Jumat, 13 April 2012

Hasil Survei dan Nurani Publik


Hasil Survei dan Nurani Publik
Bambang Sutrisno, Praktisi Komunikasi, Direktur Utama Strategy Communications
SUMBER : KOMPAS, 13 April 2012


Di tengah kemacetan yang kian menjadi-jadi dan banjir yang selalu datang setiap kali hujan deras mengguyur Ibu Kota, sebuah lembaga survei mengumumkan bahwa calon incumbent akan memenangi Pilkada Jakarta dalam satu putaran saja. Ini berarti calon yang bersangkutan diprediksi meraih suara di atas 50 persen, sesuai ketentuan UU No 29 Tahun 2007 yang khusus mengatur jabatan Gubernur DKI. Padahal, dari pengalaman pemilihan gubernur di beberapa provinsi, sangat jarang calon memperoleh lebih dari separuh suara pemilih.

Menanggapi hasil tersebut kontan saja aneka hujatan bertaburan, bukan saja hujatan terhadap calon incumbent yang disebut-sebut bakal memenangi pilkada dalam satu putaran, melainkan juga terhadap lembaga survei yang mengumumkannya.

Jika hujatan hanya mengarah pada calon incumbent, rasanya tidak terlalu sulit mencari hubungannya, terutama jika dikaitkan dengan kondisi Jakarta yang masih sering didera banjir dan macet. Padahal, pada saat kampanye tahun 2007 dulu, yang bersangkutan mengklaim dirinya sebagai 'ahli' yang akan menuntaskan berbagai masalah Jakarta.

Mengapa publik sampai merasa perlu menghujat sebuah lembaga survei? Apa sebenarnya yang dihujat? Apakah hasil surveinya yang dianggap tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, atau karena publik menganggap lembaga survei tersebut bukan lagi sebagai institusi yang netral untuk memotret keadaan masyarakat pada suatu periode tertentu? Mungkinkah institusi tersebut bekerja bagi kepentingan politik calon tertentu guna menggiring opini publik untuk memenangkan calonnya?

Strategi Kampanye

Dalam konteks pemilihan umum langsung termasuk pilkada, lembaga survei saat ini memang bukan hanya sebagai institusi yang berguna untuk memperkirakan hasil pemilihan semata. Lembaga survei juga bekerja untuk menggiring opini publik dalam memenangkan calon yang dominan. Tetapi, mengapa publik harus marah? Bukankah kemarahan sendiri adalah sebuah bukti bahwa individu sebagai bagian dari masyarakat memiliki kemampuan untuk memilih dan mengingat rekam jejak seorang calon hingga kemudian mencitrakan dan melekatkan reputasi baik atau buruk kepadanya?

Menanggapi hasil sebuah survei sejatinya memang harus dengan hasil survei lagi, karena survei masih dianggap sebagai bagian dari kerja ilmiah dalam menyampaikan data-data sesuai apa adanya berdasarkan temuan di lapangan. Akurasi sebuah survei akan sangat tergantung pada sejauh mana lembaga yang bersangkutan menggunakan standar metodologi yang tepat sehingga menjamin proses pengumpulan data lapangan secara akurat pula. Lembaga-lembaga survei yang 'bermain-main' dengan hasil survei tentu akan memiliki risiko dipandang sebelah mata oleh publik, manakala kelak terbukti hasil survei mereka melenceng jauh dari kenyataan.

Bagi kandidat yang diunggulkan, hasil survei (yang jujur maupun yang main-main) tentu saja menjadi poin tersendiri untuk semakin mendongkrak popularitasnya di mata pemilih. Karena, pemilih, konon, memiliki preferensi yang lebih kuat untuk memilih kandidat yang memiliki kemungkinan menang lebih besar. Sentimen psikologis ini disebut sebagai band-wagon effect, istilah yang dipopulerkan oleh Harvey Leibenstein (1950). Pada titik inilah mengumumkan hasil survei menjadi bagian dari strategi kampanye: untuk mendapat simpati publik yang lebih besar lagi.

Band wagon effect mungkin bisa menjadi salah satu alat analisis untuk memahami kemarahan publik. Perasaan kalah dalam pemilihan, bukan hanya akan melanda calon yang kalah tetapi juga pemilihnya. Umumnya pemilih menghindari memilih calon yang telah diperkirakan akan kalah.

Dari sisi ini, kemarahan terhadap lembaga survei tersebut bisa dipahami. Terutama, ketika berhadapan dengan situasi di mana banyak pemilih belum menentukan pilihannya jauh sebelum hari pemilihan. Bisa jadi karena belum merasa perlu menentukan pilihan, atau secara ideologis belum ada calon yang dapat meyakinkannya untuk dipilih. Celakanya, sekali lagi, sebagian besar pemilih di Indonesia adalah pemilih yang baru menentukan pilihan seminggu sebelum hari pemilihan.

Bagi sebagian orang yang marah, sangat meyakini bahwa band wagon effect telah disadari oleh kontestan dan tim suksesnya, sehingga mempublikasikan hal-hal yang bisa menimbulkan kesan mendalam bahwa seseorang calon akan menang menjadi sangat penting. Karena, hal ini merupakan salah satu strategi marketing politik sang calon untuk menyentuh pemilih yang didominasi oleh sisi afektifnya (emosionalnya) ketimbang rasionalnya.

Hasil survei memang dianggap oleh sebagian orang tidak sesuai dengan pendapat umum yang disampaikan baik melalui media massa maupun media sosial, dan ini tidak terbantahkan. Namun, ada pameo yang dipercaya oleh lembaga survei bahwa hasil survei adalah kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah hanya dapat dibantahkan lewat penelitian ilmiah pula. Tidak dapat dengan insinuasi atau cara-cara yang tidak ilmiah. Sehingga, untuk mematahkan hasil survei sebuah lembaga survei, harus dilakukan survei kembali oleh lembaga yang lain. Begitu seterusnya. Inilah lingkaran yang tidak putus-putus dikerjakan oleh kontestan untuk memberi keyakinan bahwa merekalah yang akan menang.

Jadi, merilis hasil survei lebih awal, jelas merupakan strategi marketing politik yang jitu untuk menyentuh sisi emosional pemilih yang didominasi sisi afektif ketimbang rasionalnya. Tetapi, sekaligus melukai hati nurani publik terutama yang telah tercerahkan dan bisa menelanjangi strategi tersebut sebagai upaya manipulasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar