Absurditas
Sang Nabi Palsu
Faisal Ismail ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 19 April 2014
Menurut
doktrin Islam, nabi terakhir adalah Muhammad SAW. Muhammad adalah nabi
penutup para nabi (khatamun nabiyyin).
Sejarah hidup dan rekam jejak Muhammad sangat gamblang dan jelas. Ia lahir
pada 570 M di Mekkah dari pasangan Abdullah (ayah) dan Aminah (ibu).
Muhammad
wafat pada 632 M di Madinah. Ia pertama kali menerima wahyu dari Allah yang
disampaikan oleh Malaikat Jibril pada usia 40 di Gua Hira. Semua wahyu yang
ia terima telah dihimpun dalam sebuah kitab suci yang disebut Alquran.
Muhammad melaksanakan misi kenabiannya selama 23 tahun (13 tahun di Mekkah
dan 10 tahun di Madinah). Nabi Muhammad dimakamkan di Masjid Nabawi di
Madinah dan makam itu sampai sekarang (sudah lebih dari 14 abad lamanya)
masih tetap utuh serta menjadi saksi dan bukti rekam jejak historis
kenabiannya.
Umat Islam
tidak seujung rambut pun meragukan kenabian dan kerasulan Muhammad sebagai
nabi terakhir yang diutus oleh Allah. Bahkan Allah menyatakan dengan tegas
bahwa Muhammad diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh
alam). Setelah Nabi Muhammad wafat, muncullahbeberapaorang Arab yang
mengklaim sebagai nabi. Tidak dapat diragukan lagi, mereka adalah orang-orang
yang berpikiran absurd sekaligus merupakan nabi palsu atau nabi gadungan yang
bergentayangan pada masa itu.
Mereka
adalah Musailamah al-Kadzdzab, Sajah, al-Aswad al-Ansi, dan Thulaihah bin
Khuwailid. Mereka melancarkan kampanye dan propaganda yang intensif,
ekstensif, dan masif di kalangan orang-orang Arab pada masa itu untuk
mendapatkan legitimasi dan pengakuan sebagai nabi. Mereka sangat ambisius
ingin menyandang popularitas, pujian, dan sanjungan dari kalangan orangorang
Arab yang bersedia menjadi pengikut mereka. Seraya mengakusebagainabi, mereka
menyampaikan kepada para pengikutnya bahwa mereka telah menerima ”wahyu” dari
Allah.
Misalnya,
”wahyu” yang diklaim diterima oleh Musailamah berisi cerita tentang katak
atau gajah. Diceritakan oleh Musailamah bahwa gajah itu adalah binatang yang
belalainya panjang. Cerita Musailamah itu sama sekali tidak pantas diklaim
sebagai ”wahyu” dari Allah. Sangat absurd.Nonsens. Masa peralihan
kepemimpinan dari Nabi Muhammd ke Abu Bakar ash-Shiddiq (Khalifah pertama,
632-634 M) memang merupakan masa yang sangat kritikal dalam sejarah Islam.
Selain
muncul beberapa nabi gadungan, muncul pula orangorang murtad (keluar dari
agama Islam) dan orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Tiga tantangan
krusial (nabi-nabi palsu, orang-orang murtad, dan orang-orang pembangkang
yang tidak mau bayar zakat) inilah yang menghadang pemerintahan Abu Bakar
pada masa awal kepemimpinannya. Islam pada saat itu dalam kondisi kritikal
dan dalam situasi ”hidup” atau ”mati”.
Jika
ketiga golongan pembangkang dan pengacau tadi dibiarkan, Islam akan berada
dalam bahaya dan terancam eksistensinya. Itulah sebabnya Khalifah Abu Bakar
memerangi dan menumpas ketiga golongan pengacau tadi demi tegaknya agama
Islam yang pada saat itu baru saja mulai bersemi. Khalifah Abu Bakar berhasil
menumpas ketiga golongan pengacau itu sehingga stabilitas politik dan
dinamika pemerintahannya dapat berjalan sesuai harapan dan cita-citanya.
Dari
paparan sejarah di atas, klaim seseorang bahwa dirinya nabi tidak hanya
terjadi pada masa sekarang. Setelah wafatnya Nabi Muhammad sudah ada
orang-orang yang mendakwahkan diri mereka sebagai nabi. Mereka adalah nabi
palsu atau nabi gadungan. Bahwa Muhammad adalah nabi terakhir adalah doktrin
Islam yang baku dan final. Hal ini merupakan doktrin yang sangat elementer
(dasar) yang seharusnya setiap orang Islam mengetahui dan memahaminya.
Sebenarnya,
tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk tidak mengetahui dan tidak
memahami ajaran yang sangat dasar ini. Tapi mengapa masih ada saja orang yang
mengklaim sebagai nabi atau rasul pada masa sekarang ini? Keawaman atau
perburuan gebyar popularitas (maaf) yang semu? Kalau seseorang merasa memang
tidak tahu atau masih awam tentang ajaran dasar ini, seharusnya tidak usah
mendakwahkan dirinya sebagai nabi atau rasul. Ini masalah peka bagi akidah
umat Islam. Tak usah mencari masalah.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dan umat Islam sudah pasti mengecapnya sebagai (aliran)
sesat dan menyesatkan. Ini bukan persoalan kebebasan berkeyakinan, tapi
merupakan praktik penyebaran kesesatan yang harus dicegah. Contoh yang masih
segar dalam ingatan kita adalah kasus Ahmad Mushaddeq alias Abdul Salam (63
tahun). Ia dikenal sebagai pendiri aliran Al-Qiyadah al-Islamiyah dan dengan
mantap mengklaim sebagai rasul dari Betawi. Dengan memakai pakaian kebesaran
sebagaimana layaknya pemimpin sebuah aliran keagamaan, tanpa ragu-ragu
Mushaddeq mengaku sebagai Almasih dan Almaw’ud.
Mushaddeq
mengajarkan kepada para pengikutnya lafaz syahadat baru yang sama sekali
berbeda dari lafaz syahadat dalam ajaran Islam. Lafaz syahadat ajaran
Mushaddeq berbunyi ”Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Alamasih
Alamaw’ud Rasulullah.” Dalam syahadat versi Mushaddeq ini, kata ”Muhammad”
diganti ”Almasih Almaw’ud” (maksudnya: Mushaddeq). Setelah dinyatakan sesat
oleh MUI, rasul dari Betawi itu menyatakan tobat dan kembali ke ajaran Islam
yang benar. Kasus lain adalah kasus Cecep Solihin di Bandung barubaru ini.
Ia
mengklaim sebagai nabi. MUI menyatakan bahwa aliran Cecep Solihin adalah
aliran sesat dan menyesatkan. Polisi disertai MUI menggerebek Cecep Solihin
di rumahnya untuk kemudian memeriksa dan meminta keterangan Cecep tentang
ajaran yang ia kembangkan selama ini. Menurut laporan di media massa, Cecep
Solihin dilepas (tidak ditahan) dan beserta para pengikutnya dia terus dibina
untuk kembali ke jalan ajaran Islam yang benar. Doktrin Islam bahwa tidak ada
nabi setelah Muhammad adalah ajaran yang sangat dasar dan semua orang Islam
sudah mafhum. Klaim seseorang bahwa dirinya adalah nabi adalah perbuatan yang
absurd. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar