Menjawab
Tantangan Berat Pemilu
Sumaryoto Padmodiningrat ; Anggota DPR
|
SUARA
MERDEKA, 04 April 2014
ENTAH
apa yang berkecamuk dalam benak Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Husni Kamil
Manik sehingga ia optimistis partisipasi pemilih pada Pemilu Legislatif
(Pileg) 9 April nanti akan mencapai 90% atau sekurang-kurangnya 75% sesuai
target pembangunan.
Keyakinannya
itu mendasarkan hasil survei terakhir KPU pada Februari lalu, yang
menyebutkan 50% calon pemilih yang menjadi peserta survei menyatakan sudah
mendapat banyak informasi, 30% menyatakan telah mendapat informasi dan cukup,
10% sudah menerima informasi, namun kurang, dan sisanya menyatakan belum
tahu.
Faktanya,
tingkat partisipasi pemilih terus menurun. Pada Pemilu 1999 mencapai 93,33%,
Pemilu 2004 turun jadi 84,9%, dan Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99%.
Pemilu
2014, diprediksi tingkat partisipasi pemilih tinggal 54%, namun prediksi
optimistis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) masih pada angka 60%. Angka
golongan putih (golput) atau pemilih yang tak menggunakan hak suaranya juga
terus meningkat.
Pada
Pemilu 1999, angka golput 10,21% dari total pemilih 139 juta lebih, Pemilu
2004 naik menjadi 23,34% dari total pemilih 148 juta lebih, dan Pemilu 2009
naik lagi menjadi 29,01% dari total pemilih 171 juta lebih. Pemilu 2014,
dengan jumlah pemilih 183 juta jiwa, angka golput diprediksi 40%.
Bandingkan
dengan angka golput pada pemilu era Orde Lama dan Orde Baru (1955, 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, dan 1997) yang tak pernah lebih dari 10%. Untuk pemilu
presiden (pilpres) dan pemilu kepala daerah (pilkada), angka golput juga
tinggi. Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik menjadi 23,3%
(angka partisipasi pemilih Pilpres 2009 sebesar 72,09%).
Angka
golput pilkada rata-rata 27,9%. Khusus Jateng, angka golput Pilkada 2008
mencapai 45% dengan tingkat partisipasi pemilih 55,03%, Pilkada 2013 mencapai
48,46% dengan tingkat partisipasi pemilih 55,73%. Tingginya angka golput
dalam pileg, pilpres, dan pilkada berbanding lurus dengan tingginya tingkat
ketidakpercayaan publik kepada wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif
(DPR/DPRD provinsi/DPRD kabupaten/kota) dan kepala daerah (gubernur/wakil
gubernur, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota).
Maklum,
jumlah wakil rakyat dan kepala daerah yang tersandung masalah hukum,
khususnya tindak pidana korupsi, lumayan banyak.
Sejak
pilkada langsung digelar pada 2004 hingga kini jumlah kepala daerah yang
tersangkut korupsi mencapai 309 orang. Di sisi lain, Sekretaris Kabinet Dipo
Alam akhir September 2013 merilis data bahwa sejak Oktober 2004 hingga
September 2012, Presiden SBY telah mengeluarkan 176 persetujuan tertulis
untuk penyelidikan hukum pejabat negara dalam berbagai kasus.
Lebih
dari separuh di antaranya pejabat dari partai politik, dengan tiga besarnya
adalah Partai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat. Berdasarkan kategori kasus
yang diajukan, 131 orang atau 74,43% menyangkut tindak pidana korupsi, dan 45
orang atau 25,29% terkait tindak pidana lainnya.
Persoalan Teknis
Sebanyak
103 dari 176 persetujuan itu untuk pemeriksaan bupati/wali kota (58,521%); 31
wakil bupati/ wakil wali kota (17,61%); 24 anggota MPR/DPR (13,63%); 12
gubernur (6,81%); 3 wakil gubernur (1,70%); 2 anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) (1,13%); dan 1 hakim Mahkamah Konstitusi (MK) (0,56%).
Berdasar
latar belakang politik pejabat negara yang dimohonkan persetujuan
pemeriksaannya, Golkar 64 orang (36,36%); PDIP 32 (18,18%); Partai Demokrat 20
(11,36%); PPP17 (3,97%); PKB 9 (5,11%); PAN 7 (3,97%); PKS 4 (2,27%); PBB 2
(1,14%); PNI Marhaen, PPD, PKPI, Partai Aceh masing-masing 1 orang (0,56%);
birokrat/TNI 6 (3,40%); independen/ nonpartai 8 (4,54%); dan gabungan parpol
3 orang (1,70%).
Belakangan
Luthfi Hasan Ishaaq, waktu itu Presiden PKS, dan Anas Urbaningrum, saat itu
Ketua Umum Partai Demokrat, ditetapkan KPK sebagai tersangka korupsi.
Kini,
para pemangku kepentingan pemilu seperti KPU, Bawaslu, Kemendagri, dan DPR
harap-harap cemas menunggu hasil Pemilu 2014, apakah akan dimenangkan oleh
golput atau justru tingkat partisipasi pemilih bisa 90% atau minimal 75%
sebagaimana optimisme KPU. Maklum, di tengah sorotan tajam publik terhadap
kinerja dan perilaku anggota DPR periode 2009-2014, 507 dari 560 anggota DPR
(incumbent) atau sekitar 90% kembali mencalonkan diri.
Kondisi
demikian masih ditambah persoalan teknis pemilu, seperti pengiriman surat
suara yang bermasalah di sejumlah daerah. Di Sulawesi Selatan misalnya, 15
daerah melaporkan jumlah surat suara rusak 48 ribu lembar. Ribuan surat suara
rusak juga terjadi di NTB .
Semua
itu menjadi tantangan berat bagi para pemangku kepentingan pemilu, dan juga
bagi kita semua, bangsa Indonesia. Untuk itu, berbagai upaya legal harus
dilakukan KPU dan pemangku kepentingan lainnya supaya tingkat partisipasi
pemilih meningkat dan angka golput menurun, serta pemilu berlangsung
demokratis, lancar, dan aman.
Di pihak
lain, calon pemilih juga harus menggunakan hak pilih sebaik-baiknya. Hal yu
mengingat pemilu adalah cara paling beradab dan demokratis dalam suksesi
kepemimpinan nasional di eksekutif, dan keterwakilan di legislatif, baik di
DPR/DPRD maupun DPD. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar