Catatan
untuk Anggota Baru KPU
Hasyim Asy’ari, Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas
Hukum,
Universitas
Diponegoro, Semarang
SUMBER : KOMPAS, 13 April 2012
Sidang Paripurna DPR pada akhir Maret lalu
telah menetapkan tujuh calon anggota Komisi Pemilihan Umum. Dalam waktu dekat,
mereka akan dilantik menjadi anggota untuk periode 2012-2017.
Anggota baru KPU tidak akan berlama-lama
dalam suasana sukacita. Mereka akan segera menghadapi tugas yang berat terkait
dengan pemilu, di antaranya menangani pilkada yang sedang dan akan berlangsung
serta mempersiapkan Pemilu 2014.
Salah satu masalah berat yang harus segera
ditangani adalah memulihkan kepercayaan publik kepada KPU. Mahkamah Konstitusi,
misalnya, menilai KPU dalam Pemilu 2009 kurang berintegritas. Demikian pula DPR
melalui ”Pansus DPT” dan ”Pansus Mafia Pemilu” menilai KPU periode 2007-2012
menyisakan sejumlah masalah.
Sumber Masalah
Jika ditelisik lebih jauh, tampak
ketidakpercayaan publik berhulu pada tiga masalah. Pertama, integritas proses
dan integritas hasil pemilu. Kedua, lemahnya kepemimpinan KPU. Ketiga, ancaman
independensi KPU.
Sejumlah indikator dapat ditunjuk sebagai
pemicunya. Di antaranya adalah tahapan pemilu yang tidak tepat waktu, data yang
dipublikasikan KPU tidak akurat, sejumlah regulasi KPU tidak memenuhi tenggat,
dan data hasil pemilu yang berubah-ubah.
Lemahnya kepemimpinan KPU ditandai beberapa
indikasi. Di antaranya adalah koordinasi antaranggota KPU tidak solid, sikap
masing-masing anggota KPU yang berbeda-beda ke publik, koordinasi yang lemah
antara anggota KPU dan Sekretariat Jenderal KPU, serta sikap KPU yang tidak
memberi kepastian kepada jajaran KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Selain itu, ancaman independensi KPU selalu
disorot publik. Masalah independensi KPU itu ditandai sejumlah indikator
berikut, yaitu kapasitas anggota KPU diragukan publik, posisi KPU yang lemah
menghadapi pemangku kepentingan pemilu, dan sikap KPU yang sangat bergantung
kepada pemerintah dan DPR, serta keberpihakan sejumlah personel penyelenggara
pemilu di semua tingkatan.
Beberapa masalah yang dihadapi KPU pada
Pemilu 2009 mengarah kepada tiga hal. Pertama, tidak tersedianya aspek
fundamental pemilu yang potensial menggagalkan pemilu. Misalnya, tidak
tersedianya regulasi yang pasti; tidak tersedianya logistik utama pemilu berupa
surat suara, formulir berita acara, dan sertifikat penghitungan hasil suara;
serta tidak tersedianya personel penyelenggara (Panitia Pemilihan
Kecamatan/PPK, Panitia Pemungutan Suara/PPS, dan Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara/KPPS) yang berkualitas dan berintegritas.
Kedua, tidak tersedianya perencanaan
operasional dan anggaran serta data-data dasar yang tidak valid, seperti jumlah
pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT), jumlah tempat pemungutan suara (TPS),
dan hasil hitung suara. Ketiga, rendahnya kualitas personel penyelenggara
pemilu, alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran, dan ketidakpastian regulasi
KPU.
Penguatan KPU
Berdasarkan pemetaan masalah dan sumber
masalah yang dihadapi KPU periode lalu, penting direkomendasikan sejumlah
strategi penguatan KPU.
Pertama, meningkatkan koordinasi antaranggota
KPU. Kedua, meningkatkan kapasitas dan kualitas penyelenggara pemilu. Ketiga,
memperkuat komitmen dan integritas personel penyelenggara pemilu.
Keempat, memperkuat komunikasi dan
keterbukaan KPU kepada publik dan pemangku kepentingan pemilu. Kelima,
memastikan KPU menyusun regulasi KPU yang memberikan jaminan kepastian hukum.
Keenam, memastikan KPU menyediakan logistik pemilu.
Ketujuh, menjamin KPU memberikan jaminan ketersediaan
sejumlah data yang akurat. Kedelapan, memastikan KPU sebagai pemimpin dalam
penyelenggaraan pemilu dengan membuat kerangka kerja dukungan pihak-pihak di
luar KPU. Kesembilan, menjamin KPU bekerja dalam kerangka rencana kerja
operasional yang matang.
Maka, ke depan KPU perlu membentuk semacam
kelompok kerja (pokja) yang menangani secara teknis perkembangan pilkada di
sejumlah daerah. Langkah ini penting mengingat penyelenggaraan pilkada
berlangsung setiap saat. Bahkan, pada 2013 akan ada 12 provinsi yang
menyelenggarakan pilkada gubernur, belum lagi pilkada bupati/wali kota.
Ketangkasan menangani Pilkada 2013 menjadi modal penting Pemilu 2014.
Kedua, KPU perlu membentuk pokja persiapan
Pemilu 2014 yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Pemilu 2014. Hal-hal strategis yang harus segera dipersiapkan,
di antaranya adalah peraturan KPU sebagai pelaksanaan undang-undang serta
perekrutan penyelenggara pemilu di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
desa/kelurahan, dan petugas pemutakhiran data pemilih yang nantinya menjadi
anggota KPPS. Hal lain yang tidak kalah penting adalah persiapan anggaran
pemilu sesuai kebutuhan riil.
Ketiga, KPU harus segera membangun komunikasi
politik vertikal dan horizontal. Komunikasi politik vertikal dilakukan oleh KPU
untuk berkoordinasi dengan KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, PPK, PPS, dan KPPS
secara bertingkat.
Komunikasi politik horizontal yang harus
dilakukan KPU adalah membangun komunikasi politik dengan berbagai pihak, yaitu
(1) masyarakat/pemilih terkait informasi kegiatan pemilu dan pelayanan pemilih,
(2) peserta pemilu, (3) Badan/Panitia Pengawas Pemilu, (4) lembaga pemantau,
(5) media massa, (6) pemerintah dan pemerintah daerah dalam hal ini gubernur,
bupati, wali kota; DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan (7) lembaga
penegakan hukum.
Komunikasi politik menjadi penting karena
KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota merupakan lembaga sumber dan pembuat
informasi, keputusan, dan penyelenggara pemilu di tingkat pusat, daerah
provinsi, dan daerah kabupaten/kota. Kemampuan komunikasi politik ini merupakan
faktor keberhasilan dalam penyelenggaraan pemilu.
Untuk menjamin agar anggota KPU, KPU
provinsi, dan KPU kabupaten/kota dapat melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban
dalam menyelenggarakan pemilu dengan bersikap independen, transparan,
akuntabel, dan profesional, diperlukan kaidah standar perilaku bagi setiap
anggota KPU, baik di pusat maupun di daerah.
KPU harus menyusun kaidah standar perilaku
bagi segenap anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota yang merupakan
bagian dari KPU. Selain itu, KPU juga menetapkan pemberlakuan bagi segenap
anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, serta staf sekretariat
jenderal dan sekretariat untuk menaati kaidah standar perilaku anggota KPU.
Akhirnya, tentu saja agar rangkaian strategi
itu menjadi bermakna, diperlukan keberanian anggota KPU untuk bersikap tegas
dalam mengambil keputusan. Ketegasan dalam bersikap dan mengambil keputusan
diharapkan akan mampu mengembalikan kewibawaan KPU dalam memimpin
penyelenggaraan pemilu ke depan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar