Sabtu, 05 April 2014

Pemilu dan Politik Pendidikan

Pemilu dan Politik Pendidikan

Suyatno  ;   Pengajar UT Malang, Lulusan Pascasarjana UGM
KORAN JAKARTA, 05 April 2014
                                      
                                                                                         
                                                             
Suksesi rezim biasanya diikuti pergantian kebijakan yang berbeda, termasuk arah politik pendidikan. Pendidikan diselenggarakan berdasarkan impulse sesaat para penguasa. Hal membuat arah pendidikan mengikuti selera penguasa.

Misalnya, pejabat mengatakan nilai-nilai kejuangan 45 penting, maka lahirlah Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Saat pemimpin berkiblat ke teknokrasi, muncul link and match. Kemudian, manakala seorang menteri berceloteh tentang nilai yang dikatrol, terbitlah ujian akhir nasional.

Korbannya tetap murid. Tak heran, muncul anggapan pemerintah inkonsisten. Pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari aspek sosial politik. Maklum, kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan.

Namun, apa jadinya bila dunia pendidikan banyak terkontaminasi urusan politik? Tentu saja semua bergantung pada pelaku politik dalam menyikapi pendidikan.

Apakah mereka benar-benar menginginkan negara ini maju dengan memiliki sumber daya manusia yang cerdas, mandiri, kreatif, serta penuh inisiatif? Atau justru penuh pretensi yang bermuara pada vested interest, pementingan diri sendiri dan kelompok? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan bila mencermati pelaksanaan politik pendidikan dalam waktu tertentu (Sucahyo, 2004).

Periode 1908–1945 pendidikan ditandai kehadiran pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih berjuang untuk merdeka. Keteladanan mereka pantas ditiru. Dokter Wahidin Sudirohusodo begitu yakin bahwa pendidikan merupakan resep mujarab mengentaskan bangsa dari keterbelakangan dan kemelaratan.

Demikian pula Ki Hajar Dewantara yang mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana, namun begitu dalam fi losofi nya: Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani.

Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi. Sebaliknya pada periode 1959–1998 muncul pemimpin-pemimpin dan pelaku-pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik.

Mereka lebih banyak berasyik masyuk dengan kepentingan kelompok. Kekuasaan dianggap sebagai jalan memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman. Mereka melihat dunia pendidikan tidak menjanjikan keuntungan fi nansial.

Pendidikan lalu dipinggirkan. Lihat saja kementerian ekonomi, keuangan, dan perdagangan banyak diincar dan diperebutkan. Kementerian pendidikan hanya pelengkap.

Selama Orde Baru dan Reformasi, pendidikan hanya berkutat pada problem kurikulum, materi pendidikan, guru, biaya, sarana-prasarana, dan evaluasi tahap akhir.

Taruhlah sekarang ini ada pelaku politik yang mencoba bersuara agak lantang tentang kebebasan akademik maupun otonomi sekolah dan kampus. Pada kenyataannya, seruan tersebut tak lebih dari sekadar slogan-slogan atau janji-janji politik manis.

Slogan sangat mudah diucapkan, namun susah dilaksanakan karena amat bergantung pada situasi dan iklim politik. Seperti dikatakan David N Plank dan William Lowe Boyd (1994) dalam Antipolitics, Education, and Institutional Choise: Th e Flight From Democracy.

Di situ dikatakan bahwa pemerintahan yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pembelajaran selaras kepentingan publik.

Jadi, dalam masyarakat modern, institusi pendidikan diharapkan menyelaraskan diri dengan tujuan dan kepentingan publik lewat tangan para pakar pedagogi.

Namun realitanya berbeda. Yang sering terjadi justru konfl ik berkepanjangan karena kepentingan politiklah yang dominan. Pendidikan telah terkooptasi dengan kebijakan politik sehingga secara umum tidak menguntungkan karena bisa terjadi pembusukan. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifi kasi para pengambil kebijakan.

Mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalahnya. Oleh karena itu, tidak aneh bila sektor pendidikan hanya dijadikan kuda tunggangan.

Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti cara mendapat sebanyak mungkin simpati masyarakat agar dapat menduduki kursi kekuasaan selama mungkin.

Bermutu

Politik pendidikan harusnya termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan strategis pemerintah (Turmudzi: 2004) dan diharapkan berpihak pada rakyat kecil.

Sebab masih banyak orang tua tidak mampu menyekolahkan anak-anak, meski hanya tingkat SD. Sementara banyak sekolah kekurangan fasilitas, bahkan tidak memiliki gedung representatif. Tidak sedikit yang tak memiliki ruang belajar sama sekali. Guru juga sangat kurang.

Tenaga pendidik honorer dibayar sangat rendah sehingga melindas motivasi mengajar. Berbagai kekurangan tersebut harus segera dipecahkan. Aksesibilitas pendidikan harus diperluas dengan menaikkan daya beli masyarakat.

Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 menginstruksikan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangya 20 persen dari APBN. Hal itu memang sudah terpenuhi. Akan tetapi, realisasi anggaran secara fungsional belum optimal.

Padahal, PBB telah mengeluarkan visi Millennium Development Goals pada tahun 2000 yang disepakati 189 negara dengan delapan prioritas. Salah satunya, "mewujudkan pendidikan untuk semua” atau education for all (EFA).

Komitmen internasional untuk EFA, meliputi pendidikan anak usia dini, penuntasan wajib belajar, pengembangan proses pembelajaran generasi muda, penuntasan angka melek huruf, penghapusan kesenjangan gender dalam pendidikan, serta peningkatan mutu pendidikan. Indonesia, salah satu penanda tangan, bertanggung jawab melaksanakan.

Sayang, proses tersebut belum sepenuhnya berhasil. Jadi, masih harus diperjuangkan. Banyak anak belum mendapat layanan pendidikan. Mereka yang bersekolah pun tidak sepenuhnya bebas dari biaya karena ada saja pungutan seperti biaya pembangunan.

Orang tua sangat menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Sekolah yang baik diharapkan membawa berkah kehidupan lebih berkualitas.

Mereka selalu mengutamakan anggaran sekolah anak-anak. Konstitusi menjamin pendidikan setiap warga negara. Pasal 31 UUD 1945 menyebutkan pendidikan merupakan hak dasar setiap warga negara.

Sementara Pasal 5 Ayat 1 UU No 20 Tahun 2003 menandaskan, setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bermutu. Dengan semangat konstitusional tersebut, para pemimpin baru hasil Pemilu 2014 berkewajiban menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau dan bermutu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar