Sesat dan
Menyesatkan
Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU
SUMBER : KOMPAS, 13 April 2012
Ada celotehan yang muncul: mengapa
perbedaan—khususnya di ranah internal agama—saat ini terlihat semakin ganas.
Mudah bersitegang, tidak pernah tuntas, ujungnya saling menyalahkan. Jangan
murka dulu. Keluh kesah itu layak ditanggapi secara bijak. Seeing is believing, fakta yang bicara.
Apanya yang fakta? Kepenasaran kembali
meluncur. Bukankah beda pendapat dalam segala hal sah-sah saja?
Dunia ini diciptakan sudah bermacam rupa.
Mustahil untuk bisa dipersatukan. Tuhan menciptakan manusia dan seisi alam ini
beragam supaya manusia saling memahami dan mengenali satu sama lain (lita’arafu). Penyeragaman terjadi karena
ulah manusia yang didasari unsur luaran, semisal kepentingan politik.
Menyejarah
Sulit dielak, fakta keragaman dalam pemahaman
internal keagamaan sering kali mencuat. Sungguh, fakta tersebut sudah terjadi
jauh-jauh silam.
Dalam sejarah Islam, perbedaan pemikiran
bukan sesuatu yang ”najis”. Vonis penajisan hanya ”dibakukan” dalam kelompok
yang meyakini kebenaran pendapatnya, lalu menvonis pihak lain sebagai sesat.
Baku hantam pun kerap mewarnai perjalanan dalam pencarian kebenaran.
Sejarah juga mencatat, hiruk-pikuk polemik
dan kontroversi telah mewarnai pemikiran umat Islam sedari dulu. Sengitnya
perdebatan antara Muktazilah, Murjiah,
Rafidhah, dan Ahlussunnah,
misalnya, telah direkam rinci oleh Abdul Qohir ibn Thahir ibn Muhammad
al-Baghdadi dalam kitab al-Farqu bain al-Firaq. Dalam kitab tersebut terpapar
dengan jelas kemajemukan pemahaman keagamaan.
Masyhur diketahui, dulu ada sekte khawarij yang mengaku pembela Islam yang
paling orisinal. Mereka ini berslogan ’la hukma illa Allah’, tidak ada hukum
kecuali yang datang dari Allah. Mereka hendak memancangkan kedaulatan hukum
Allah.
Saking militannya untuk membela Islam, mereka
jadi kalap dan tega-teganya mengafirkan kubu Ali bin Abu Thalib dan kubu
Muawiyah bin Abu Sufyan yang terlibat dalam Perang Shiffin. Dalihnya, kedua
kubu tersebut telah keluar dari Islam karena menempuh ”tahkim” (arbitrase) demi
mengakhiri perang saudara di antara mereka.
Bagi khawarij,
model arbitrase dianggap identik
dengan berhukum berdasar aturan manusia, bukan aturan Allah. Karena itu, hukum
yang pantas adalah vonis kekufuran dan hukum mati. Tak ayal, pada Ahad pagi, 17
Ramadhan 40 H, Ali bin Abi Thalib dibunuh di Kuffah. Pembunuhnya adalah
Abdurrahman Ibnu Muljam. Sebenarnya yang akan dibunuh ada dua orang lagi, yakni
Gubernur Syam (Suriah) Muawiyah bin Abu Sofyan dan Gubernur Mesir Amr bin Ash.
Kedua pemimpin Islam ini akan dibunuh masing-masing oleh Abdul Mubarok dan Bakr
Attamimi.
Saat ini pun muncul jemaah-jemaah Islam yang
dengan ”pede”-nya tidak henti memojokkan Muslim lain sebagai ahli bidah, bahkan
musyrik. Presiden SBY dan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini pun sudah
sering ditunjuk-tunjuk sebagai penguasa dan negeri thoghut karena tidak mau
menerapkan hukum syariah. Tuduhan-tuduhan terhadap ulama di luar kelompoknya
juga kerap meluncur seperti tuduhan ulama sesat (su’) hanya karena berbeda cara pengambilan dasar pemikiran (istinbath al-hukm). Ada pula doktrin
dari suatu jemaah tertentu yang melarang menikahi seseorang yang jarang atau
tidak pernah menjalankan shalat berjemaah. Kumpul-kumpul dengan kelompok yang
dicap ahli bidah juga dilarang. Ukuran ’jidat hitam” atau beda cara berbusana
pun bisa menjadi arena pertikaian.
Sebenarnya, jauh sebelumnya, di negeri kita
muncul beberapa kelompok Islam yang kehadirannya menghebohkan sehingga
dilarang. Contoh yang terkenal adalah Islam Jamaah, DI/TII, Baha’i, Inkarus
Sunnah, Darul Arqam, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawuf berpaham wahdatul wujud, tarekat Mufarridiyah,
juga gerakan Bantaqiyah (Aceh).
Termasuk di dalamnya Ahmadiyah dan Syiah.
Sederet fakta di atas kiranya bisa jadi gambaran
betapa sikap saling sesat-menyesatkan terus bergulir selaju derap perkembangan
zaman. Porosnya adalah sikap yang mengklaim terhadap kebenaran pendapatnya
serta merasa diri sebagai yang paling benar dan selamat (firqah al-najy).
Di Balik Penyesatan
Kelompok yang divonis sesat atau sempalan
selalu dipandang sebagai kelompok yang memisahkan diri dari ortodoksi yang
berlaku. Di sini menebal keyakinan bahwa yang sesat adalah sesat; ada fatwanya
atau tidak. Dulu, kita ingat saat panas-panasnya ribut antara kalangan Islam
modernis dan kalangan tradisionalis, selalu muncul sikap saling tuding
sesat-menyesatkan. Dari sudut pandangan ulama tradisional, kaum modernis adalah
sesat, sedangkan kaum modernis justru menuduh lawannya menyimpang dari jalan
yang lurus.
Kelompok yang dituduh sesat tentu saja juga
menganggap dirinya lebih benar daripada lawannya. Biasanya mereka justru merasa
lebih yakin akan kebenaran paham atau pendirian mereka. Bahkan, sering kali
mereka cenderung eksklusif dan kritis terhadap para ulama yang mapan.
Sepanjang sejarah Islam telah terjadi
berbagai pergeseran dalam paham dominan, yang tidak lepas dari situasi politik.
Dalam banyak hal, ortodoksi didukung oleh penguasa, sedangkan paham yang tak
disetujui dicap sesat. Persoalan ortodoksi atau otoritas keagamaan terlihat
sebagai sesuatu yang bisa berubah menurut zaman dan tempat. Ada kadar
kontekstual.
Paham Asy’ariyah pada masa Abbasiyah pernah
dianggap sesat saat ulama Mu’tazililah yang waktu itu didukung penguasa
merupakan golongan yang dominan. Bahwa akhirnya paham Asy’ari-lah yang menang
juga tidak lepas dari faktor politik.
Contoh lain di Iran. Syiah berhasil
menggantikan Ahlussunnah sebagai paham dominan baru lima abad belakangan.
Seperti diketahui, Syiah Itsna ’asyara kini merupakan ortodoksi di Iran. Sampai
abad ke-10 H (abad ke-16 M), mayoritas penduduk Iran masih menganut mazhab
Syafi’i. Paham ini baru dominan setelah dinasti Safawiyah memproklamasikan
Syiah sebagai mazhab resmi negara dan mendatangkan ulama Syi’ah dari Irak Selatan.
Komunikasi
Dalam agama selalu ada yang sifatnya dogma (ma’lumun min al-diny bi al-dharurah).
Ini jangan diulik-ulik, sebaliknya harus dihampiri dengan iman. Makanya, ketika
muncul aliran-aliran ”aneh” seperti Lia Eden atau Al-Qiyadah yang mengaku-aku
”nabi” dengan menafikan ajaran yang sifatnya ritual, seperti tak wajib shalat
lima waktu, sontak disikapi secara tandas. Aliran-aliran tersebut dihukum
melenceng dari ajaran Islam yang baku.
Kata ”sesat” sendiri di dalam Al Quran
berasal dari akar kata dhalalah, yang dengan segala bentuk derivasinya
disebutkan 193 kali. Bermacam-macam sifat dan perilaku manusia oleh Al Quran
dinyatakan sebagai orang-orang yang sesat. Jangan lupa, ”penyesatan” juga
dibidikkan kepada orang-orang zalim serta orang yang suka hidup mewah,
berlebihan, dan korupsi.
Secara teoretis kita bisa meramalkan, semakin
dekat ortodoksi kepada kemapanan politik dan ekonomi, semakin kuat
kecenderungan radikalisme gerakan kelompok yang diinisiasi sesat. Nah,
disinilah perlunya dialog dan komunikasi secara terus-menerus, tidak hanya
bereaksi dengan melarang-larang. Terputusnya komunikasi akan mengandung bahaya.
Para tokoh agama perlu kembali memberikan perhatian lebih kepada umat dengan
memberikan pemahaman keagamaan yang lebih mendalam agar masyarakat merasakan
keteduhan dalam beragama serta meminimalkan ketegangan yang merusak harmoni
keindonesiaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar