Tanah
yang Dijanjikan
A Alamsyah Saragih ; Anggota Ombudsman RI Bidang Ekonomi
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Maret 2017
OMBUDSMAN RI memasuki usia ke-17 pada 10 Maret lalu.
Laporan masyarakat terkait dengan pelayanan pertanahan tak kunjung surut dan
menduduki urutan kedua dari 9.030 laporan di tahun 2016. Umumnya laporan
masyarakat mengenai malaadministrasi pertanahan terbagi dua. Pertama, laporan
dugaan malaadministrasi di BPN dan kedua, malaadministrasi di instansi lain,
seperti pemerintah daerah, Kementerian, BUMN, TNI, dan lainnya. Jenis laporan
yang kedua biasanya membutuhkan penyelesaian relatif kompleks karena
melibatkan banyak pihak.
Di balik laporan
Hukum agraria yang mengatur alas hak atas tanah menganut
stelsel negatif. Setiap saat orang lain yang berhasil membuktikan di
pengadilan bahwa ia sesungguhnya pemilik atas tanah. Karena itu, alas hak
dapat dikoreksi. Sebagai teori hal ini cukup masuk akal, tapi dalam praktik
membawa masalah cukup besar karena hukum agraria bukan ruang hampa sosial dan
politik. Ada beberapa kelompok laporan masyarakat terkait dengan peruntukan
tanah. Beberapa yang terindikasi sistemis ialah: tanah untuk usaha badan
hukum swasta, tanah untuk kepentingan umum, tanah aset negara, dan tanah
transmigrasi.
Hampir semua laporan tersebut terkait dengan ekspansi
modal di masa Orde Baru. Kini ketika tanah tersebut telah memiliki nilai
ekonomis tinggi bagi penduduk yang semakin banyak konflik merebak di
mana-mana. Konsorsium Agraria mencatat konflik agraria terus meningkat dari
waktu ke waktu dengan luas area signifikan. Paling tidak pada 2016 tercatat
450 konflik agraria dengan luas area 1.265.027 hektare dan melibatkan 86.745
KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Bersamaan dengan perubahan sistem keuangan, negara telah
pula melihat penguasaan aset tanah menjadi sedemikian penting. Banyak
masyarakat yang puluhan tahun mendiami aset milik negara harus diusir dari
area. Perasaan tak adil merebak karena tak lama kemudian aset tersebut
berpindah tangan ke pihak swasta melalui rangkaian proses administrasi dan
kompensasi.
Alhasil, pada 2015 BPN menyampaikan 0,2% penduduk telah
menguasai 56% lahan. Dapat dipastikan skema penguasaan melalui korporasi
adalah ekspansi yang paling masif. BPS menghitung Rasio Gini lahan pada 2003
telah mencapai 0,72. Sebuah angka ketimpangan yang sangat parah. Di 2013 BPS
tak memublikasikan perhitungan mereka.
Reforma agrarian
Untuk mengatasi ketimpangan itu, pemerintah sejak masa
Pemerintahan SBY telah mencanangkan program Reforma Agraria. Salah satu
sasaran program ini ialah melakukan redistribusi lahan dan menjamin kepastian
status hak atas tanah. Ada 9 juta hektare lahan yang dijanjikan dibagi ke
rakyat. Namun, janji itu seperti berjalan di tempat hingga SBY berhenti. Di
masa Presiden Jokowi, reforma agraria kembali jadi janji kepada rakyat.
Selain redistribusi lahan, redistribusi akses melalui skema kehutanan sosial
dilakukan. Namun, hingga separuh waktu berkuasa janji Jokowi tak juga
menunjukkan tanda-tanda nyata. Rancangan peraturan presiden telah disiapkan,
tapi tak kunjung ditandatangani. Memang telah ada sebagian rakyat yang
mendapatkan penguatan hak melalui sertifikasi, begitu juga pengembalian hutan
adat sebagai hak ulayat. Namun, problem ketimpangan lahan seperti tak menunjukkan
perbaikan. Ombudsman terus menerima laporan konflik lahan di area perkebunan.
Pemerataan jalur cepat
Pada 4 Februari 2017 yang lalu, Presiden Jokowi menggelar
rapat dengan para menteri dan memutuskan untuk menjalankan program Pemerataan
Ekonomi. Salah satu yang menjadi andalan ialah program reforma agraria karena
lahan ialah faktor produksi yang terpenting bagi 40% rakyat. Reforma agraria
ialah sebuah afirmasi untuk mengatasi ketimpangan yang kian parah. Apakah
reforma agraria kali ini bisa terselesaikan dalam separuh waktu lagi ia
berkuasa?
Penyelesaian konflik melalui jalur-jalur administratif
akan memakan waktu lama dan pelik. Menyegerakan Peraturan Presiden tentang
Reforma Agraria penting, tapi tidak cukup. Pembentukan kelembagaan di bawah
Perpres itu akan memerlukan waktu lama mengikuti siklus anggaran dan tahun
depan telah memasuki tahun politik. Reforma agraria memerlukan jalur cepat.
Salah satu yang memungkinkan ialah membagi hak kelola kawasan perkebunan
produktif, bukan lahan telantar. Hampir semua investor perkebunan, terutama
sawit, mengetahui Indonesia ialah surga bagi mereka. Sejak reformasi mereka
dapat mengajukan hak guna usaha 100% area, kecuali jika melalui pelepasan
kawasan hutan yang mensyaratkan 20% untuk diserahkan kepada masyarakat
sebagai plasma.
Data BPN menunjukkan dalam kurun 2017-2025 akan ada 590
HGU perkebunan jatuh tempo. Dalam tiga tahun ke depan paling tidak akan ada
masa berlaku 137 HGU yang akan habis. Kebiasaan selama ini pemilik HGU
mendapatkan prioritas untuk memperpanjang. Ini perlu dihentikan karena
kebutuhan lahan untuk produksi di masyarakat telah semakin tinggi. Karena
itu, pemerintah perlu segera menerbitkan kebijakan redistribusi separuh area
perkebunan tersebut ke masyarakat setempat maupun masyarakat di luar area
yang memerlukan lapangan pekerjaan.
Tentunya mobilisasi kaum pekerja ini harus dilakukan
dengan beberapa persyaratan: kepastian bahwa mereka memang memerlukan,
organisasi kolektif yang memadai dan berbadan hukum, memastikan tanaman yang
ada tetap satu gugus dengan perkebunan induk, luas area per individu memenuhi
skala ekonomi untuk mendapatkan penghasilan yang baik, penyediaan area
permukiman yang layak, dan masa persiapan dan induksi yang memadai bagi para
peserta.
Jika kebijakan itu diambil, akan tersedia jutaan area
perkebunan objek redistribusi yang bernilai ekonomis tinggi dalam 10 tahun ke
depan. Di sisi lain, keberlanjutan investasi perkebunan induk tetap terjamin
karena hasil produksi tetap disalurkan melalui mereka. Secara fundamental jalur
cepat pemerataan ini lebih kukuh dan menjamin kepastian. Bila tidak,
Ombudsman dipastikan masih akan menerima laporan berulang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar