Fenomena
Salafus Shalih Milenial
Edi AH Iyubenu ; Esais; Kandidat Doktor Studi Islam; Pengurus di
LTN PWNU DIY
|
DETIKNEWS,
14 November
2017
Jangan bayangkan masa hidup
Rasulullah SAW, para sahabat, tabi'in, dan tabi'it tabi'in segebyar kehidupan
milenial kita hari ini. Ada listrik, jalan tol, speaker, mobil, gadget,
pulsa, media sosial, Nerf, Lego, FPI, apalagi Nella Karisma. Masa itu adalah
masa berkuda, beronta, berpanah, berterompah, dan sejenisnya –yang hari ini,
sudah tidak kita pakai lagi.
Maka, ketika ada sekelompok
muslim milenial demi pangkat salafus shalih –suatu istilah untuk menyebut
tiga masa istimewa pasca Rasulullah SAW yang dinyatakan sebagai umat terbaik
(dalam hadits Bukhari-Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik
manusia adalah yang hidup pada masaku, lalu manusia yang hidup pada masa
berikutnya, lalu manusia yang hidup pada masa berikutnya.")
—menggaungkan dakwah Youtube: hendaknya kita semua mengikuti salafus shalih
sesuai kehidupan Nabi dan para sahabatnya, agar kita jadi muslim/muslimah
kaffah, sampai kepada hal-hal yang artifisial (seperti memanah, berkuda,
berjenggot, ber-burqa', makan kurma, tidak pakai vaksin bayi), sungguh itu
membuat haru seisi kepala dan batin saya.
Kepala saya jadi
bergoyang-goyang, mumet, kenapa umat Islam hari ini yang dilingkari jagat
online, medsos, mal, dan urban-sensation malah didorong mundur ribuan tahun
begini?
Masa sih kita yang hidup di era
milenial dengan segala perbedaan kultur, tradisi, pemikiran, ideologi, dan
realitas zaman harus kembali naik kuda, mainan panah, dan ngelus jenggot? Mau
dikemanakan lantas realitas belanja online, piknik, mal, dan medsos –dan
jangan lupakan RX King lho— yang notabene "ya kita banget"
dibanding segala realitas artefak salafus shalih itu jika parameter kaffah
terjerembab hanya pada hal-hal yang artifisial, yang khittah-nya
dinamis-progresif sesuai zaman, dan pendek kata tidak filosofis, substantif,
dan hakikiah?
Jenggot, misal, mari kita
telisik akarnya. Betul bahwa ada hadits dari Abu Hurairah berbunyi begini:
"Pangkaslah kumis dan biarkanlah jenggot, bedakanlah diri kalian dengan
orang-orang musyrikin." (Dalam riwayat lain: "dari orang-orang
Majusi"). Ini argumen naqli perihal kesunahan memelihara jenggot yang
ironisnya dipaksakan kini jadi pembeda "shalih" versus
"sekuler".
Memelihara jenggot dalam maksud
melakoni hadits tersebut, jayyid. Ahsanta. Tapi, bila jenggot lalu dijadikan
parameter umat Rasulullah, sesuatu yang substantif, kemudian pada detik yang
sama Anda rentan merasa "lebih suci, lebih baik, lebih utama, telah
sesuai dengan lelaku salafus shalih", ini problem serius. Masa iya
kualitas muslim (iman dan akhlak) ditentukan melalui ada/tidak-adanya,
tipis/lebatnya jenggot? Itu kan parameter yang…"ah, sudahlah
banget".
Ada begitu banyak hal besar
dalam hidup yang majemuk ini yang mutlak menurut akal sehat tidak apple to
apple sama sekali untuk dihitam-putihkan oleh valuasi jenggot. Misal,
menghormati orang tua, guru, kiai, tetangga, sahabat, keragaman, bangsa, dan
Pancasila.
Begitu pun perihal sunah
berkuda dan memanah yang makin ramai diajarkan sebagai "olahraga
Nabi" di sejumlah sekolah dan lembaga. Seolah-olah bila sedang menarik
busur panah atau nangkring di atas punggung kuda, kualitas tauhid di dada
mencelat sangat tinggi setara iman Sa'ad bin Abi Waqas yang sedang memimpin
pasukan muslim di medan perang. Plus, menangnya, posting penuh bangga di
sosial media atas anugerah iman yang luar biasa.
Lagi-lagi, fenomena ini bersumber
pada berahi yang meledak-ledak untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup
salafus shalih. Meski sangat artifisial.
Sungguh, ini adalah masa ketika
kualitas keimanan dan keislaman kita tereduksi sedemikian menyedihkannya.
Hal-hal yang berskala tekstual dan permukaan dirayakan sedemikian rupa di
atas panggung Youtube dan Facebook, seolah itulah the way of life paripurna
adiluhung yang difirmankan Allah dalam al-Quran dan disabdakan-diperagakan
Rasul-Nya dalam sunah-sunahnya. Sayangnya, sungguh sayang seribu sayang, di
detik yang sama, kita alpa pada hal-hal besar yang substantif, filosofis,
maqashid syari'ah, dan moral-ethic yang merupakan ruhani syariat Islam itu
sendiri.
Semua praktik reduksi itu jelas
dipantik oleh kendurnya intensi Islamic studies kita. Kita membonsai Islam
hanya pada al-Quran dan sunnah, memahaminya dengan dangkal dan gegabah,
sehingga buahnya menjadi saklekan dan tekstualistik. Peranan nalar,
sistematika, dan metodologi istinbath al-hukmi kita disumpal oleh gaya
simplifikasi dalil-dalil, sejarah-sejarah, dan komparasi-komparasinya
(muqaranatul madzahib) yang mudah sekali diunduh di internet. Tak ayal,
jamaahnya pun jadi simplistis, artifisial. Dan, sudah khittah-nya, apa-apa
yang tidak mendalam cenderung berwatak sok benar, arogan, ngotot, dan
pemaksa. Kita sudah menyaksikan karakter tersebut dengan sangat melimpah
ruah.
Islam kita lalu menjadi
terasingkan dari nasihat-nasihat masyhur para alim ulama salafus shalih
sendiri, macam "al-dararu yuzal wala yuzalu al-dararu bi ad-darar",
"dar-ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih", "da' ma
yurib ila ma la yurib", "al-muhafadhah alal qadimis shalih wal
akhdu bil jadidil ashlah", dan lain-lain.
Saya sungguh tiada masalah
dengan pandangan yang menyunahkan jenggot, jubah, parfum zakfaron, hajar
aswad, atau malaikat subuh, memanah, berkuda, tetapi jelas tidak etis sama
sekali bila hal-hal artifisial demikian malah menumbangkan panji ukhuwah
islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah di antara kita.
Berjubah tentunya baik saja, tetapi sangat tak bisa diterima oleh akal sehat
paling ringkas sekalipun bila justru didoktrinkan sebagai parameter
ke-kaffah-an iman, benar versus salah, alim versus sekuler, dan (parahnya)
indikator bagian dari pengikut Rasulullah atau tidak, bahkan pantas tidaknya
masuk surga.
Sejak kapan ada wahyu baru dari
Tuhan bahwa label-label artifisial tersebut menggantikan "ridha
Allah" bagi masuk/tidaknya kita ke surga? Sejak kapan ada pelimpahan hak
prerogatif dari Allah kepada panah, kuda, misik, jubah, jenggot, dan jidat
legam untuk memutuskan bermutu/tidaknya iman di dalam dada kita?
Dengan melihat fakta-fakta
berislam hari ini, genre "salafus shalih" macam apa sebenarnya yang
sedang kita perjuangkan? Jawabannya sederhana: salafus shalih milenial!. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar