ini yang sedang bersiap-siap melompat menjadi bangsa yang disegani harus terjerembab karena tidak memperhatikan kesejahteraan perempuan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar