Minggu, 22 April 2012

“Nyontek”


“Nyontek”
Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
SUMBER : SINDO, 22 April 2012



Ujian Nasional (UN) sekolah lanjutan atas baru saja berlalu. Sebagaimana biasa, salah satu isu yang paling heboh adalah mencontek atau nyontek.

Wartawan bisa saja mencari bukti di lapangan bahwa nyontek di UN itu benar-benar ada,walaupun Mendikbud berkali-kali menjamin bahwa sistem UN sekarang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga bebas nyontek. Tetapi gejala nyontek itu sejak saya sekolah sudah ada. Bahkan sejak zaman bapak saya, walaupun beliau selalu mengatakan kepada saya bahwa beliau tidak pernah nyontek (mungkin beliau tidak mencontek, tetapi kawan-kawan beliau mencontek dari beliau).

Teknik mencontek yang klasik adalah membuat catatan-catatan seimut mungkin yang ditulis di kertas kecil, di bangku kelas (khusus untuk ulangan di mana kita duduk di bangku masingmasing), di tangan, di balik lipatan rok (cewek),atau malah di paha (juga cewek).Ada juga yang menunggu guru (atau dosen) pengawas meleng dan kita melirik ke kertas teman di sebelah, sementara dia juga sudah kompak dan memiringkan kertasnya begitu rupa sehingga terbaca oleh kita.Malah kalau bisa bertukaran kertas jawaban agar bisa saling menyalin. Namanya juga usaha.... Namun teknik-teknik nyontek klasik itu sudah ditinggalkan orang di era reformasi sekarang.

Zaman reformasi semuanya bereformasi,termasuk teknik nyontek.Tapi jangan salah, bukan nyontekyang hilang,melainkan tekniknya saja berubah. Sekarang orang bisa beli jawaban soal-soal UN.Kata tim Dikbud yang diterjunkan ke lapangan, sekitar 80% jawabannya benar. Berarti, siswa yang menggunakan contekan versi peredaran gelap itu (seperti dagang narkoba) bisa dapat nilai 80, sementara nilai rata-rata UN se-Indonesia hanya kurang dari 40 (kalau tidak salah). Teknik lain dengan SMS. Teknik ini tergolong nekat, karena sebelum ujian semua ponsel harus dikumpulkan (entah di mana siswa pencontek itu menyembunyikan ponselnya).

Yang lebih nekat lagi adalah menggunakan joki. Beberapa joki tertangkap tangan karena wajahnya seperti Noordin M Top, sementara foto di kartu peserta ujian yang dibawanya mirip Justin Bieber. Tetapi yang paling kurang ajar adalah para guru pengawas ujian malah memberikan contekan kepada siswa, bahkan ada yang membiarkan siswa saling berdiskusi dan bertukar-tukaran kertas soal sementara dia tetap mengawasi. Luar biasa!  “Mau dibawa ke mana moral bangsa ini?” demikian kata sebagian besar orang tua yang prihatin.

Di sisi lain, dalam kehidupan sehari-hari nyontek bukan hal yang aneh, sudah biasa, bahkan kita harus nyontek kalau mau kerja yang benar. Ketika saya menulis artikel atau makalah atau buku teks, saya selalu mencontek. Dulu setiap kali saya menulis, di meja tulis saya bertebaran buku-buku referensi untuk saya contek. Sekarang malah jauh lebih gampang. Tinggal klik profesor Google, maka semua pertanyaan sudah dia siapkan jawabannya.

Ketika mahasiswa saya yang praktik di RS Jiwa berkonsultasi tentang status pasiennya, kami bersama-sama membuka buku PPDGJ (Pedoman Pengolongan Diagnosis Gangguan Jiwa), yaitu “Kitab Suci”-nya para psikiater dan psikolog klinis untuk menentukan diagnosis yang paling tepat buat pasien itu. Begitu juga kalau saya naik taksi di Amerika, ketika saya menyebut suatu alamat yang tidak dikenal oleh sopir (di sana disebut: driver), dia akan langsung mencari dulu di peta (contekan) yang selalu siap di mobilnya. Jaman sekarang malah lebih gampang lagi, karena dia menggunakan alat GPS yang memandu dia sampai persis ke depan rumah yang saya tuju. Istri saya, dan sebagian dari keluarga saya, baik yang perempuan maupun yang laki-laki, ada yang hobi masak.

Mereka pun nyontek dari resep-resep yang sudah disiapkan sebelumnya. Masih berjuta-juta contoh nyontek yang lain dalam kehidupan riil sehari-hari. Masalahnya, mengapa kita mengharuskan siswa kita di seluruh Indonesia untuk menghafalkan segalanya sementara dalam kehidupan sehari-hari, jarang sekali diperlukan hafalan. Ketika kita tidak tahu tentang suatu hal, atau kita tersesat di jalan, misalnya, kita selalu bisa bertanya kepada orang yang tahu, atau kita mencari sumber informasi yang lain.

Kalaupun diperlukan hafalan, akan terbentuk dengan sendirinya karena keterlatihan dan pengalaman yang bertahun- tahun. Penyanyi sekaliber Bob Tutupoly atau Kris Dayanti hafal ratusan lagu, karena pengalaman dan profesinya memang mengharuskan mereka hafal lagu-lagu. Sama seperti sopir travel yang hafal setiap tikungan dan setiap lubang dari trayek yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Sementara itu, kemampuan bernalar anak-anak didik kita makin lama makin hilang. Anak-anak zaman dulu sekarang sudah jadi orang dewasa.

Jadi anggota DPR, jadi wartawan, jadi pengacara, jadi macam- macam, termasuk jadi guru dan pendidik. Karena mereka dulu hanya diajari untuk menghafal dan hafalan pun bisa diakali dengan nyontek, maka mereka tidak punya apa-apa lagi. Nalar tidak ada karena tidak terlatih, sementara kekuatan memori pun tidak ada karena terbiasa nyontek. Tetapi yang terpenting adalah nilai-nilai kejujuran jadi lenyap. Orang-orang seperti Gayus dan Nazaruddin atau pembalak hutan yang setiap hari menggunduli hutan-hutan Indonesia, atau polisi yang malah terlibat dalam peredaran narkoba dan seterusnya, tidak tahu lagi mana yang benar dan salah, mana yang baik dan tidak baik.

Begitu juga guru-guru yang menjual soal atau membantu siswa-siswanya untuk mencontek. Pantaslah kalau tokoh-tokoh vokal yang banyak koar-koar di televisi tidak ada ujung pangkalnya. Tidak ada deduksi atau induksi, tidak jelas mana premis dan mana kesimpulan, dan dikacaukan saja antara premis yang benar dan premis yang salah. Ibaratnya kalau seorang tokoh yang top sudah berbicara bahwa paus adalah sejenis ikan, maka semua orang percaya bahwa paus adalah ikan.

Padahal paus yang hidup di laut, maupun Paus yang tinggal di Roma, dua-duanya bukan ikan. Jadi nalar inilah yang harus diajarkan kepada anak-anak didik. Tanpa kemampuan nalar atau logika, maka pendemo yang didukung para orator dan provokator tetap yakin bahwa SBY-Boed harus mundur karena berencana menaikkan harga BBM.

Mereka lupa bahwa presiden-presiden sebelumnya (termasuk Megawati) juga menaikkan harga BBM. Malah SBY pernah menurunkan harga BBM, yang tidak pernah dilakukan presiden-presiden sebelumnya. Dengan perkataan lain, para pendemo itu dan para provokatornya gagal memperhatikan premis-premis secara lengkap sebelum menyimpulkan.

Ilmu menghafal kalau tidak salah adalah warisan pendidikan Belanda. Di zaman itu anak-anak pribumi (inlander), termasuk bapak-ibu saya, wajib menghafal nama-nama selokan yang penting sekali untuk sistem di negara mereka, tetapi tidak relevan untuk Indonesia. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang, padahal orang Belanda sendiri hari ini sudah meninggalkan sistem hafalan itu. Jadi mengajarkan anak-didik (termasuk mahasiswa) untuk menggunakan nalar (bahasa ilmiahnya: logika) jauh lebih penting dari pada mengajarkan menghafal, yang diuji melalui UN yang membuat siswa stres, malah katanya ada yang bunuh diri.

Orang tua pun stres, sehingga ikhlas membeli bocoran jawaban meskipun harus berutang kanan-kiri. Ajarkan pada anak didik bagaimana menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya. Ajarkan pada mereka bagaimana mengetahui yang salah dari yang benar dengan menggunakan pikiran mereka sendiri, bukan hanya ikut-ikutan (awas: ulama bisa selingkuh, profesor bisa bohong, polisi bisa mencuri, apalagi politisi bisa semua).

Ajarkan juga etika (bukan sekadar agama) kepada anak didik. Maka mereka akan jadi orang-orang yang cerdas dan jujur, orang-orang berkarakter yang akan membawa bangsa ini menjadi bangsa yang hebat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar