Upah
Buruh Sebagai Jebakan Politik DKI Jakarta
Triyono ; Peneliti Ketenagakerjaan, Pusat Penelitian
Kependudukan LIPI
|
DETIKNEWS,
15 November
2017
Upah sebagai jalan
kesejahteraan buruh masih menjadi isu krusial. Bahkan permasalahan upah sudah
menjadi komoditas politik sejak lama. Begitu pula di Pilkada DKI Jakarta,
buruh menjadi salah satu mesin politik yang cukup berpengaruh. Keberadaan
buruh dengan jumlah anggota yang mencapai ribuan menjadikan kandidat bersaing
untuk mendapat mandat dari buruh.
Buruh ibaratnya sebagai gadis
cantik yang diperebutkan oleh calon gubernur dan wakil gubernur. Kontrak
politik selalu diumbar ketika pasangan pilkada bertarung. Buruh sudah sadar
betul akan hal ini. Bahkan salah unsur buruh pun berhasil melakukan kontrak
politik dengan calon kandidat gubernur.
Kemudian apa kabar dengan
kontrak politik itu; ketika upah yang ditetapkan saat ini tidak seperti yang
dijanjikan dalam kontrak politik? Kontrak politik yang berhasil mengumpulkan
suara buruh tersebut ternyata hanya angin lalu. Buaian kenaikan upah yang
mampu menyihir buruh untuk melakukan politik, pada akhirnya berakhir dengan
kekecewaan. Padahal upah adalah instrumen bagi buruh untuk mencapai
kesejahteraan. Mengingkari kontrak politik kenaikan upah di atas rata-rata
pemerintah yang ditetapkan berarti mengingkari janji untuk menyejahterakan
buruh.
Seperti yang telah diduga oleh
penulis, Gubernur terpilih DKI Jakarta memang tidak akan berani menaikkan
upah di luar ketentuan PP Pengupahan No. 78 Tahun 2015. Hal tersebut akhirnya
menjadi kenyataan. Upah DKI Jakarta kenaikannya sama dengan nasional yaitu
sebesar 8,71 persen atau dari UMP tahun 2017 sebesar Rp 3.355.750 menjadi Rp
3.648.035 pada 2018.
Situasi yang terjadi ini sangat
jelas menimbulkan ketidakpuasan, dan melahirkan demo buruh, seperti dalam
berita beberapa hari ini yang menghiasi media. Dinamika politik yang terjadi
di DKI Jakarta yang menimpa buruh ini menjadi pembelajaran yang sangat
berharga.
Di sinilah dapat dilihat letak
posisi buruh ketika dihadapkan dengan politik praktis. Di sisi lain, jika
menelusuri lebih jauh dalam PP No. 78 Tahun 2015, formula perhitungan upah
minimum adalah upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian
antara upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi
nasional tahun berjalan dan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)
tahun berjalan.
Melihat permasalahan di atas,
buruh sebagai salah satu elemen masyarakat harus memiliki sikap dan pandangan
politik yang cermat. Meskipun kontrak politik ada tanda tangan dan komitmen,
namun sekali lagi ini kontrak politik. Sudah menjadi rahasia umum, politik
adalah dunia yang begitu cair. Meskipun sudah "kontrak", belum
tentu akan dilakukan. Oleh karena itu, yang bisa dilakukan saat ini, bagi
yang melanggar kontrak politik sanksi sosial perlu diperkuat.
Kontrak dan Komoditas Politik
Di sisi lain melaksanakan
kontrak politik sesuai dengan kesepakatan buruh dengan calon gubernur dan
wakil gubernur terpilih memang berat. Karena dalam penetapan upah tentunya
juga memperhatikan pengusaha sebagai pihak yang menggaji buruh. Pemerintah
juga memiliki andil dalam penetapan upah sebagai pihak regulator sekaligus
pengawas. Hal ini menjadi pelajaran berharga bagi semua.
Ketika janji politik itu
diobral, seyogianya sebagai pemilih yang cerdas harus betul-betul
memperhatikan apakah janji tersebut logis untuk dilakukan atau tidak. Namun,
lagi-lagi politik kadang tidak memiliki rasa rasional; irasional lebih
mendominasi.
Elemen buruh sebagai komoditas
politik tentunya bukan barang yang baru. Sebenarnya siapa saja boleh
berpolitik termasuk kaum buruh. Namun seyogianya jika ingin masuk ke ranah
politik maka pilihan yang bisa dijalankan adalah memperkuat buruh itu
sendiri. Dengan demikian tidak tersubordinat dengan afiliasi partai tertentu.
Mendorong buruh memiliki partai buruh sendiri yang kuat adalah salah satu
jalan keluar.
Kondisi saat ini, suasana
gerakan buruh yang terfragmentasi ke berbagai ideologi dan kepentingan
menjadi tantangan tersendiri dalam gerakan buruh ke depan, apalagi jika ingin
membentuk partai buruh yang kuat. Pilkada DKI kembali menjadi cermin bagi
buruh, bahwa kontrak politik saja tidak cukup untuk memperjuangkan
kesejahteraan. Buruh harus memiliki posisi tawar yang lebih kuat dengan
mengorganisir semua elemen buruh serta memperkuat melalui kelembagaan
tripartit.
Jika posisi tawar kuat maka
jalan sanksi sosial akan dapat dijalankan terutama bagi kandidat yang
melanggar janji kontrak politik. Selain itu buruh mampu menimalisasi jebakan
dari kaum politisi. Dengan demikian, buruh tak hanya selalu menjadi komoditas
politik semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar