Janji
Investasi Arab Saudi
Edy Purwo Saputro ; Dosen
Pascasarjana di UMS Solo;
Doktor Ekonomi UNS
Solo
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Maret 2017
KEDATANGAN Raja Salman memberikan peluang terhadap
realisasi investasi dan neraca perdagangan yang lebih baik. Paling tidak hal
ini terlihat dari kesepakatan dalam bidang kerja sama pengembangan usaha
kecil-menengah, termasuk kesepahaman bidang perdagangan.
Terkait hal ini, potensi bilateral Indonesia-Arab juga
mencakup di bidang keagamaan, terutama jumlah umat muslim yang melakukan
ibadah haji dan umrah. Oleh karena itu, komitmen terhadap realisasi investasi
Arab menjadi penting sehingga bisa sejalan dengan bilateral
Indonesia-Tiongkok yang selama ini meningkat pesat di era pemerintahan
Jokowi.
Realisasi investasi tentu menjadi faktor penting dari
semua bentuk kerja sama bilateral, termasuk juga interaksi Indonesia-Arab. Meski
demikian, realisasi investasi tidak bisa terlepas dari jaminan keamanan
sosial-politik.
Oleh karena itu, kegaduhan politik di semester awal 2017
tentu menjadi peringatan karena situasinya bisa berubah dari wait and see menjadi wait and worry jika investor tidak
yakin dengan kepastian sospol pascapilkada serentak. Paling tidak, banyaknya
gugatan hasil pilkada menjadi sinyal awal tentang kepastian iklim sospol,
belum lagi adanya putaran kedua pilkada Jakarta yang tentu juga menjadi
perhatian serius investor.
Komitmen
Selain komitmen investasi, Arab Saudi berkomitmen
memberikan pinjaman melalui Saudi Fund
Contribution to The Financing of Development sebesar US$1 miliar. Dana
pinjaman ini rencananya bersifat pendampingan atau co financing yang akan digunakan untuk pembiayaan infrastruktur
dan perumahan. Urgensi terhadap pembiayaan bidang infrastruktur tidak bisa
terlepas dari minimnya anggaran dan beban utang luar negeri yang semakin
besar sehingga co financing dari
Arab secara tidak langsung mendukung program dan proyek pemerataan
pembangunan infrastruktur.
Data BKPM menegaskan pada 2016 jumlah investasi Arab
mencapai US$ 0,9 juta yang tersebar di 44 proyek. Jika dibanding dengan tahun
2015, ternyata investasi ini jauh lebih kecil, yaitu US$30,4 juta yang
tersebar di 28 proyek, sedangkan di 2014 hanya US$2,9 juta dan pada 2014
hanya US$ 0,4 juta. Artinya, kumulatif investasi Arab di Indonesia memang
relatif kecil, meski dari lawatan Raja Salman akan ada realisasi investasi
mencapai US$ 7 miliar. Oleh karena itu, kumulatif investasi pasca lawatan ini
menjadi penting untuk membuka potensi kerja sama yang lebih besar lagi dan
tentu bisa mencakup di semua bidang. Di satu sisi, tentu ini menjadi menarik
dicermati meski di sisi lain ada tantangan untuk merealisasikan semua
komitmen investasi itu.
Kerja sama investasi Saudi Aramco di kilang minyak Tuban
juga memberikan pengaruh penting terhadap produksi dan distribusi migas.
Paling tidak ini terkait dengan kapasitas kilang minyak di
Tuban yang mencapai 300 ribu barel per hari.
Kerja sama kilang di Cilacap senilai US$5 miliar juga
menjadi bentuk kerja sama yang baik karena patungan yang terbentuk antara
Pertamina-Saudi Aramco mencapai 55%-45%. Kapasitas dari kilang di Cilacap
mencapai 370 ribu barel per hari dan dari jumlah ini 270 ribu barel per hari
dipasok Saudi Aramco.
Selain itu, peluang Saudi Aramco untuk berbisnis SPBU di
Indonesia menjadi peluang untuk memacu kompetisi yang lebih baik dan tentu
konsumen mendapatkan kualitas layanan yang lebih baik pula.
Yang menarik ternyata sejumlah perusahaan dari Indonesia
juga telah sukses berbisnis di Arab. Paling tidak, hal ini terlihat dari kiprah
PT Indofood Sukses Makmur Tbk yang sejak 2014 menjadikan Arab sebagai target
pasar ekspor penting. Hal ini terlihat dari penjualan ke Arab pada 2014
mencapai Rp0,9 triliun dari total Rp5,4 triliun total ekspor. Kumulatifnya
terus meningkat yaitu di semester awal 2016 mencapai Rp.0,3 triliun.
Selain itu, PT Telkom Tbk pada 2014 melakukan kerja sama
dengan operator seluler dari Arab, yaitu Zain melalui produk Simpati Saudi
sehingga ini berorientasi kepada pasar wilayah Riyadh, Jeddah, Mekah, dan
Medinah. Artinya, pasar yang semakin terbuka karena semakin banyak jamaah
haji dan umrah dari Indonesia.
Peluang kerja sama Indonesia-Arab memang dimungkinkan di
semua bidang dan tentu ini perlu peningkatan sehingga implikasi terhadap
perdagangan juga bisa meningkat dan hal ini berharap memacu neraca
perdagangan kedua pihak.
Terkait ini, data menunjukkan bahwa 5 tahun terakhir
ternyata neraca perdagangan dengan Arab cenderung defisit. Hal ini terlihat
dari data 2016, defisitnya mencapai US$1,39 miliar yaitu ekspor ke Arab
US$1,33 miliar dan impor dari Arab US$2,73 miliar. Pada 2015 defisit mencapai
US$1,36 miliar yaitu ekspor keArab US$ 2,06 miliar dan impor dari Arab
mencapai US$ 3,42 miliar.
Selain kerja sama investasi di bidang migas, potensi
kepariwisataan di Indonesia secara tidak langsung juga memberikan potensi
yang sangat besar sehingga peluang ini dapat dimanfaatkan kedua negara. Paling
tidak minat kunjungan wisatawan secara global yang terus meningkat menjadi
argumen tentang urgensi pengembangan kepariwisataan.
Fakta ini tentu menjadi pertimbangan penting karena
pemasukan dari sektor migas baik dari Arab dan Indonesia cenderung menurun.
Bahkan harga minyak mentah dunia yang terus merosot juga
berpengaruh signifikan terhadap pemasukan anggaran bagi kedua negara. Fakta
ini menjadi alasan mengapa Arab akhirnya juga mengajukan utang untuk dapat
menutup anggaran. Asumsi yang mendasari karena 75% anggaran Arab dipasok dari
penerimaan minyak sehingga ketika harga minyak merosot secara tidak langsung
ini berpengaruh terhadap kemampuan anggaran Arab. Fakta ini memberikan
peringatan dari pentingnya pengembangan energi terbarukan karena
ketergantungan terhadap migas menjadi ancaman serius bagi Indonesia dan Arab.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar