Manipulasi
Stasiun Televisi
Gunawan Witjaksana ; Dosen dan Ketua
Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi
(Stikom) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 04 April 2014
SEJAK
Joko Widodo (Jokowi) resmi dicalonkan sebagai presiden dalam Pilpres 2014
oleh PDIP, bak menjadi musuh bersama televisi nasional (non-TVRI), hampir
tidak ada lagi pemberitaan terkait dengannya, baik dalam kapasitas sebagai
Gubernur DKI Jakarta maupun sebagai capres dari partai banteng moncong putih.
Padahal,
sebelum resmi dicapreskan, Jokowi dengan kinerjanya selalu meramaikan jagat
pertelevisian nasional. Pasalnya, berdasar kinerja, Jokowi adalah salah satu
sumber berita sekaligus sosok yang memiliki nilai berita (news value) tinggi.
Hal ini
selaras dengan salah satu fungsi televisi sebagai lembaga bisnis, dan sesuai
dengan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dari sisi sosiologi media,
salah satu faktor yang memengaruhi produksi media (termasuk televisi) adalah
organisasi media, yang di dalamnya ada unsur kuat, yaitu pemilik (pemodal).
Ironisnya,
para pemilik televisi nasional rata-rata saat ini terafiliasi pada partai
politik, bahkan di antaranya sudah mendeklarasikan diri sebagai
caprescawapres sebuah parpol. Mereka seperti lupa bahwa frekuensi siaran yang
dipinjam adalah milik rakyat, yang semestinya mereka gunakan demi kepentingan
rakyat, termasuk terkait dengan pemilu.
Klaim
mereka bahwa kelak membela kepentingan rakyat, sesuai dengan iklan politik
atau pun program yang mereka tayangkan, dari Ilmu Komunikasi tidak lebih
sekadar ìkonstruksi realitasî yang sangat manipulatif.
Masalahnya,
belum tentu semua itu bisa mereka laksanakan, baik karena gagal dicapreskan
sesuai ketentuan UU, tidak terpilih, atau bahkan andai terpilih pun. Padahal,
membaik-baikkan diri tapi menjelekkan pesaing dengan memakai frekuensi milik
rakyat, tanpa menunjukkan kelemahan, bahkan cenderung menghilangkan beban
masa lalu yang rata-rata mereka miliki, adalah sangat tidak jujur alias
manipulatif.
Efektifkah
manuver yang mereka lakukan melalui stasiun televisi miliknya saat ini?
Efektifkah ’’penghilangan’’ Jokowi untuk mengurangi, atau bahkan membuat
rakyat lupa pada sosoknya? Atau, justru sebaliknya yang bakal terjadi ?
’’Agenda Setting’’
Pengusaha
dan pengelola televisi nasional (kecuali TVRI sebagai lembaga penyiaran
publik) rupanya masih menggunakan model agenda setting klasik, yang
menganggap agenda utama televisi dapat memengaruhi agenda masyarakat. Melalui
asumsi tersebut mereka berharap masyarakat hanya mengingat mereka, dan
melupakan Jokowi.
Padahal
bila kita melihat model agenda setting yang sesungguhnya, agenda media pun
harus memperhitungkan agenda masyarakat, agenda kaum cerdik cendekiawan,
pemuka masyarakat, dan pembuat kebijakan. Bahkan kondisi psikilogis dan
sosiologis yang melingkupi keterkaitan dengan proses interaksi antarkomponen
itu.
Agenda
masyarakat yang selama ini menghendaki kelahiran pemimpin masa depan yang
jujur, mau bekerja keras dan tanpa pamrih, dan dekat dengan rakyat seperti
mereka tujukan pada sosok Jokowi, mestinya perlu diperhitungkan. Bila mereka
tidak menyadari dan nekat melawannya, termasuk pada teguran KPI, Bawaslu, dan
PPPI, niscaya rakyat/pemirsa akan meninggalkannya.
Terlebih
saat ini banyak media massa lain yang menjadi pilihan sehingga tetap saja
publik ingin melihat sosok Jokowi melalui berbagai media tersebut. Di sisi
lain, masyarakat (dalam bahasa iklan: consumers insight) yang mendambakan
calon pemimpin masa depan yang tampaknya lekat pada sosok Jokowi merasa bahwa
jagonya dianiaya dan dizalimi.
Akibatnya,
publik menggunakan media lain, termasuk kembali mengaktifkan Jasmev, sebuah
komunitas media sosial yang mendukung Jokowi, melalui penyampaian pesan-pesan
yang berisi prestasi Jokowi. Semua itu ditujukan untuk melawan kampanye hitam
dari lawan-lawan politik Jokowi.
Dukungan
terhadap Jokowi pun makin meluas, semisal dari organisasi buruh di berbagai
daerah, komunitas Kebangkitan Indonesia Baru (KIB) di berbagai wilayah, yang
tentu akan makin meluas bila para pengelola media, terutama televisi swasta
nasional, tidak mengubah sikap.
Survei
AGB Nelson pun kerap menunjukkan turunnya rating tayangan televisi pada saat
sang pemilik terlalu banyak tampil. Intinya, masyarakat saat ini makin
cerdas, sehingga sulit dininabobokkan oleh tayangantayangan berbau
pembodohan.
Seharusnya
para elite politik sadar bahwa pemilu, termasuk pilpres, bukanlah tujuan
akhir. Tujuan akhirnya adalah keterpilihan wakil rakyat, disusul keterpilihan
presiden dan wakil presiden, yang mampu menyejahterakan rakyat. Untuk itu,
semua pihak perlu menempuh cara elegan, tanpa manipulasi, tidak paranoid
secara berlebihan, dan tidak sehat seperti terjadi saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar