Sikap
Parpol terhadap Koruptor
Eduardus Lemanto ; Alumnus Program Magister Filsafat STF
Driyarkara
|
KOMPAS, 17 Maret 2017
Sorotan utama dan dominan dalam pelbagai kasus korupsi,
termasuk dugaan penyelewengan dana KTP-el yang melibatkan politisi beberapa
parpol besar, adalah pemerintah dan KPK.
Dari pemerintahan SBY sebagai eksekutor program KTP elektronik hingga
pemerintahan Jokowi-Kalla yang diberi pekerjaan rumah untuk membereskan kasus
korupsi tersebut. Kendati menjadi tugas pemerintah dan KPK, kita tak boleh
lupa menempatkan posisi partai-partai politik dalam megakorupsi tersebut.
Apalagi para pelaku megaskandal itu lebih banyak dari parpol-parpol. Karena
dominan dari kader parpol, upaya pemberantasan korupsi bukan semata pekerjaan
pemerintah dan KPK, melainkan juga tugas parpol.
Bicara korupsi dan koruptor di negeri ini niscaya bicara
parpol. Banyak koruptor bersarang di parpol. Koruptor bagai ranting atau
bahkan buah dari pohon korupsi, yakni parpol. Karena itu, parpol harus juga jadi
bidikan utama dalam upaya pembersihan KKN. Mengapa? Parpol, kendati tak
semua, kerap berubah jadi ”perusahaan politik atau bisnis politik”. Karena ia
berubah jadi perusahaan, rumus kerjanya adalah berwatak bisnis: hitungan
untung-rugi, jual-beli, dan seterusnya.
Karena berwatak bisnis, konsekuensinya tidaklah kecil.
Elite- elite parpol dipandang sebagai bos. Parpol pun bermetamorfosis jadi
partai berpusat pada bos: boss centered party. Akibatnya, yang lahir dari
parpol adalah pegawai politik (white collar politician); mereka yang
memanfaatkan politik dan parpol sebagai lapangan pekerjaan. Parpol pun
dijadikan ladang bisnis untuk keuntungan pribadi.
Masalahnya, jika politisi mengerdilkan politik dan parpol
sebagai ladang bisnis, urusan keuntungan pribadi atau kelompok secara
otomatis ditempatkan sebagai prioritas. Dari sana lahir praktik-praktik
kotor, seperti korupsi. Korupsi adalah wujud terburuk dari persaingan bisnis
dan keuntungan, baik bagi perorangan maupun partai.
Persaingan itu persaingan tak sehat yang mengerdilkan
makna politik dari karya publik dan ruang dedikasi menjadi kerja pribadi dan
ruang bisnis. Posisi politisi pun tak ada bedanya dengan pegawai kantoran
(white collar workers) kendati dimanteli visi-misi parpol yang jarang
mengesampingkan jargon demokrasi, seperti keadilan, kesejahteraan, dan
kebaikan rakyat.
Tantangan bagi parpol, sekaligus sikap yang harus diambil,
adalah perombakan total kelembagaan. Perombakan kelembagaan adalah fondasi
bagi perombakan dan penertiban bagi para kader. Kualitas kader sangat
ditentukan kualitas partai secara kelembagaan. Itu rumus sederhana menuju
pengambilan sikap tegas terhadap kader korup.
Korupsi yang melibatkan kader-kader parpol merupakan
kecelakaan politik terberat bagi partai bersangkutan. Parpol hanya akan
memperburuk wajahnya sendiri jika ia bersifat reaktif. Artinya, kehadiran
parpol lebih condong sebagai penanggap atas tuduhan dugaan korupsi terhadap
kadernya. Lebih celaka lagi jika parpol hadir sebagai pembela oknum kader
yang terjungkal dalam kejahatan luar biasa itu.
Sanksi tegas
Posisi parpol yang diharapkan publik adalah bersifat
aktif. Artinya, ia didorong mengafirmasi kerja pemerintah dan aparat penegak
hukum dalam pembersihan korupsi. Posisi aktif itu dilakukan dengan dua jalan.
Pertama, afirmasi eksternal. Dalam hal ini, parpol berpartisipasi secara
aktif dalam kerja pemerintah menyelesaikan kasus korupsi dan penindakan
terhadap koruptor. Kedua, afirmasi internal di mana parpol aktif membersihkan
kader yang terjerat kasus korupsi dari dalam partai sendiri. Jika tak
demikian, parpol akan terus terjungkal ke dalam, meminjam ujaran George
Washington dalam pidato perpisahan kepada bangsa Amerika di akhir masa
jabatannya, the baneful effect of the spirit of party, dampak destruktif semangat
kepartaian.
Dampak destruktif itu berwujud ketaatan buta: salah atau
benar, kader partai harus tetap dibela. Padahal, partai adalah jembatan
penghubung rakyat kepada pemerintah, diharapkan mampu memenuhi tuntutan
rakyat yang sudah gerah dengan perilaku korup para politisi yang gemar
memakan uang rakyat.
Jadi, sikap yang dibutuhkan dari parpol saat ini adalah
bagaimana mereka meyakinkan rakyat bahwa koruptor tak mewakili parpol. Upaya
meyakinkan itu hanya bisa diterima masyarakat jika parpol berani dan mau
berpartisipasi aktif bersama pemerintah menelanjangi perilaku korup kadernya.
Hanya dengan cara itu eksistensi parpol bisa langgeng dalam pentas politik.
Akhirnya, yang perlu dicatat parpol adalah bahwa standar
normal bobotnya diukur dari seberapa banyak kader berkualitas mengisinya,
baik secara intelektual, mental, maupun karakter. Namun, standar luar
biasanya terletak pada seberapa serius ia membersihkan diri dari benalu
politik, yakni kader yang memanfaatkan parpol sebagai lapangan meraup keuntungan
pribadi. Koruptor adalah benalu parpol, yang meranggaskan pohon politik
secara keseluruhan dan yang memperalat parpol semata sebagai sapi perahan.
Parpol didorong untuk terus mengatasi tabiat
destruktifnya, seperti yang pernah dikatakan oleh Peter Merkl, bahwa politik
dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan
kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Jadi, parpol wajib berpartisipasi
aktif membersihkan korupsi dengan menindak tegas kader-kader yang bermasalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar