Jurus
"Dewa Mabuk" Setya Novanto
Fatkhul Anas ; Analis Media Sosial;
Tinggal di Yogyakarta
|
DETIKNEWS,
17 November
2017
Setya Novanto kecelakaan, tagar
#SaveTiangListrik langsung jadi trending topic di lini masa Twitter. Bukan
ungkapan kesedihan dan untaian doa dari netizen, tapi komen satir atas
peristiwa yang dialami Ketua DPR ini. Seperti cuitan @ibnu_apk: RESMI: tiang
listrik tersangka karena mencoba menghalang-halangi pemeriksaan korupsi
e-KTP. Kalau akun @vnxnt bilang: Diduga mengantuk, sebuah tiang listrik
tabrak mobil ketua dewan yang sudah kehilangan kehormatannya.
Yah, itulah babak baru drama
Setnov. Entah kecelakaan asli ataukah jadi-jadian, masih simpang siur. Setnov
ini memang tak ada matinya soal bikin gaduh. Kok ya ndak bosen-bosen main
petak umpet sama KPK. Sampai-sampai beberapa malam lalu KPK harus jemput
paksa ke rumah si Papa ini. Tapi apa hasilnya? Zonk! Hingga sampai tengah
malam, Setnov tidak diketahui di mana rimbanya.
Sudah tiga kali Setnov
dipanggil sejak ditetapkan kembali sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus
mega korupsi e-KTP. Tapi selalu mangkir dengan beragam alasan. Katanya sih
harus ada izin dari Presiden Jokowi dulu sebelum diperiksa. Itu alasan yang
tertuang dalam surat balasan kepada KPK yang dikirim oleh Sekjen DPR. Tanpa
izin Presiden, tak ada hak KPK memeriksa. Aih, badel kali ini orang!
Namun surat ini nampaknya tidak
mempan untuk mencegah KPK, karena banyak yang membantah. Wakil Presiden Jusuf
Kalla, yang notabene sesama Partai Golkar, pun ikut berkomentar bahwa tak
perlu izin Jokowi untuk memeriksa Setnov. Ia sebelumnya bahkan meminta dokter
di RS Premier Jatinegara, tempat Setnov pernah dirawat, membuat penjelasan
kepada publik bahwa Ketua Umum Partai Golkar itu memang benar-benar sakit.
Ini terkait banyaknya meme dari netizen soal sakitnya Setnov. Netizen anggap
si Papa ini hanya bersandiwara.
Apakah sampai di sini langkah
Setnov? Oh, tentu tidak! Ingat, Setnov ini adalah jagoan taktik yang telah
melanglang buana di dunia perpolitikan. Ia sudah lolos dari tujuh jeratan
hukum, termasuk yang terakhir yakni memenangkan praperadilan dalam kasus
korupsi e-KTP beberapa waktu lalu. Sebagai jagoan tangguh, jurus yang
disiapkan pun menyasar ke sana kemari —mosak-masik, orang Jawa menyebutnya.
Maka lihat bagaimana
pengacaranya, Sandy Kurniawan, dengan ngotot melaporkan dua pimpinan KPK,
Agus Rahardjo dan Saut Situmorang, ke Badan Reserse Kriminal Polri pada malam
KPK mengumumkan penetapan Setnov, 10 November 2017. Apa pasal? Keduanya
dituduh membuat surat palsu dan menyalahgunakan wewenang. Surat yang dimaksud
adalah surat permintaan pencegahan ke luar negeri atas nama Ketua DPR yang diterbitkan
pada 2 Oktober 2017.
Polri pun sampai mengeluarkan
surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) untuk dua pemimpin KPK tersebut
dalam kasus pemalsuan surat. Surat itu sudah sampai di kejaksaan. Namun,
kejaksaan mengatakan status kedua pimpinan KPK itu masih terlapor, belum
tersangka.
Apakah Setnov memang sengaja
memantik perseteruan dua lembaga penegak hukum ini, sebagaimana dulu dalam
kasus "cicak vs buaya?" May be! Tentu saja demi kelolosannya dari
jerat hukum. Presiden Jokowi akhirnya juga harus memberi wejangan. Ia meminta
agar KPK dan Polri bisa berjalan beriringan dalam penegakan hukum dan melawan
korupsi. Jika tidak ada bukti, kata Jokowi, maka penyidikan ini sebaiknya
dihentikan.
Ternyata tak cukup sampai di
sini jurus Setnov. Pengacara satunya lagi, Fredrich Yunadi, mengajukan uji
materiil Pasal 12 dan 46 Undang-undang KPK ke Mahkamah Konstitusi. Pada
Selasa, 14 November lalu, MK memverifikasi pengajuan gugatan uji materiil
Pasal 12 Undang-undang KPK tentang pencegahan ke luar negeri dan Pasal 46
Undang-undang KPK.
Yunadi bilang, Pasal 46 tak
sesuai dengan Pasal 20 A ayat 3 UU 1945. Di Pasal 46 disebutkan bahwa
prosedur khusus kepada seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK
tidak berlaku berdasarkan UU KPK. Sedangkan Pasal 20 A ayat 3 UUD 1945
menyebut bahwa setiap anggota DPR memiliki hak imunitas. Pasal ini menurutnya
kontraproduktif, maka harus uji materi. Apa kaitannya dengan Setnov? Tentu
saja agar ia bisa lolos lagi karena punya hak imunitas. Iyuh banget bukan?
Bahkan, Yunadi membawa nama
Jokowi, bahwa ia akan meminta perlindungan darinya. Ia juga sempat mengancam
bahwa dirinya akan meminta perlindungan penegak hukum jika KPK meneruskan
proses penyidikan kliennya. Hmmm...mulai tambah mabuk!
Memang segitunya kok si Setnov
ini. Selalu saja berulah dengan taktiknya. Dramanya terus berlanjut, seperti
serial drama Korea yang tak kunjung usai. Ibarat pemain bola, karakter Setnov
ini lebih tepat sebagai gelandang tengah yang bertipe playmaker. Ia adalah
jenderal lapangan yang mengatur ritme permainan. Kapan bola akan dialirkan ke
depan agar para striker leluasa bikin gol, kapan pula bola kembali ke
belakang untuk bertahan. Sesekali playmaker juga bikin gol di tengah kebuntuan.
Demikianlah si Setnov, ia
seakan paham betul kapan dan kepada siapa persoalan dilempar. Kepada para
striker-nya ditugaskan untuk membuat gaduh pertahanan lawan sehingga
kocar-kacir. Dan, kepada para bek ditugaskan menjaganya agar aman dari serangan
balik lawan. Maka, gawangnya pun tidak kebobolan. Yang artinya ia juga tidak
kebobolan kasus alias selalu lolos. Canggih bukan? Bahkan bisa jadi lebih
canggih dari Andrea Pirlo, sang maestro yang baru saja pensiun dari sepak
bola.
Kita tunggu saja, akankah kali
ini Setnov lolos lagi setelah kontes kecelakaan yang kontroversial. Jika iya,
maka sah dia disebut sebagai The Drunken Master, si Dewa Mabuk, yang jurusnya
mengosak-ngasik lawan dan tak tertandingi. Si Dewa Mabuk yang akan merajai
jagad perpolitikan, dan tidak tersentuh palu hukum! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar