Rabu, 17 September 2014

Meditasi Romo Mudji

Meditasi Romo Mudji

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 15 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pameran sketsa Romo Mudji—yang dibuka hari Rabu, 10 September lalu, di teater arena Taman Ismail Marzuki, TIM, rumah kaum seniman yang bergengsii— memang bergengsi sekali. Kalau tak percaya, lihat saja sendiri apa isi yang dipamerkannya. Romo orang serbabisa.

Pastor Serikat Jesuit, terpelajar, dosen filsafat, esais, pendeknya seni-man, aktivis di bidang-bidang yang berhubungan dengan agama dan kebudayaan, serta tekun melukis sketsa-sketsa tampak seperti terbukti di berbagai pamerannya, terutama pamerannya kali ini. Tulisannya, esai-esai tadi, dan sketsa-sketsanya menyampaikan kepada kita suatu kesaksian, seperti digali dari sebuah perjalanan yang sama: perjalanan di muka bumi yang fana ini, tetapi yang dijumput, yang dipetiknya, sebaliknya. Semua kesaksiannya dipilih hanya segi-segi terdalam dari hidup yang di mana pun sangat terasa begitu dangkal dan khas hanya yang bernilai keabadian.

Setidaknya, ini potret keabadian dari apa yang tak abadi dan serbafana, yang bisa ditampilkan oleh hidup yang memang fana ini. Rupanya, ada juga sisi-sisi keabadian dari hidup dalam serbakefanaan ini. Dan ini pula wujud kontradiksi- kontradiksi, yang sebetulnya ruwet jika dinalar dengar daya pikir. Tapi entah mengapa, di tangan Romo, yang sudah memasuki usia ke 60 tahun—a productive and wonderful sixty —persoalannya menjadi seolah hanya begitu sederhana dan mudah dicerna ketika semuanya terlahir dalam karya demi karyanya, yang filosofis dan religius.

Siapa yang bisa berkarya dengan kesan luar dan kedalaman isi seperti ini kalau bukan seorang rohaniwan yang memang dilatih memandang hidup, memandang dunia yang eksoterik ini dari segi-seginya yang esoterik? ”Kita tidak heran karena Romo rohaniwan.” ”Tapi apakah semua rohaniwan bisa melakukannya?” ”Agaknya cukup jelas, memang tak semua mereka bisa begitu. Tapi bukankah itu karena Romo orang filsafat, yang terlatih memandang hidup yang ruwet ini menjadi rumusan filosofis yang lebih ruwet lagi?”

”Tapi bukankah kita tahu, tak semua orang yang dilatih berfilsafat memperlihatkan karyakarya macam itu?” ”Ah, kalau begitu mungkin karena Romo terlahir dari kombinasi orang tua, sang Ayah dari Yogya, dan sang Ibu dari Solo?” ”Kelembutan dan kehalusan Solo dan Yogya, filosofi Jawa, dan cara hidup yang membikin harmonis unsur-unsur yang kontradiktif satu sama lain memang bisa ditangani dengan baik oleh orang Jawa, dari pusat peradaban Jawa itu. Tapi pertanyaan pokoknya, apakah semua orang Solo atau Yogya atau orang yang lahir dari kombinasi Solo-Yogya mampu berkarya seperti itu? ”Ah, begini saja: Romo Mudji ya Romo Mudji.

Selesai. Tak usah dibanding-bandingkan karena perbandingan memang tak diperlukan. Melihat karya-karyanya saja belum tentu bisa kita analisis secara jeli dan mendalam dalam waktu pendek. Apa lagi menelusuri modus-modus eksistensialnya yang lebih kompleks. Salah satu sketsa itu ada yang memancarkan rasa syukur. Judulnya Kidung Syukur. Orang-orang saleh yang sudah mencapai usia setingkat usia beliau, apalagi yang sudah lebih, apa lagi memangnya yang harus dilakukannya dalam hidup ini bila bukan kekidungan dengan segenap rasa syukur?

Berkidung-kidung, menyanyinyanyi, dengan sendirinya bukan yang dipantulkan oleh suara, melainkan oleh kedalaman hati. Mungkin dalam diam. Menjadi ning koyo banyu, jernih bagai air, dan neng koyo watu, diam bagai batu. Dan syukur yang diam itu siapa tahu bila yang keluar justru sebuah tangis, yang dalam, tanpa suara, tanpa bunyibunyian. Tangisnya hati yang terdalam. Sedalam apa pun Danau Toba, orang tahu berapa dalamnya. Bagi yang belum pernah tahu tapi ingin tahu bisa mengetahuinya dengan menggunakan teknologi.

Tapi teknologi apa yang bisa kita gunakan untuk mengetahui kedalaman syukur Romo Mudji dalam Kidung Syukur yang dipamerkannya di rumah kaum seniman itu? Kerendahan hati seorang rohaniwan atau orang biasa yang saleh niscaya menerima segala pemberian langit dengan syukur. Bahkan, ada yang dirasa sudah cukup dan tak perlu diperbanyak. Sayang, Romo Mudji tak bisa menjadi ukuran mengenai betapa dalamnya iman orang Indonesia. Kalau politisi Senayan yang gemar hiruk-pikuk dan pamer komitmen palsu yang berkata ”sudah cukup dan tinggal bersyukur”, pasti skala kebaikan hati bangsa kita bisa dipotret untuk menjadi indikator penting dan bergengsi.

Kalau para birokrat partai dan nonpartai, bahkan yang datang dari kalangan perguruan tinggi, bisa begitu, negeri ini akan penuh dengan orang-orang baik, saleh, dan mendekati tipologi para santo, para wali, bahkan mungkin juga nabi-nabi. Kalau ini sudah terwujud— tapi KPK pun jelas tidak tahu sama sekali kapan akan terwujud—, negeri ini jelas aman dan amanah. Kita tak perlu partai politik yang berteriak kesucian, tetapi ternyata wakil-wakilnya juga mencuri secara terbuka tanpa malu-malu.

Orang yang bicara mengenai Kidung Syukur dan satu lagi ”mencari cahaya terang”, melalui karya-karya seninya, mungkin menjadi representasi dari apa yang di dunia sastra Jawa tradisional, wayang, disebut orang yang sudah katoro, katari, katarimah brataniro , itu orang yang sudah dikenal baik oleh kekuasaan ”langit”, dikenal dengan baik, dan pengabdian hidupnya diterima, juga diterima dengan baik, dan karena itu lalu katari , ditanya, ”mau minta apa yang terbaik dalam hidupmu”, dan orang itu akan menjawabnya dengan rendah hati tanpa kata-kata, tanpa bunyi-bunyian, hanya suara hati yang terdengar: ”Matur sembah nuwun, sampun cekap.

” Artinya terima kasih banyak, sudah cukup. Kita tahu, ini mungkin bisa membikin para penguasa langit bergetar, penuh kekaguman. Jadi, ada betul to , orang, di bumi sana, yang merasa sudah cukup itu. Romo, bagaimana rasanya bisa menulis esai-esai, bisa berfilsafat, dan membuat sketsa-sketsa, yang dipamerkan di tempat-tempat bergengsi, terutama di rumah kaum seniman di Taman Ismail Marzuki? Pertanyaan ini, bagi Romo, mungkin membingungkan. Apa jawabnya yang lebih bila bukan rasa syukur yang diungkapkan dengan kidung syukur, yang diam tapi dalam, yang gembira tapi menangis, karena hidup di usia ini tak lain dari syukur dan syukur. Itu mungkin inti Meditasi Romo Mudji, meditasi di dalam hidup, di tengah segala yang bising, ruwet. dan pengap, tapi di dalam jiwa ada yang teduh, di dalam apa yang fana ada titik, biarpun kecil, yang abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar