Selasa, 07 Maret 2017

Menjaring Hakim MK

Menjaring Hakim MK
Moh Mahfud MD  ;   Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
                                                  KORAN SINDO, 04 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Patutlah kita memberi apresiasi yang tinggi ke pada Presiden yang pada pekan lalu telah mem - bentuk panitia seleksi (pansel) calon hakim konstitusi untuk meng ganti - kan Patrialis Akbar.

Pansel yang independen, ter lepas dari kepenting an danpermainanpolitik, inipentinguntuk men jaring calon hakim di Mah kamah Konstitusi (MK) yang meme nuhi syarat bukan hanya formal-proseduralnya, tetapi juga inte gritas moralnya. Pen jaringan calon hakim kon - stitusi melalui pansel yang indepen - den kali ini juga penting karena yang akan dijaring adalah calon hakim yang akan meng gantikan Patrialis Akbar, ma ntan hakim MK yang harus ter - lempar dari posisinya sebagai ha kim konstitusi kare na ter libat skandal korupsi yang di ciduk melalui operasi tang kap tangan oleh KPK.

Masuknya Patrialis ke Mah kamah Konstitusi memang di dahului dan disertai kontr oversi panas, tepatnya ada pe nolakan, karena prosesnya tidak trans paran dan tidak me libatkan partisipasi masyarakat se bagai mana diperintahkan oleh UU Mahkamah Konstitusi. Pada Agustus 2013 Patrialis tiba-tiba diajukan dan dires mi kan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengganti - kan Achmad Sodiki yang harus pen - siun sebagai hakim MK.

Ketika Presiden SBY men g aju kan nama Patrialis beberapa elemen ma - syarakat yang di wakili oleh beberapa civil society organization (CSO) melan - car kan protes karena dianggap tidak sesuai dengan UU MK yang me me - rintahkan pe rekrut an hakim MK di - lakukan secara trans pa ran dan par - tisi patif.

Pengajuan itu dinilai tidak transparan karena nama Patrialis tiba-tiba muncul se bagai nama tung - gal tanpa di dahului dengan peng - umuman yang bisa memberi pe - luang ke pada warga masya rakat lain yang juga memenuhi syarat un tuk meraih jabatan itu melalui kontes yang fair.

Pengajuan itu juga tidak partisipatif karena masyarakat tidakdiberi informasidanwak tu untuk mengenal, menilai, dan memberi masukan kepada Presiden tentang profil calon hakim yang akan diajukannya. Itulah sebabnya beberapa CSO memerkarakannya ke Peng adil - an Tata Usaha Negara (PTUN) dan PTUN mengabulkan gugat - an itu: pengangkatan Patrialis dinyatakan cacat hukum.

Namun, Presiden mengajukan perlawanan hukum atas vonis itu dengan mengajukan ban ding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan di sana Presidenmenang. Ketikadi lawan dengan kasasi ke MA, ternyata Presiden tetap menang. Tentu muncul dugaan-duga an negatif yang tidak bisa di bukti - kan tentang kemenangan Pre - siden di PPTUN dan MA setelah kalah telak di PTUN itu.

Tetapi apa pun dugaan atau ke yakinan orang, yang jelas Pre si den me - nang dan secara “formal” peng - angkatan Patrialis adalah sah adanya. Tetapi pula (man tan) Presiden SBY memikul tang gung jawab moral atas ke ngototannya mengajukan Patrialis yang kemudian ditangkap oleh KPK melalui operasi tangkap tangan itu.

Sejak awal pembentukan UU Mahkamah Konstitusi sudah menentukan perekrut - an hakim konstitusi haruslah dilakukan secara transparan dan partisi patif. Ketentuan itu dimak sud kan agar bisa muncul hakim negarawan dan profesional. Jabatan hakim konstitusi ada lah satu-satunya jabatan yang oleh Konstitusi pemangkunya dipersyaratkan harus negara wan.

Tetapi, apa arti dan ukuran negarawan itu tidak ditemukan di dalam konstitusi kita. Ketika syaratsyarat untuk menjadi pejabat negara dituangkan ke dalam undang-undang ter nyata sulit menemukan kriteria negara - wan itu sehingga syarat untuk menjadi pejabat itu akhir n ya sama saja antara untuk ja batan yang mengharuskan ne ga rawan dan bukan negarawan.

Syarat kualitatif dan inte - gritas untuk menjadi hakim MK ternyata tidak ada bedanya dengan syarat untuk menjadi anggota DPR, hakim agung, anggota BPK, dan sebagainya. Syarat harus negarawan itu tidak bisa diturunkan ke dalam undang-undang dengan indi - kator yang terukur.

Itulah se - babnya perekrutan hakim MK harus dilakukan secara serius dan oleh tim perekrutan yang bisa objektif dan independen. Untuk menemukan calon hakim yang dekat dengan sifat kenegarawanan panitia seleksi tidak boleh hanya mencukup - kan diri pada hasil tes tertulis, penulisan makalah, dan ujian lisan terhadap para calon me - lainkan harus betul-betul me - lacak track record para calon de - ngan melibatkan masyarakat. Itulah arti penting pem - bentukan pansel oleh Presiden dalam melakukan perekrutan hakim MK.

Masyarakat meng - inginkan, perekrutan hakimhakim MK secara terbuka, fair, dan partisipatif tidak hanya di - lakukan untuk memilih hakimhakim MK yang diajukan oleh Presiden, tetapi hendaknya bisa dilakukan juga untuk men - jaring para hakim MK yang di - ajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung (MA). Perekrutan yang dilakukan oleh DPR selama ini sangat rawan dengan politisasi dan permainan kepentingan po - litik.

Meskipun dalam proses seleksinya akhir-akhir ini DPR sudah mengundang banyak pakar untuk ikut menguji dan memberi pertimbangan tetapi penentuan akhirnya tetap ber - sifat lebih politis dan bisa saling tukar-menukar kepentingan antarparpol. Begitu juga perekrutan yang dilakukan oleh MA terasa hanya formalitas dan terlalu mem - batasi pada segmen tertentu.

Sebenarnya DPR dan MA bisa melakukan perekrutan seperti yang dilakukan oleh Presiden sekarang, yakni, membentuk panitia seleksi yang indepen - den untuk menjaring calon. DPR dan MA nantinya tinggal menetapkan atau memilih di antara calon-calon yang sudah disaring oleh panitia seleksi.

Menurut Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945 posisi Presiden, DPR, dan MA dalam perekrutan hakim MK bukanlah memilih, melainkan mengajukan. Nah, mengajukan (atau memilih untuk diajukan) itu bisa diambil dari calon-calon yang dijaring dan disaring oleh panitia seleksi yang independen. Itu tinggal kemauan saja kok.

(Note :  Mohon maaf, masih ASLI dari KORAN SINDO. Belum diedit.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar