You
Are What You Read
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN
SINDO, 17 November 2017
AKHIR-akhir ini handphone (HP)
tidak lagi sekadar tool atau alat komunikasi jarak jauh, tetapi telah naik
kelas menjadi bagian integral dan perpanjangan dari kepribadian seseorang
atau extended self. Telepon genggam telah mengganti tradisi ngobrol dan tatap
muka yang telah lama mengakar di masyarakat tradisional, lalu berubah menjadi
ngobrol di dunia maya dan gambar.
Bersamaan dengan tren
masyarakat yang semakin individualistis, baik karena pengaruh kompetisi
berebut sumber ekonomi maupun kemacetan lalu lintas, kebutuhan orang
berkomunikasi lalu difasilitasi oleh telepon seluler yang tak pernah lepas ke
mana pun dan di mana pun seseorang berada. Fenomena ini sangat mudah diamati
di lingkungan keluarga dan masyarakat. Ketika seseorang kehilangan HP-nya
seakan kehilangan sebagian dirinya.
Komunikasi melalui WhatsApp dan
Twitter menggabungkan budaya ngobrol dan membaca, chatting and writing, serta
menghilangkan hierarki. Perasaan dan pikiran apa pun dengan leluasa
dituliskan layaknya peristiwa ngobrol, tapi dalam format tulisan.
Jika seseorang menulis dalam
media sosial semacam surat kabar atau majalah, di sana terdapat editor yang
menyeleksi dan mengoreksi sebelum disebarkan. Ada redaktur yang bertanggung,
jelas orang dan alamatnya.
Namun dalam media online, lalu
lintas berlangsung bebas hampir-hampir tanpa rambu-rambu dan tanpa hierarki.
Semua berkedudukan sama. Kita juga sulit mengecek dan tidak mudah percaya,
apakah nama pengirim dan penulis itu benar-benar autentik orangnya ataukah
nama samaran. Terlebih, jika tulisan itu berupa copy paste (copas).
Oleh karenanya, ketika
informasi dan teks itu bagaikan hujan lebat yang masuk dan mengguyur
pekarangan HP kita, maka jangan buru-buru percaya. Jangan semuanya ditelan.
Di situlah kedewasaan emosi, integritas intelektual, serta selera bacaan
seseorang akan terlihat.
Ada orang yang selektif,
menganggap banyak sampah yang masuk ke ruang hati dan pikiran kalau saja
dibaca semuanya. Kita menjadi garbage collector.
Pengumpul sampah, baik sampah
tulisan maupun sampah visual. Sikap selektif ini sangat penting, mengingat di
sana terdapat nasihat klasik, you are what you read. Apa yang dipikirkan,
dirasakan, dan dilakukan seseorang itu, banyak dipengaruhi oleh apa yang
dilihat dan dibaca.
Mengapa kaum kapitalis sangat
peduli pada iklan, bahkan rela mengeluarkan uang ratusan miliar untuk iklan?
Karena mereka yakin bahwa apa yang dilihat itu akan memengaruhi pilihan dan
menggerakkan tindakan untuk berbelanja.
Maka tak heran, belakangan ini iklan
properti Meikarta, misalnya, muncul di berbagai media massa dan sudut-sudut
kota Jakarta dengan asumsi bahwa iklan itu akan menstimulasi masyarakat untuk
membelinya. Dana triliunan rupiah dibelanjakan untuk iklan.
Saya ingin berbagi cerita. Ada
seorang teman bergabung dalam sebuah WhatsApp Group (WAG). Teman tadi sehabis
membaca selalu ngedumel dan kadang hatinya panas karena isi dalam WAG itu
tidak sejalan dengan pandangan politiknya dan agamanya. Pendeknya, isinya
dianggap sampah, kasar, dan tidak etis.
Tetapi anehnya, dia tidak mau
keluar dari WAG dan selalu saja membaca postingan yang dia tidak senang.
Jadi, dengan setia membaca postingan yang tidak disenangi, sama saja dengan
setia mengundang fans memasukkan sampah ke dalam hati dan pikirannya.
Mestinya, jika tidak senang
cukup keluar dari WAG atau tidak membacanya. Kecuali jika yang dibacanya itu
bermutu, maka teks postingan itu bagaikan vitamin atau cahaya yang membuat
hati dan pikiran sehat serta terang dalam memandang hidup.
Membaca berarti juga menulis
ulang dalam folder memori mental. Maka bacalah buku dan postingan yang sehat,
berkualitas, karena bacaan itu pada urutannya akan mengkristal ingatan dan
referensi ketika seseorang berbicara serta bertindak.
Saat ini sudah terlalu banyak sampah
visual dan tekstual. Jangan sampai merusak selera kita menjadi rendah dan
murahan.
Tuhan menciptakan ruang hati
dan pikiran begitu mahal dan mulia. Jangankan hati dan pikiran, kalau kita
punya almari pun pakaian yang kotor tidak akan kita masukkan. Rumah pun tiap
pagi dan sore kita sapu, pel, dan bersihkan agar mengkilap. Terlebih cawan
hati dan pikiran, mestinya lebih bersih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar