Menggugat
Hari Kartini
Zainal Arifin, Pengurus Pusat Syabab (Pemuda) Hidayatullah
SUMBER
: REPUBLIKA, 21 April 2012
Berlebihan
rasanya bila sekilas membaca judul tulisan ini, namun itulah fakta yang
semestinya ada apabila kita ingin dikatakan sebagai bangsa yang menjunjung
nilai-nilai perjuangan. Sangat tidak adil jika kelahiran RA Kartini (21 April)
diperingati secara nasional sebagai Hari Kartini, sementara banyak pahlawan
wanita yang tidak kalah sumbangsih perjuangannya dalam melawan penjajah dilupakan
bahkan tidak dikenal oleh generasi bangsa sekarang ini.
Sejauh
mana peran Kartini dalam mengusir penjajah? Sebandingkah dengan perjuangan Cut
Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Meutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan
Cutpo Fatimah yang terjun langsung ikut berperang melawan penjajahan di Aceh?
Coba
telusuri sosok Martha Christina Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura
di Maluku untuk mengusir pendudukan pasukan Kape (Belanda).
Apabila dibandingkan dengan perjuangan Kartini yang hanya sebatas perjuangan
lewat tulisan, tentu tidak sebanding dengan perjuangan Martha Christina Tiahahu
yang terjun di medan pertempuran. Kodratnya sebagai perempuan tidak menyurutkan
semangat juang dalam melawan tentara kolonial meskipun dilengkapi persenjataan
canggih. Namun, apa yang kita ketahui saat ini tentang Martha Christina
Tiahahu, sangat mungkin generasi sekarang tidak banyak yang mengenal
kepahlawanannya.
Ada
lagi perempuan perkasa dari timur, Herlina Efendi, yang dianugerahi Pending
Cendrawasih Emas dari pemerintah RI atas jasanya untuk membebaskan Irian Barat
dari pendudukan kolonial Belanda. Semestinya, nama Herlina familiar oleh
generasi kita apalagi mereka yang duduk di bangku pendidikan, kurikulum sejarah
idealnya membahas biografi Herlina Efendi secara detail tanpa manipulasi data.
Kenyataannya, banyak yang tidak kenal dengan seorang Srikandi dari Papua ini,
sementara jasa beliau telah ikut mengantarkan Irian menjadi jaya seperti
sekarang.
Tinta
sejarah perjuangan kemerde kaan Indonesia juga telah menuliskan nama Emmy
Saelan sebagai pejuang kemerdekaan RI di Sulawesi Selatan.
Bersama-sama RW Mongisidi, Emmy Saelan dapat melumpuhkan kekuatan kolonial Belanda yang mempunyai persenjataan lebih baik dengan taktiktaktik cemerlangnya. Bahkan, Emmy Saelan berani bunuh diri dengan cara meledakkan granat di tangannya sehingga menewaskan beberapa serdadu Belanda yang ingin menangkapnya.
Bersama-sama RW Mongisidi, Emmy Saelan dapat melumpuhkan kekuatan kolonial Belanda yang mempunyai persenjataan lebih baik dengan taktiktaktik cemerlangnya. Bahkan, Emmy Saelan berani bunuh diri dengan cara meledakkan granat di tangannya sehingga menewaskan beberapa serdadu Belanda yang ingin menangkapnya.
Seharusnya,
hari kematian Emmy Saelan ini diperingati secara nasional agar generasi bangsa
ini paham arti bunuh diri yang dibenarkan agama. Bukan mati konyol karena bunuh
diri dengan alasan putus cinta, banyak utang, pengangguran, hidup miskin, dan
alasan-alasan lainnya yang tidak substansial.
Uraian
tersebut seharusnya mendorong kita semua untuk berpikir cerdas dan bijaksana,
sudah tepatkah pemerintah menetapkan 21 April sebagai Hari Kartini? Lalu,
bagaimana dengan pejuang-pejuang perempuan yang telah gugur di medan tempur?
Kapan kita dapat mengenang mereka layaknya RA Kartini? Bukankah mereka jauh
lebih besar pengorbanannya dibanding seorang RA Kartini? Silakan cari
jawabannya dengan berdasar pada fakta sejarah dan bukan dogma dari dongeng
rekaan kolonial.
Tangan Orientalis
Tersohornya
RA Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia sangat mungkin terjadi
akibat propaganda orientalis Belanda yang licik. Hal ini dilihat dari upaya HH
van Kol, C Th van Deventer, Snouck Hurgronje, Estella Zeehandelaar, Ny
Abendanon, dan lainnya yang merupakan aktivis orientalis Belanda dalam
mengekspos curhat Kartini melalui media dan bukubuku untuk menebar pertentangan
dan perpecahan. Atau juga, sebagai ajang akulturasi nilai-nilai budaya Belanda
untuk menjamah struktur nilai dan budaya Indonesia agar dapat tunduk bersimpati
kepada kolonial Belanda.
Apologetik
yang cukup sukses dari bangsa Belanda sehingga sampai sekarang meski hampir
seabad Indonesia merdeka, kuku-kuku kolonialisme masih menancap di Tanah Air
kita ini. Kartini sebagai kader kolonial (karena banyak berhubungan dengan
tokoh Belanda saat itu) memiliki kegemaran curhat yang sampai detik ini menjadi
budaya generasi bangsa kita.
Sehingga,
wajar jika Kartini menjadi pahlawan emansipasi karena kegemarannya yang suka
curhat. Sesuatu yang tidak dilakukan oleh Malahayati, Dewi Sartika, Rohana
Kudus, Laswi, Jo Paramitha, Siti Aisyah We Tenriolle, Nyai Walidah Ahmad
Dahlan, Ny Sunarjo Mangunpuspito, dan pahlawan wanita lainnya ketika
memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Tulisan
ini tidak bermaksud memojokkan siapa pun, hanya menyayangkan jika popularitas
Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di nusantara menafikan
silsilah perjuangan perempuan lainnya yang jauh lebih prestisius sebelum
masanya.
Karena
itu, sangat disesalkan jika platform perjuangan perempuan Indonesia terbatas
pada starting-point seorang sosok Kartini yang gemar curhat melalui suratnya.
Sementara, Indonesia mempunyai segudang figur pahlawan perempuan yang kuat,
piawai, elegan, dan berbagai elemen superioritas lainnya.
Tidak
dapat dipungkiri jika bangsa Indonesia saat ini merupakan negara berpenduduk
Islam terbesar di dunia dan sekaligus menjadi musuh utama Yahudi. Doktrin
kesetaraan gender yang dibungkus emansipasi wanita gencar dilakukan demi
kehancuran umat dan bangsa ini. Peringatan Hari Kartini telah digunakan kaum
feminisme sebagai momentum kebebasan wanita dari aturan hidup Sang Pencipta.
Strategi
Belanda dalam melumpuhkan generasi bangsa kita sudah memasuki berbagai lini
kehidupan. Selain paham gendernya yang terus merebak kini, sejak dahulu Belanda
juga melakukan “pembaratan“ pejabat
elite pribumi melalui dunia pendidikan. Distorsi sejarah bangsa Indonesia sudah
membentur tembok krusial. Generasi saat ini menanti dan merindukan pencerahan
nasional demi membuka wawasan berpikirnya membangun bangsa berperadaban. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar