Sikap
Asertif dan Hubungan AS-Tiongkok
Ahmad Safril ; Dosen Ilmu Hubungan Internasional
Universitas Airlangga
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Maret 2017
SEIRING dengan semakin asertifnya politik luar negeri
Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump, hubungan AS dan Tiongkok
bakal semakin dinamis. Trump pernah mengkritik kebijakan negeri tersebut yang
mendevaluasi mata uang mereka, menggertak Tiongkok untuk menghentikan
aktivitas militer mereka di Laut China Selatan, dan mempertanyakan relevansi
one-China policy. Sikap Trump itu direspons Tiongkok secara tegas dalam
National People’s Congress (NPC) dan Chinese People Political Consultative
Conference (CPPCC) pada 3-15 Maret 2017.
Pertemuan politik tahunan para pejabat Tiongkok yang
dikenal dengan lianghui (two sessions) itu menghasilkan keputusan mematok
angka pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%, meningkatkan anggaran belanja militer
hingga 7%, dan menegakkan one-China policy. Kebijakan AS dan Tiongkok
bersinggungan dalam isu ekonomi dan keamanan yang mewarnai hubungan keduanya.
Secara ekonomi, Tiongkok bisa dirugikan sekaligus diuntungkan kebijakan
proteksionis Trump. Namun, yang jelas, mereka bakal terancam oleh sikap
asertif Trump dalam bidang keamanan. Di masa depan, pola semacam itu akan
terus menghiasi aksi-reaksi dua kekuatan global tersebut.
Kontestasi ekonomi
Dalam pidato pertamanya di Kongres pada 28 Februari 2017,
Trump menyoroti betapa bobroknya kondisi perekonomian AS yang diwariskan
pemerintahan Barack Obama. Menurut presiden ke-45 AS itu, “Ninety-four
million Americans are out of the labor force... Over 43 million people are
now living in poverty... More than 1 in 5 people in their prime working
years are not working.” Trump meyakini kondisi itu disebabkan AS menerapkan
liberalisasi ekonomi dalam pola hubungan free, tetapi bukan fair trade.
Sebagai contoh, kala komoditas Tiongkok dikenai tarif
rendah untuk masuk pasar AS, sebaliknya komoditas AS justru dipungut biaya
tinggi agar bisa diperdagangkan di sana. Selain itu, Trump menegaskan AS
kehilangan 60 ribu pabrik setelah Tiongkok bergabung dengan World Trade
Organization (WTO) pada 2001. Untuk mengatasinya, Trump berniat menaikkan
pajak barang impor. Bagi Tiongkok, kebijakan itu jadi mimpi buruk. Selama
ini, ‘Negeri Tirai Bambu’ itu menikmati keuntungan dari hubungan dagang
mereka dengan AS. Pada 2016, nilai perdagangan Tiongkok dengan AS surplus
US$347 miliar hasil mengekspor senilai US$462 miliar ke ‘Negeri Paman Sam’.
Namun, mereka mengimpor US$116 miliar dari mitra dagang terbesar mereka itu.
Di tengah proteksionisme AS, Tiongkok harus terus memperluas ekspansi pasar
mereka jika ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi 6,5%.
Untungnya, AS di bawah kendali Trump telah menarik diri
dari Trans-Pacific Partnership (TPP). Hengkangnya AS dari blok regional itu
membuka peluang Tiongkok untuk semakin menancapkan pengaruh ekonomi tanpa
ancaman berarti di kawasan trans-Pasifik. Melalui Regional Comprehensive
Economic Partnership (RCEP) dan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), Tiongkok
memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan seluruh negara anggota ASEAN
ditambah Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru. Tanpa
kehadiran AS, Tiongkok bakal terus melaju meninggalkan kompetitor utama
mereka itu dengan semakin memperkukuh dominasi ekonomi mereka di kawasan.
Saling gertak
Sejak awal Trump telah menggertak Tiongkok. Sebelum
dilantik menjadi presiden, pada 3 Desember 2016, dia membuat berang Tiongkok
karena melakukan kontak telepon dengan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen. Bagi Tiongkok,
tindakan itu merupakan pelanggaran one-China policy yang dianut AS sejak
1979. Mereka khawatir kedekatan Trump dan Tsai berujung pada dukungan AS atas
kemerdekaan Taiwan. Di bawah pemerintahan Tsai, Taiwan cenderung melawan
Tiongkok. Meskipun berhubungan baik dengan Taiwan, selama ini AS berkomitmen
memegang teguh prinsip one-China policy sehingga tidak pernah ada kontak
diplomatik di antara pejabat kedua negara.
Karena itu, ketika Trump memutuskan meningkatkan anggaran
pertahanan AS hingga 10%, kebijakan itu diinterpretasikan Tiongkok sebagai
upaya AS melindungi Taiwan sekaligus mengintervensi dinamika regional Laut
China Selatan. Di kawasan tersebut, Tiongkok bersengketa wilayah dengan
sejumlah negara. Untuk mengamankan area yang diklaim, mereka membangun
fasilitas militer di sekitar wilayah sengketa. Tak pelak, sejumlah insiden
yang melibatkan kapal Tiongkok dan AS kerap terjadi. Seiring dengan
peningkatan belanja militer AS, dapat dipastikan armada tempur negara itu
kian kuat dan berpotensi mengancam Tiongkok.
Setelah menyadari ancaman itu, Tiongkok balik menggertak
dengan turut meningkatkan anggaran pertahanan mereka hingga 7%. Pengeluaran
militer Tiongkok sebesar US$148 miliar memang hanya seperempat dari AS,
tetapi karena dihabiskan mayoritas untuk memenuhi kebutuhan pertahanan
wilayah dari intervensi asing, tingkat rivalitas keamanan di antara kedua
negara itu di Laut China Selatan akan kian sengit. Dalam kondisi
mempertahankan sikap asertif masing-masing, saling gertak di antara dua
kekuatan militer terbesar dunia itu semakin memanaskan situasi kawasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar