“Mengasuh”
Panti
Reza Indragiri Amriel ; Pengurus Lembaga
Perlindungan Anak Indonesia
|
KORAN
SINDO, 04
Maret 2017
Kepengurusan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di
bawah pimpinan Asrorun Niam Sholeh akan segera berakhir. Januari lalu, pada
rapat evaluasi kinerja KPAI, di sela catatan positif akan kinerja lembaga
tersebut, Komisi VIII DPR RI mendorong KPAI agar pada waktu berikutnya
memberikan perhatian secara khusus antara lain kepada anak yatim piatu.
Karena bahasan tentang anak yatim piatu melekat erat
dengan dunia kepantian, maka meski tak terucap ada amanat besar agar
pembinaan panti asuhan dapat diemban sebaik mungkin oleh kepengurusan KPAI
yang baru nantinya. Dalam tempo tidak terpaut jauh dari rapat itu meledak
kasus Panti Asuhan Tunas Bangsa di Riau.
Publik terperanjat, mengenang kembali kejadian serupa yang
diwartakan berlangsung di Panti Samuel beberapa waktu silam. Pelajaran
menyakitkan dari kasus itu: mendirikan dan menjelmakan panti asuhan sebagai
lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) ternyata bukan perkara sepele.
Apa boleh buat; getir memang, iktikad baik semata tak lagi
memadai untuk melindungi anak-anak. Ditilik dari perspektif viktimologi,
boleh jadi anak-anak yang menderita di panti asuhan telah mengalami triple
victimization . Viktimisasi pertama terjadi ketika anak-anak yang
sesungguhnya masih dapat diasuh oleh keluarga mereka justru dititipkan ke
panti asuhan.
Panti seolah menjadi solusi– bahkan solusi pertama–atas
kendala yang dihadapi keluarga terkait tanggung jawab pengasuhan anak.
Viktimisasi kedua berlangsung ketika panti menggandakan penderitaan anak
dengan memperlakukan anak-anak di luar batas-batas kepatutan.
Sangat ironis bahwa kepentingan terbaik anak kian jauh
terealisasikan oleh panti selaku pihak yang mengklaim dirinya sebagai sentra
pengasuhan luar keluarga. Viktimisasi terhadap anak semakin ‘sempurna’
sehingga terjadilah viktimisasi ketiga, manakala otoritas terkait melakukan
pengabaian terhadap ketidaklayakan panti asuhan.
Otoritas semacam itu tidak melakukan pengawasan dan
pemberdayaan panti, tidak membangun interaksi dengan masyarakat, terlebih
ketika khalayak sudah melaporkan indikasi ketidaksemenggahan panti, serta
abai terhadap asalusul anak-anak di panti asuhan. Untuk mengatasi itu semua,
pada tataran paling fundamental adalah perubahan pemikiran.
Bahwa, pertama, panti asuhan (LKSA) seharusnya dijadikan
sebagai pilihan terakhir ketika terdapat masalah pengasuhan anak. Pengasuhan
berbasis keluarga mesti dikedepankan dalam segala situasi. Baik oleh keluarga
sedarah, keluarga asuh (foster family), maupun keluarga angkat.
Berdasarkan data global dan studi nasional, sekitar 90%
anak yang dititipkan di panti sesungguhnya masih mempunyai keluarga yang
dapat mengasuh anakanak tersebut. Tidak ada pihak yang dapat berasumsi bahwa
begitu panti memiliki izin, maka mutu panti asuhan niscaya akan terbangun
dengan sendirinya.
Spesifik terkait kasus Tunas Bangsa, pemasangan police
line dan penghentian operasional panti bukan berarti bahwa masalah telah
selesai. Semua kalangan, termasuk Dinas Sosial, harus insaf akan adanya
akreditasi LKSA. Salah satu unsur cermatan dalam akreditasi tersebut adalah
nilai tertinggi diberikan kepada panti yang mampu mengembalikan anakanak ke
keluarga mereka masing-masing.
Itu berarti, pelurusan pemikiran kedua, tidak tepat
membayangkan panti sebagai tempat penitipan anak yang bersifat permanen. Anak
tidak sepatutnyamenghuni untuk selama-lamanya. Karena itu, otoritas terkait
harus membangun sebuah sistem makro guna memastikan bahwa keluarga anak
(asal-usul anak) tetap terlacak dan terdata secara kontinu, sehingga
anak-anak panti dapat sewaktuwaktu kembali kepada orang tua atau keluarga
mereka.
Pendataan asal-usul anak semestinya bisa dilakukan
bersamaan dengan program kartu tanda penduduk anak yang sempat digagas oleh
pemerintah pada tahun lalu. Seiring dengan itu, lebih dari sekadar masalah pendataan,
seluruh pihak mempunyai tanggung jawab untuk berpartisipasi aktif mengedukasi
para orang tua dan keluarga-keluarga di Indonesia guna mengaktualisasi
potensi-potensi pengasuhan anak mereka.
Poin ini sangat relevan dengan ungkapan Nabi Muhammad SAW
bahwa rumah terindah adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak-anak yatim.
Anak-anak yatim, dengan kata lain, harus diupayakan semaksimal mungkin dapat
bertumbuh dan berkembang di lingkungan berformat keluarga.
Keterlibatan Publik
Syarat bagi beroperasinya panti asuhan adalah memiliki
izin dinas sosial serta mendapat persetujuan masyarakat. Persetujuan
masyarakat dapat ditafsirkan sebagai bentuk citizen oversight , di mana
masyarakat terdorong untuk memantau keberadaan panti beserta anak-anak yang
ada di dalamnya.
Sebagai bagian inheren dari komunitas, programprogram
penyejahteraan masyarakat juga sepatutnya dibarengi pula dengan inisiatif
penyejahteraan panti. Kementerian Sosial harus disemangati untuk
mengintensifkan proses akreditasi pantipanti asuhan se-Indonesia. Tercatat,
dari lima ribu lebih panti asuhan di Tanah Air, baru 400- an panti yang telah
terakreditasi.
Angka itu kurang dari 10%. Alhasil, ketika Kementerian
Sosial berani mencanangkan 2017 sebagai tahun Indonesia bebas anak jalanan,
Kementerian yang sama seyogianya juga menetapkan batas waktu maksimal bagi
terakreditasinya seluruh panti asuhan dari Sabang sampai Merauke.
Tentu, akreditasi bukan aktivitas penilaian semata. Sejatinya,
akreditasi adalah proses peningkatan kapasitas panti-panti asuhan agar
benar-benar dapat berfungsi sebagai sentra penyejahteraan anak-anak.
Berangkat dari situ, LPA Indonesia mengulurkan tangannya kepada Kementerian
Sosial untuk diikutsertakan dalam gugus tugas pengakreditasian panti-panti
asuhan di Tanah Air.
Sekaligus, senyampang publik tengah menaruh atensi tinggi
pada masalah pengasuhan, legislatif dan eksekutif perlu diimbau agar
selekasnya mengambil ancang-ancang untuk merevisi UU Perlindungan Anak.
Masuknya hal ihwal pengasuhan secara lebih komprehensif ke dalam undangundang
tersebut, alih-alih menyusun rancangan undang-undang tersendiri, diharapkan
akan menghadirkan jaminan ekstra bagi proses tumbuh kembang anak-anak
Indonesia. Allahu alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar