Menghina
Presiden di Dunia Maya
Rahma Sugihartati ; Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Informasi
dan Perpustakaan FISIP Unair Surabaya
|
JAWA
POS, 15
Maret 2017
MESKIPUN pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengancamkan
sanksi bagi pelontar hinaan dan ujaran kebencian serta menyirkulasikan
informasi hoax, kasus-kasus penghinaan di dunia maya tetap saja terjadi.
Di media sosial, salah satu kasus penghinaan di dunia maya
yang menjadi viral dan menghebohkan para netizen adalah unggahan Indrisantika
Kurniasari di akun Facebook miliknya. Pemilik akun tersebut secara
terang-terangan menghina Presiden Jokowi lewat posting- annya. Indrisantika
mengunggah sebuah foto yang memperlihatkan Presiden Jokowi sedang mengenakan
pakaian adat raja Maluku –sebuah busana tradisional yang dihormati masyarakat
Maluku.
Masalahnya tidak terdapat pada foto yang diunggah,
melainkan pada komentar yang dicantumkan pemilik akun tersebut. Bersama
unggahan foto Presiden Jokowi, Indrisantika menuliskan komentar yang kurang
beretika, bahkan cenderung kasar. Perempuan itu mengolok Presiden Jokowi
dengan sebutan Raja Kodok.
Penghinaan di Dunia Maya
Terlepas dari maksud dan tujuan si pemilik akun, yang
jelas karena komentar itu di-posting di wilayah publik di dunia maya, warga
yang sehari-hari terbiasa mengakses media sosial tentu dengan cepat bisa
membaca posting-an yang menghina presiden itu. Sifat media yang konvergen dan
spreadable sangat memungkinkan
informasi apa pun di dunia maya dapat disirkulasikan dan diresirkulasikan
hingga menyebar hanya dalam hitungan detik.
Para netizen yang gerah dengan hinaan yang diekspos
Indrisantika akhirnya ramai-ramai melakukan klarifikasi, bahkan berbalik
membully si pemilik akun yang disebutsebut telah kelewat batas menghina
presiden sebagai bagian dari simbol kenegaraan. Selain itu, yang tak kalah
penting, isi ujaran yang menghina pakaian adat masyarakat Maluku dengan cepat
memicu pembelaan dan tudingan kepada si pemilik akun yang dinilai telah
menghina adat istiadat Maluku.
Seperti diketahui, pakaian adat yang dikenakan Presiden
Jokowi sebetulnya adalah busana yang secara kultural sangat dihormati
masyarakat Maluku. Presiden Jokowi diperkenankan untuk mengenakan pakaian
adat itu karena presiden mendapat gelar Upu Kaletia Kenalean Dantul Po Deyo
Routnya Hnulho Maluku yang berarti Bapak Pemimpin Besar yang Peduli terhadap
Kesejahteraan Hidup Masyarakat Adat Maluku dari Literasi Kritis
Saat ini, menurut catatan kepolisian, paling tidak sudah
ada dua pelapor dugaan penghinaan baju adat yang dikenakan Presiden Jokowi.
Laporan pertama berasal dari Forum Kapitan Maluku. Komunitas itu melaporkan
pemilik akun Facebook yang berinsial IK soal dugaan pelecehan dan penghinaan
terhadap Presiden Joko Widodo serta rakyat Maluku. Pelapor kedua adalah salah
seorang dosen di Universitas Pattimura, Ambon. Dia melaporkan kasus
penghinaan di dunia maya sebagai pribadi. Tidak tertutup kemungkinan jumlah
pihak yang melaporkan kasus itu bertambah lagi.
Selain dilaporkan, pemilik akun Facebook yang melontarkan
hinaan kepada presiden telah melanggar pasal 137 KUHP tentang penghinaan
presiden. Dia juga dilaporkan telah melanggar sejumlah pasal dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Walaupun dari segi hukum si pemilik akun Facebook sangat
mungkin akan terbukti telah menghina presiden dan pakaian adat masyarakat
Maluku, proses untuk membuktikan di meja hukum bisa dipastikan menempuh rute
yang panjang, berliku, bahkan bisa saja tersendat.
Berdasar pengalaman aparat kepolisian dalam menindak kasus-kasus
penghinaan di dunia maya, salah satu kesulitan yang selama ini dihadapi
adalah kemungkinan bahwa si pemilik akun palsu dan akun itu sengaja dibuat
oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk menyampaikan aspirasi secara
sembunyi-sembunyi.
Pada era perkembangan masyarakat digital, menyembunyikan
identitas atau mengembangkan multiple identity di dunia maya adalah satu hal
yang sangat mungkin dilakukan. Judith Donath (2005) dalam artikelnya yang
berjudul Identity and Deception in the Virtual Community menyatakan, dalam
banyak kasus, pemalsuan identitas dan kepura-puraan dalam jejaring komputer
memang sangat mungkin dilakukan.
Dunia maya dan komunitas cyberspace yang muncul ibarat
rimba raya yang seolah tak bertuan, tak terkontrol. Siapa saja bisa memainkan
kondisi yang ada untuk kepentingan pribadinya. Satu orang dengan keahlian
tertentu bukan tidak mungkin bisa membuat sejumlah akun palsu, kemudian
menjadikannya sebagai saluran untuk menyampaikan aspirasi dan kepentingannya
tanpa dapat dicegah.
Untuk mencegah agar kasus penghinaan di dunia maya tidak
terus terulang, selain melakukan penindakan dan penegakan hukum yang tegas,
sesungguhnya yang tak kalah penting adalah pendidikan dan pengembangan
literasi kritis para pengguna media sosial. Kecenderungan sebagian pengguna
media sosial yang memperlakukan ruang maya tak ubahnya media privat untuk
rasan-rasan mau tidak mau harus diubah.
Kemudian, mereka harus disadarkan bahwa dunia maya adalah
bagian dari wilayah publik yang tidak bisa seenaknya dimanfaatkan untuk
menyampaikan hal-hal yang melanggar etika, norma sosial, apalagi melanggar
hukum. Tanpa didukung kesadaran dan literasi kritis para pengguna media
sosial, berbagai kasus penghinaan, ujaran kebencian, dan penyebaran berita
hoax di media sosial akan terus terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar