Minggu, 22 April 2012

Menggugat Hari Kartini


Menggugat Hari Kartini
Zainal Arifin, Pengurus Pusat Syabab (Pemuda) Hidayatullah
SUMBER : REPUBLIKA, 21 April 2012



Berlebihan rasanya bila sekilas membaca judul tulisan ini, namun itulah fakta yang semestinya ada apabila kita ingin dikatakan sebagai bangsa yang menjunjung nilai-nilai perjuangan. Sangat tidak adil jika kelahiran RA Kartini (21 April) diperingati secara nasional sebagai Hari Kartini, sementara banyak pahlawan wanita yang tidak kalah sumbangsih perjuangannya dalam melawan penjajah dilupakan bahkan tidak dikenal oleh generasi bangsa sekarang ini.

Sejauh mana peran Kartini dalam mengusir penjajah? Sebandingkah dengan perjuangan Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Meutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah yang terjun langsung ikut berperang melawan penjajahan di Aceh?
Coba telusuri sosok Martha Christina Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura di Maluku untuk mengusir pendudukan pasukan Kape (Belanda).
 
Apabila dibandingkan dengan perjuangan Kartini yang hanya sebatas perjuangan lewat tulisan, tentu tidak sebanding dengan perjuangan Martha Christina Tiahahu yang terjun di medan pertempuran. Kodratnya sebagai perempuan tidak menyurutkan semangat juang dalam melawan tentara kolonial meskipun dilengkapi persenjataan canggih. Namun, apa yang kita ketahui saat ini tentang Martha Christina Tiahahu, sangat mungkin generasi sekarang tidak banyak yang mengenal kepahlawanannya.

Ada lagi perempuan perkasa dari timur, Herlina Efendi, yang dianugerahi Pending Cendrawasih Emas dari pemerintah RI atas jasanya untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan kolonial Belanda. Semestinya, nama Herlina familiar oleh generasi kita apalagi mereka yang duduk di bangku pendidikan, kurikulum sejarah idealnya membahas biografi Herlina Efendi secara detail tanpa manipulasi data. Kenyataannya, banyak yang tidak kenal dengan seorang Srikandi dari Papua ini, sementara jasa beliau telah ikut mengantarkan Irian menjadi jaya seperti sekarang.

Tinta sejarah perjuangan kemerde kaan Indonesia juga telah menuliskan nama Emmy Saelan sebagai pejuang kemerdekaan RI di Sulawesi Selatan.
Bersama-sama RW Mongisidi, Emmy Saelan dapat melumpuhkan kekuatan kolonial Belanda yang mempunyai persenjataan lebih baik dengan taktiktaktik cemerlangnya. Bahkan, Emmy Saelan berani bunuh diri dengan cara meledakkan granat di tangannya sehingga menewaskan beberapa serdadu Belanda yang ingin menangkapnya.

Seharusnya, hari kematian Emmy Saelan ini diperingati secara nasional agar generasi bangsa ini paham arti bunuh diri yang dibenarkan agama. Bukan mati konyol karena bunuh diri dengan alasan putus cinta, banyak utang, pengangguran, hidup miskin, dan alasan-alasan lainnya yang tidak substansial.

Uraian tersebut seharusnya mendorong kita semua untuk berpikir cerdas dan bijaksana, sudah tepatkah pemerintah menetapkan 21 April sebagai Hari Kartini? Lalu, bagaimana dengan pejuang-pejuang perempuan yang telah gugur di medan tempur? Kapan kita dapat mengenang mereka layaknya RA Kartini? Bukankah mereka jauh lebih besar pengorbanannya dibanding seorang RA Kartini? Silakan cari jawabannya dengan berdasar pada fakta sejarah dan bukan dogma dari dongeng rekaan kolonial.

Tangan Orientalis

Tersohornya RA Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia sangat mungkin terjadi akibat propaganda orientalis Belanda yang licik. Hal ini dilihat dari upaya HH van Kol, C Th van Deventer, Snouck Hurgronje, Estella Zeehandelaar, Ny Abendanon, dan lainnya yang merupakan aktivis orientalis Belanda dalam mengekspos curhat Kartini melalui media dan bukubuku untuk menebar pertentangan dan perpecahan. Atau juga, sebagai ajang akulturasi nilai-nilai budaya Belanda untuk menjamah struktur nilai dan budaya Indonesia agar dapat tunduk bersimpati kepada kolonial Belanda.

Apologetik yang cukup sukses dari bangsa Belanda sehingga sampai sekarang meski hampir seabad Indonesia merdeka, kuku-kuku kolonialisme masih menancap di Tanah Air kita ini. Kartini sebagai kader kolonial (karena banyak berhubungan dengan tokoh Belanda saat itu) memiliki kegemaran curhat yang sampai detik ini menjadi budaya generasi bangsa kita.

Sehingga, wajar jika Kartini menjadi pahlawan emansipasi karena kegemarannya yang suka curhat. Sesuatu yang tidak dilakukan oleh Malahayati, Dewi Sartika, Rohana Kudus, Laswi, Jo Paramitha, Siti Aisyah We Tenriolle, Nyai Walidah Ahmad Dahlan, Ny Sunarjo Mangunpuspito, dan pahlawan wanita lainnya ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Tulisan ini tidak bermaksud memojokkan siapa pun, hanya menyayangkan jika popularitas Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di nusantara menafikan silsilah perjuangan perempuan lainnya yang jauh lebih prestisius sebelum masanya.

Karena itu, sangat disesalkan jika platform perjuangan perempuan Indonesia terbatas pada starting-point seorang sosok Kartini yang gemar curhat melalui suratnya. Sementara, Indonesia mempunyai segudang figur pahlawan perempuan yang kuat, piawai, elegan, dan berbagai elemen superioritas lainnya.

Tidak dapat dipungkiri jika bangsa Indonesia saat ini merupakan negara berpenduduk Islam terbesar di dunia dan sekaligus menjadi musuh utama Yahudi. Doktrin kesetaraan gender yang dibungkus emansipasi wanita gencar dilakukan demi kehancuran umat dan bangsa ini. Peringatan Hari Kartini telah digunakan kaum feminisme sebagai momentum kebebasan wanita dari aturan hidup Sang Pencipta.

Strategi Belanda dalam melumpuhkan generasi bangsa kita sudah memasuki berbagai lini kehidupan. Selain paham gendernya yang terus merebak kini, sejak dahulu Belanda juga melakukan “pembaratan“ pejabat elite pribumi melalui dunia pendidikan. Distorsi sejarah bangsa Indonesia sudah membentur tembok krusial. Generasi saat ini menanti dan merindukan pencerahan nasional demi membuka wawasan berpikirnya membangun bangsa berperadaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar