Mengantisipasi
Gelombang Populisme Barat
M Prayoga Permana ; Kandidat Doktor di bidang Ekonomi-Politik,
University of Groningen-Belanda;
Peneliti di ASEAN Studies Center,
Fisipol, Universitas Gadjah Mada
|
DETIKNEWS, 15 Maret 2017
Negeri Belanda melaksanakan Pemilu parlemen yang nantinya
akan membentuk pemerintahan baru. Dengan menguatnya gelombang populisme di
Barat, Pemilu ini akan beresonansi hingga menembus batas negara.
Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte dalam pernyataannya pada
Senin lalu di Erasmus University, Rotterdam menegaskan tentang adanya potensi
efek domino di Eropa. Pemilu parlemen Belanda adalah babak perempat final
dalam pertandingan melawan populisme Eropa.
Belanda, kendatipun lebih kecil dibanding negara tetangganya,
akan menjadi pintu gerbang bagi efek domino populisme Eropa pasca terjadinya
Brexit di Inggris. Efek ini diprediksi berlanjut dalam Pemilu Prancis di
babak semifinal dan Jerman di final. Pemilu di 3 negara ini adalah barometer
penting dan sangat menentukan keberlanjutan Uni Eropa.
Populisme Barat: Faktor Ekonomi,
Imigrasi dan Isu Identitas
Tidak ada satu definisi baku yang dapat memaknai berbagai
bentuk populisme. Mudde (2004) menyebutnya sebagai ideologi yang
mengkontraskan rakyat dengan elite yang korup. Judis (2016) dalam buku the
Populist Explosion secara singkat memaknainya sebagai gerakan politik
anti-kemapanan terhadap globalisasi, imigrasi dan perdagangan bebas yang
disokong oleh rezim berkuasa.
Gelombang populisme pasca berakhirnya perang dingin
diawali dengan kemunculan pemimpin sosialis Amerika Latin seperti Hugo Chavez
dan Evo Morales. Namun, krisis finansial di Eropa dan Amerika membalikkan keadaan.
Populisme kemudian tumbuh sumbur di Eropa dan Amerika.
Mengapa populisme saat ini tumbuh di Barat? Fareed Zakaria
(2016) dalam majalah Foreign Affairs menyebut faktor ekonomi menjadi variabel
utama tumbuhnya populisme. Meskipun berpendapatan tinggi, ekonomi Eropa dan
Amerika mengalami stagnansi dalam dekade terakhir. Negara-negara Eropa tumbuh
sangat lambat dan menanggung beban hutang yang tidak sedikit.
Tidak hanya itu, pembiayaan negara pun semakin berat
karena tidak ditopang oleh struktur demografi yang menjanjikan. Rasio
ketergantungan penduduk berusia lanjut begitu tinggi terhadap usia produktif
sehingga menambah beban ekonomi.
Faktor penting lainnya adalah isu imigrasi. Satu hal yang
perlu ditekankan disini adalah kecepatan arus imigrasi yang memicu
kegelisahan. Data dalam artikel tersebut menunjukkan, Eropa telah menerima
imigran sebanyak 76 juta sedangkan negara maju lainnya seperti Jepang hanya
menerima 10 juta. Permasalahan mengemuka ketika arus dahsyat imigrasi tidak
disertai kapasitas pengaman sosial dan integrasi yang memadai.
Isu stagnansi ekonomi dan imigrasi kemudian diakomodasi
oleh para politisi dengan pendekatan post-truth politics. Tak jarang dalam
kampanye, politisi menggunakan statistik palsu untuk menakut-nakuti pemilih.
Isu tersebut kemudian disebarkan kembali dalam berbagai tautan media sosial.
Post-truth politics tergambar nyata dalam kampanye Brexit
tahun lalu. Dalam sebuah diskusi dengan Prof Philip McCann, guru besar
ekonomi di University of Groningen, terkuak bahwa kantong-kantong pendukung
Brexit justru adalah daerah yang paling bergantung pada relasi ekonomi dengan
Uni Eropa. Politisi populis memutarbalikkan fakta ini. Mereka dengan lantang
menyuarakan bahwa perdagangan dengan Uni Eropa selama ini membuat industri
lokal mendekati ajal, dan mereka tidak bergantung sama sekali dengan Uni Eropa.
Isu yang tak kalah penting adalah keretakan dalam proses
integrasi ekonomi Uni Eropa. Joseph Stiglitz dalam bukunya The Euro (2016)
membuka tabir bahwa proyek penyatuan mata uang Eropa bermasalah secara
fundamental. Akibatnya, jurang melebar antara negara kaya di Eropa Barat dan
negara yang terdampak krisis. Fakta seperti ini sering dimanfaatkan oleh
pemimpin politik populis untuk menumbuhkan sikap antagonis terhadap Uni
Eropa.
Hanya saja, benih populisme tidak melulu berkutat pada isu
ekonomi. Ada irisan antara isu imigrasi dan identitas yang mempertajam
perlawanan. Arus imigrasi yang begitu kuat dianggap berpotensi menjadi
ancaman bagi identitas oleh masyarakat barat.
Bagi pendukung partai populis misalnya, penting bagi
mereka untuk tidak mentoleransi pendatang yang tidak dapat mentoleransi
berbagai bentuk toleransi yang mereka jaga selama ini. Sebut saja misalnya
sekularisme, supremasi kebebasan individu dan perlindungan terhadap kaum
minoritas. Pemilu adalah medium untuk memperjuangkan aspirasi politik
tersebut.
Populisme dan Pendulum Politik
yang Berayun
Populisme sebenarnya tidak selalu anti demokrasi, namun
populisme menggunakan proses demokrasi sebagai media untuk bertumbuh. Ini pun
terjadi dalam negara-negara Barat yang cukup matang dalam berdemokrasi.
Seperti yang diungkapkan Zakaria (2016) populisme dapat
berada di ideologi politik kiri maupun kanan. Ideologi kanan dalam konteks
ini digambarkan sebagai pendekatan pro-pasar dan intervensi pemerintah yang
seminimum mungkin. Sedangkan di kiri, mereka menginginkan intervensi
pemerintah dalam berbagai kebijakan, khususnya kebijakan perlindungan
sosial-ekonomi.
Dalam populisme Barat kontemporer, pendulum politik
cenderung mengayun ke arah kiri-tengah. Arah ini bergerak seiring dengan
dianggap gagalnya globalisasi menciptakan kemakmuran yang merata, globalisasi
sebagai agen masuknya pengaruh asing dan pentingnya mengembalikan identitas.
Pemerintah didaulat untuk hadir kembali dalam menyelesaikan problem stagnansi
ekonomi maupun pergulatan identitas.
Kecenderungan ini membuat politisi berideologi kanan
bergegas menggeser mimbarnya. PM Belanda yang selama ini cenderung terbuka
terhadap imigran mulai bersuara dengan pernyataan, "Act normal or
leave", "berperangai baiklah atau tinggalkan Belanda". Pun
dengan politisi Inggris yang mulai mengeksploitasi skeptisisme terhadap Uni
Eropa sebagai isu strategis untuk mengais dukungan.
Mengantisipasi Gelombang Populisme
Barat
Sulit untuk memprediksi peluang menyebarnya populisme
Barat ke Indonesia karena populisme sendiri berkembang dengan berbagai
bentuk. Mulai dari populisme ekonomi, populisme politik hingga populisme
agama. Definisi populisme juga sangat mungkin diperdebatkan dalam konteks
Asia yang sangat beragam, khususnya Indonesia.
Indonesia sendiri tidak mengalami pergulatan
ekonomi-politik yang sama dengan Eropa dan Amerika dalam dekade terakhir,
khususnya mengenai krisis ekonomi. Faktor-faktor seperti stagnansi ekonomi,
imigrasi yang masif dan sentimen negatif terhadap entitas suprasional absen
di Indonesia.
Namun, yang harus diwaspadai adalah problem ketimpangan
kita. Bukan tidak mungkin ketimpangan mendorong politisi mengeksploitasi isu
penguatan identitas tertentu untuk kepentingan politik elektoral di masa
mendatang. Seperti yang terjadi di Eropa saat ini, politisi pragmatis
menyuarakan penguatan identitas mayoritas untuk merebut kembali akses ekonomi
dan sosial-politik.
Efek populisme barat lainnya sangat mungkin terjadi bila
populisme tersebut ditranslasi menjadi kebijakan. Banyak yang berpendapat,
populisme akan membuat negara-negara barat menjadi tertutup dan inward
looking. Tentu hal ini akan sangat berpengaruh dalam hubungan ekonomi dengan
Indonesia sebagai negara pengekspor dan tujuan investasi.
Hanya saja bila kita belajar pada kebijakan Trump,
kebijakan mereka justru sangat pro-pasar seperti pada deregulasi dan
pemotongan pajak. Rezim populis juga tidak serta-merta menutup peluang
perdagangan, terkecuali pada TPP (Kemitraan Perdagangan Trans-Pasifik).
Inggris pun melakukan hal yang sama dengan program Global Britain pasca
Brexit. Yang sedikit berbeda adalah negara-negara Barat akan sangat mungkin
mengutamakan transaksi perdagangan yang menguntungkan dalam jangka pendek
secara bilateral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar