Mengadministrasi
Keadilan Sosial
Sulistyowati Irianto ; Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum
UI
|
KOMPAS, 16 Maret 2017
Gagasan ”mengadministrasi keadilan sosial” berasal dari
pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Basuki-Djarot. Sangat menarik
untuk memaknai dan menganalisis gagasan itu, khususnya dengan pendekatan
”hukum dan masyarakat” atau socio-legal. Bagaimana keadilan sosial dapat
diwujudkan bagi masyarakat kota, khususnya kelompok yang paling tak
diuntungkan? Keadilan sosial dalam konteks Indonesia atau kota besar seperti
Jakarta harus dimaknai secara khusus karena struktur masyarakatnya sangat
berlapis. Berbeda dengan Eropa barat, misalnya, yang dengan sistem
perpajakan, penegakan hukum, dan kemampuan keuangan negara yang besar, setiap
orang punya akses pada sumber kesejahteraan yang relatif setara.
Mereka yang berpenghasilan besar harus merelakan 50-60
persennya untuk pajak penghasilan. Pajak ini disalurkan kepada mereka yang
berpenghasilan kurang agar mendapatkan akses layanan kesehatan, pendidikan,
perumahan, transportasi, dan sebagainya. Dalam kondisi ini, prinsip justice
for all (keadilan bagi semua) dan justice for the winner (keadilan bagi yang
menang) dapat ditegakkan.
Sementara pada masyarakat kita, yang harus diterapkan
adalah justice for the poor (keadilan bagi si miskin). Kita belum bisa
menerapkan prinsip keadilan bagi semua. Keadilan sosial harus dirumuskan
secara afirmatif bagi kelompok miskin, perempuan, difabel, minoritas,
pendeknya kelompok yang tidak diuntungkan. Kelak, jika jurang kaya dan miskin
bisa diatasi, barulah kita bisa menerapkan prinsip keadilan bagi semua.
Sejak 10-15 tahun terakhir, kemiskinan dibahas komunitas
hukum. Sebelumnya, lebih banyak dibahas para ekonom atau demograf. Empat
miliar penduduk dunia hidup dalam kemiskinan karena ketiadaan akses pada
keadilan (CLEP, 2008). Sebagian besar mereka perempuan dan menanggung hidup
keluarga.
Keadilan hukum
Keadilan hukum tak identik dengan keadilan sosial.
Keadilan hukum lebih bersifat tekstual dan prosedural; sementara keadilan
sosial, keadilan substantif, menghitung pengalaman. Perempuan miskin yang
dituduh mencuri sandal akan diadili dengan cara mengonfirmasi berita acara
polisi, barang bukti, tuduhan jaksa, dan pasal pencurian.
Hakim mencari kebenaran material: apakah pencurian
terbukti, dengan cara apa dan bagaimana. Berdasarkan keadilan hukum (teks,
prosedural), ia bisa dipidana. Namun, apakah secara substansial itu adil?
Pengalaman dan realitas kemiskinan menjadi penting diperhitungkan. Apabila
tidak, yang menjadi korban hukum selalu orang miskin.
Mengadministrasi keadilan bagi orang miskin adalah
menciptakan ruang agar suara mereka bisa didengar dalam berbagai proses
pengambilan kebijakan pembangunan hukum, termasuk alokasi anggaran negara
atau daerah. Apakah program pembangunan selama ini sudah memperhitungkan
pengalaman, realitas, dan kebutuhan mereka?
Pengalaman membuktikan pembangunan di berbagai bidang
ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lingkungan tidak akan berhasil atau
bahkan gagal, jika tak disertai pembangunan hukum. Pembangunan hukum masa
kini, sering disebut ”Akses Keadilan”, menjadi program penting banyak lembaga
internasional dan diajarkan di ruang-ruang kuliah fakultas hukum di seluruh
dunia.
Paradigma akses keadilan dirumuskan dengan belajar dari
kegagalan dua gelombang pembangunan hukum sebelumnya: Law and Development
Movement (1960-an) dan Rule of Law Movement (1980-an). Keduanya tak berhasil
karena: didesain tanpa pengetahuan sistem hukum negara berkembang yang
berbeda dengan Barat, terlalu fokus pada hukum formal atau hukum negara, dan
tak melibatkan partisipasi publik. Gelombang pembangunan berikutnya, Access
to Justice, didesain dengan memperhitungkan partisipasi publik. Pengertian
”akses keadilan” yang tadinya hanya diartikan sebatas kemampuan orang untuk
mengakses bantuan hukum dari negara diperluas bukan hanya akses bantuan
hukum, melainkan juga berbagai layanan publik, baik yang diselenggarakan oleh
negara maupun forum masyarakat.
Ada empat pilar untuk memastikan akses keadilan bagi
masyarakat miskin kota. Pertama, akses hukum pro poor, ketersediaan berbagai
kebijakan kota seperti reformasi birokrasi perkotaan dan penyusunan anggaran,
yang pro kepada si miskin. Tata kelola pemerintahan yang bersih akan
memastikan anggaran sebesar-besarnya untuk kesejahteraan si miskin agar
jurang kaya dan miskin akhirnya tertutup.
Kedua, akses pada pengetahuan hukum (melek hukum) bagi
kelompok yang tidak diuntungkan. Kepada mereka perlu disosialiasikan sejumlah
peraturan hukum yang menjamin hak-hak dasar untuk bisa hidup, bekerja, dan
mendapatkan berbagai layanan publik. Literasi hukum akan membekali mereka
untuk kritis apabila birokrat tidak baik melayani publik.
Identitas hukum
Ketiga, akses pada identitas hukum. Memiliki KTP, akta
lahir, akta kawin, adalah kunci mengakses berbagai skema kesejahteraan.
Birokrasi kota yang korup menyebabkan orang miskin tidak memiliki akses pada
identitas hukum. Tampaknya, sejak Jokowi menjadi Gubernur DKI dan diteruskan
Basuki-Djarot, akses penduduk miskin kota pada identitas hukum sudah
berjalan. Dengan KTP, mereka bisa mengakses KJP, BPJS, rumah susun, dan
layanan transportasi publik.
Keempat, akses bantuan hukum bagi orang miskin, yang juga
bagian dari hak asasi. Mereka rentan menjadi korban hukum, khususnya ketika
celah korupsi masih terbuka dalam lembaga penegakan hukum. Kenyataannya, yang
menjadi garda terdepan dalam memberikan layanan hukum orang miskin adalah
lembaga bantuan hukum; yang justru kurang mendapat perhatian dan dukungan
dari pemerintah dan masyarakat luas. Lembaga bantuan hukum membutuhkan
dukungan finansial untuk bisa membiayai konsultasi dan pendampingan bagi
pencari keadilan yang jumlahnya banyak, melebihi kapasitas kemampuan mereka.
Sudah saatnya pemerintah kota bermitra dengan lembaga bantuan hukum untuk
memastikan bantuan hukum bagi si miskin.
Mengadministrasi keadilan sosial adalah memastikan
keadilan sosial terintegrasi dengan keadilan hukum melalui dipenuhinya empat
pilar tadi. Apabila integrasi keadilan sosial dan keadilan hukum dapat
dipastikan, sumbangannya akan besar sekali bagi pembangunan hukum dan
kesejahteraan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar