Perasaan
Terhina dan Aksi Terorisme
Noor Huda Ismail ; Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian
|
KOMPAS, 18 Maret 2017
Peristiwa teror bom panci di Bandung, beberapa waktu lalu,
menjadi penanda serius bahwa penjara tidak memberikan efek jera kepada
sebagian pelaku tindak pidana terorisme. Yayat Cahdiyat, diduga pelaku teror
yang tertembak mati itu, pernah terlibat dalam pelatihan militer di Aceh. Ia
mendekam di penjara selama 2012-2015. Apa sebenarnya dampak penjara pada
kejiwaan pelaku terorisme sehingga mereka kembali lagi beraksi? Adakah yang
bisa kita lakukan untuk mencegahnya?
Penjara adalah institusi negara yang mencabut secara paksa
sebagian hak narapidana terorisme sebagai individu yang merdeka. Mereka
menjadi pesakitan dan didudukkan di lantai terbawah dalam piramida sosial
masyarakat. Wajar jika mereka kemudian merasa terhina. Perasaan ini tampaknya
dapat menjadi pemantik ampuh untuk menggerakkan mereka kembali terlibat dalam
aksi terorisme. Kepada penulis, salah seorang narapidana terorisme sering
mengatakan bahwa perasaan terhina itu ibarat ular yang siap mematuk siapa pun
yang menginjak mereka.
Penggerak penyerangan
Lawrence Wright
(2006), penulis buku The Looming Tower, secara detail mendiskusikan bahwa
perasaan terhina dunia Arab yang menggerakkan para pelaku penyerangan 9/11 di
World Trade Center. Osama bin Laden, pimpinan Al Qaeda, mengatakan bahwa aksi
pendukungnya itu dimaksudkan agar rakyat Amerika juga merasakan perasaan
terhina, seperti perasaan jutaan umat Islam di seluruh dunia akibat selama
bertahun-tahun mendapat teror dari Amerika.
Di Indonesia, perasaan terhinakan ini terus dibawa oleh
sebagian narapidana terorisme, bahkan sampai mereka keluar penjara. Hal
tersebut akan semakin kuat jika saat di penjara mereka merasakan praktik yang
mengusik rasa keadilan, seperti adanya kasta sosial dan permainan uang di
dalam penjara. Di sini, hukum rimba
bekerja. Yang kuatlah yang menang. Menjadi kuat bisa dicapai dengan kekerasan
fisik dan finansial.
Ditambah lagi, ketika mereka bebas, masyarakat sulit
menerima mereka. Wajar jika mereka kemudian memilih kembali pada
"habitat lama". Di sana mereka diterima, bahkan bisa jadi sosok
penting dalam gerakan.
Situasi sosial yang dijelaskan di atas dapat diubah jika
ada tindakan konkret dari negara dan masyarakat yang memanusiakan mereka
kembali. Salah satu contohnya adalah yang dilakukan Dedi Mulyadi, Bupati
Purwakarta. Bersama timnya, bupati progresif ini mendatangi rumah salah
sorang mantan narapidana terorisme yang dijatuhi hukuman penjara empat tahun,
saat ia keluar penjara.
Kang Dedi juga memberikan modal kerja dan tempat untuk
berjualan. Ini adalah model pendekatan emosional yang bisa mengikis rasa
terhinakan ini. Tindakan seperti ini seharusnya bisa ditiru oleh para kepala
daerah di wilayah lain, tempat para mantan narapidana teroris itu dibebaskan.
Perasaan terhina tentu bukan satu-satunya sebab kenapa
terjadi residivisme. Fakta mencatat, banyak mantan narapidana terorisme yang
justru bisa kembali berintegrasi dengan masyarakat.
Lalu, kondisi seperti apa yang mendorong mereka memilih
aksi kekerasan lagi?
Perluas alternatif
Menurut penulis, perlu adanya kondisi yang ada sebelum
mereka terlibat kembali dalam aksi terorisme. Kondisi yang ada itu adalah
minimnya alternatif yang mereka miliki, seperti pendidikan atau pekerjaan
yang memadai. Pola ini terjadi pada kasus Yayat Cahdiyat. Menurut teman satu
selnya di penjara, kondisi perekonomian Yayat sangat lemah setelah bebas dari
penjara. Maka, kekerasanlah yang ia pilih untuk menyembuhkan perasaan
terhinanya tersebut.
Psikiater Amerika, James Gilligan (1997), menyinyalir
bahwa perasaan hina itu selalu menjadi dasar dari setiap aksi kekerasan para
narapidana kriminal. Gilligan telah puluhan tahun melakukan riset di dalam
penjara di AS.
Dalam bukunya, Violence, ia menulis, dengan kekerasan
itulah pelaku merasa berkuasa dan menjadikan siapa pun di luar diri mereka
itu kecil dan tidak berharga. Meski kesimpulan Gilligan ini berdasarkan
observasi terhadap narapidana kriminal, pola serupa dapat terjadi juga pada
pelaku terorisme di Indonesia.
Dalam pengakuan salah seorang mantan narapidana terorisme
kepada penulis, ia merasa kuat dan seolah-olah menjadi lelaki tulen ketika
berada di medan pertempuran dengan membawa senjata AK-47. Bahkan, dalam
kondisi seperti ini, sering kali ia dan teman-teman seperjuangannya mengalami
ketidakharmonisan antara raga dan emosi (perasaan dihinakan) itu.
Artinya, mereka lebih memilih merasa mulia (tidak
terhinakan) meski raga mereka harus hancur. Bisa jadi, inilah yang
menjelaskan kenapa mereka siap mati kapan saja, seperti yang terlihat dari
aksi-aksi bom bunuh diri yang selama ini kita lihat di seluruh dunia.
Berita bagusnya, menurut Gilligan, adalah bahwa perasaan
terhinakan ini bisa disembuhkan jika ditangani dengan baik ketika mereka
berada di penjara. Salah satu caranya adalah dengan memberikan kesempatan
bagi para narapidana tertentu untuk melanjutkan belajar di dalam penjara. Ini
bukan intervensi baru. Di Amerika, intervensi inilah yang dianggap paling
berhasil menurunkan tingkat residivisme yang hampir mencapai 70 persen selama
tiga tahun, setelah para narapidana kriminal itu dibebaskan dari penjara.
Di Indonesia, secara perseorangan, beberapa jenderal di
kepolisian sudah melakukannya. Mereka memberikan bantuan kepada para mantan
narapidana terorisme ini untuk bersekolah lagi. Di antara mereka ada yang
telah menyelesaikan pendidikan sampai tingkat master, seperti Ali Fauzi, adik
tiri dari Amrozi, pelaku peledakan bom Bali 2002.
Bahkan, ada pula yang sedang merampungkan
doktoralnya. Bagi penulis, mereka
inilah yang akan menjadi agen perubahan penting di dalam upaya perdamaian
kita ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar