Profesor
dan PT
Hendra Gunawan ; Guru Besar Matematika FMIPA ITB, Bandung
|
KOMPAS, 18 Maret 2017
Dunia perguruan tinggi kita heboh lagi. Untuk kesekian
kalinya, kinerja para profesor menjadi perbincangan. Yang memicunya kali ini
adalah Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 20
Tahun 2017 yang "mengancam" pemberhentian tunjangan kehormatan bagi
para profesor yang tidak produktif.
Permenristekdikti itu menyatakan bahwa tunjangan akan
dihentikan sementara jika sang profesor tidak menghasilkan sedikitnya satu
karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi atau tiga
karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional terindeks dalam
kurun waktu tiga tahun. Untuk bidang tertentu, karya ilmiah tersebut dapat
digantikan dengan paten, karya seni, atau desain monumental.
Permenristekdikti ini sebetulnya tidak terbit tiba-tiba.
Sebelumnya, ada Permendikbud Nomor 78 Tahun 2013 yang mengatur pemberian
tunjangan profesi dan tunjangan kehormatan bagi profesor beserta dengan
"ancaman" pemberhentiannya. Dalam permendikbud itu, selain
kewajiban menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah
bereputasi, para profesor diwajibkan pula menulis buku yang akan dievaluasi
oleh Ditjen Dikti setiap lima tahun.
Dirunut lebih jauh ke belakang, ada Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2009 perihal tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan
khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan profesor yang diterbitkan
untuk melaksanakan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Berdasarkan
UU inilah, guru dan dosen (PNS maupun non-PNS) yang telah memenuhi
persyaratan diberi tunjangan profesi tiap bulan.
Selain itu, para profesor yang memenuhi persyaratan sesuai
peraturan perundang-undangan diberi tunjangan kehormatan. Dalam UU itu pula
dinyatakan bahwa pemberian tunjangan kehormatan akan dihentikan jika sang
profesor tak memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Beberapa usulan
Lalu mengapa sekarang heboh? Dalam tulisan berjudul
"Hantu Scopus" (Kompas, 21/2/2017), Deddy Mulyana mempermasalahkan
sedikitnya dua hal. Pertama, terkait dengan kriteria jurnal ilmiah bereputasi
yang oleh Kemenristekdikti diidentikkan dengan jurnal yang terindeks oleh
pemeringkat internasional seperti Web of Science dan Scopus serta punya
impact factor lebih besar dari nol menurut Web of Science atau
serendah-rendahnya termasuk kuartil tiga (Q3) menurut Scimagojr.
Kedua, terkait bentuk output ilmiah yang dihasilkan.
Menurut Deddy, buku teks berkualitas harusnya diperhitungkan juga. Dalam
Permendikbud No 78/2013, profesor memang diminta menulis buku. Namun, jika
mengacu pada permendikbud itu, kewajiban menulis buku merupakan kewajiban
tambahan selain menghasilkan karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal
bereputasi.
Menyoroti permasalahan ini, Terry Mart (Kompas, 28/2/2017)
mengusulkan jalan tengah berupa kewajiban menghasilkan karya ilmiah yang
diterbitkan di jurnal bereputasi atau buku yang berkualitas. Alih-alih
menghentikan tunjangan kehormatan, Syamsul Rizal (Kompas, 2/3/2017) mengusulkan
agar Kemenristekdikti memberi insentif tambahan bagi profesor yang produktif.
Protes dan seruan dari sejumlah profesor diperkuat oleh
Forum Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum dengan beberapa
usulan revisi yang perlu dilakukan Kemenristekdikti terkait pemberian
tunjangan kehormatan bagi profesor.
Pertama, evaluasi tunjangan kehormatan profesor
dilaksanakan setiap 5 tahun dan dievaluasi untuk pertama kali pada 2018
dengan tetap memperhitungkan karya-karya ilmiah yang dihasilkan sejak 2013
sekaligus menyusun petunjuk teknisnya sesuai Permendikbud Nomor 78 Tahun 2013
juncto Nomor 89 Tahun 2013.
Kedua, memberlakukan bentuk insentif berupa maslahat
tambahan sesuai Pasal 52 dan 57 UU No 14/2005, bukan berupa ancaman
penghentian tunjangan profesi/tunjangan kehormatan. Insentif dapat diberikan
kepada dosen yang menerbitkan/menghasilkan: (a) karya ilmiah nasional,
internasional, dan internasional bereputasi; (b) buku nasional dan
internasional; atau (c) karya teknologi atau seni yang bermanfaat bagi
masyarakat sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106
Tahun 2016.
Ketiga, menghapuskan keharusan menghasilkan karya ilmiah
terpublikasikan pada jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional,
paten atau karya seni monumental/desain monumental bagi lektor kepala.
Keempat, kriteria jurnal internasional bereputasi merujuk
pada Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan
Akademik Dosen dengan memberdayakan indeksasi ilmiah Indonesia.
Misi perguruan tinggi
Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengajak kita semua,
terutama pemerhati perguruan tinggi , untuk merenungkan kembali misi
perguruan tinggi dan peran para profesor yang berada di garis depan dalam
melaksanakan tugas mulia sebagai agen transformasi dan pengembang iptek guna
meningkatkan kualitas kehidupan bangsa.
Barangkali hanya di Indonesia ruang gerak perguruan tinggi
dan kewajiban dosen diatur demikian rinci dan seragam. Bagi saya, mengatur
kewajiban profesor serinci itu bak membuat peraturan bahwa para petani harus
bertani. Dengan standar output yang begitu rendah (dibandingkan dengan
tuntutan profesor di negara jiran sekalipun), sesungguhnya kita sedang
mempermalukan diri sendiri. Namun, yang lebih menyedihkan adalah reaksi dari
sejumlah profesor yang menawar standar output yang rendah itu.
Di mana sumber permasalahan sesungguhnya? Di beberapa
tulisan terdahulu (dimuat harian ini), saya mengungkapkan berbagai
permasalahan seputar perguruan tinggi kita. Terkait fungsi dan kinerja profesor
yang sedang mencuat kali ini, kita mesti menengok kembali sistem perekrutan
dosen dan kriteria kenaikan jabatan akademik dosen, khususnya pengangkatan
profesor.
Seorang profesor semestinya diangkat karena ada misi
perguruan tinggi yang diamanatkan kepadanya terkait pengembangan ilmu, bukan
semata-mata karena yang bersangkutan telah memenuhi angka kum yang
ditentukan. Namun, di negeri ini, ketika seseorang diusulkan menjadi
profesor, urusan kum menjadi fokus perhatian unit terkecil di mana yang
bersangkutan bekerja hingga kementerian. Energi begitu banyak dicurahkan,
tetapi hasilnya begitu-begitu saja. Singkat kata, sistem yang dianut selama
ini sesungguhnya tidak efektif atau bahkan gagal.
Dalam benak saya, Kemenristekdikti cukup mengatur peran
dan output perguruan tinggi, khususnya PTN yang berada di bawah kendali dan
pengawasannya serta mendukung pembiayaannya. Selebihnya, biarkanlah perguruan
tinggi mengatur strategi dan mengelola sumber dayanya serta berlomba dalam
menjalankan peran dan mencapai output-nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar