Sandiwara DPR Bela Siapa?
Sofyan Hendra Fatkhurohman, Wartawan
Jawa Pos
SUMBER : JAWA POS, 02 April 2012
PEMERINTAH akhirnya gagal
mendapat persetujuan parlemen untuk menaikkan harga BBM per 1 April ini. Dengan
syarat deviasi 15 persen dari harga asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP)
yang dipatok USD 105 per barel, pemerintah belum bisa mengubah harga eceran
premium dan solar. Harga ICP per Maret sebenarnya sudah mencapai USD 128 per
barel, atau melampaui batas deviasi 15 persen, yakni USD 120,75 per barel.
Namun, karena harga yang dipakai adalah rata-rata enam bulan terakhir, kondisi
saat ini belum memenuhi syarat.
Keputusan tersebut tidak terlepas dari drama politik di parlemen yang memalukan. Tiga fraksi oposisi memang tidak ambil kompromi dengan tetap mengunci kewenangan pemerintah. Namun, fraksi-fraksi koalisi pemerintah sangat sibuk memoles citra agar masih tetap dianggap berada di barisan masyarakat yang menolak kenaikan harga BBM.
Fraksi Partai Golkar, misalnya. Kurang dari dua jam pembahasan di badan anggaran, mereka mengumumkan menolak kenaikan harga BBM. Padahal, dalam pembahasan dari awal hingga hampir ujung, Partai Golkar-lah yang membuat alur pembahasan menjadi lebih lancar dengan menyetujui opsi postur anggaran versi pemerintah yang mengasumsikan ada kenaikan harga BBM per 1 April.
Begitu pula halnya dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Sungguh pun mereka tegas menolak kenaikan harga BBM dalam rapat paripurna, tidak demikian sikapnya ketika di awal-awal pembahasan.
Persoalannya, siapa yang mereka bela? Para penolak (atau yang pura-pura menolak) kenaikan harga BBM, selalu mengklaim bahwa mereka tergugah membela kepentingan rakyat miskin.
Namun, jika harga tidak naik, ada pihak yang paling diuntungkan. Siapa? Saya ingin menggambarkan sosok yang paling diuntungkan itu dengan, sebut saja si Alay. Alay adalah pekerja swasta bergaji Rp 14 juta per bulan. Dengan penghasilan itu, dia bisa mencicil rumah di pinggiran Jakarta dengan angsuran Rp 2 juta per bulan. Dia juga bisa mencicil mobil Avanza dengan angsuran Rp 3 juta per bulan. Alay juga masih bisa sesekali nongkrong di Starbucks sambil memainkan iPad terbarunya.
Berapa pajak yang dibayar Alay setiap tahun? Dengan gaji Rp 14 juta per bulan, penghasilan per tahun adalah Rp 168 juta. Paling tinggi, pajak penghasilan (PPh) yang dibayar Alay adalah Rp 17 juta. Lalu, pajak pertambahan nilai (PPN). Anggap saja PPN yang dipungut dari dia melalui para penjual barang adalah sekitar Rp 300 ribu per bulan. Dengan begitu, setiap tahun Alay secara tidak sadar berkontribusi menyetor PPN Rp 3,6 juta. Untuk pajak bumi dan bangunan, paling banter Alay dipungut Rp 100 ribu. Dengan demikian, total pajak yang dibayar Alay adalah Rp 20,7 juta.
Memang lumayan pajak yang dibayar Alay. Tapi sayang, Alay masih membeli premium untuk Avanza-nya. Jika tiap hari dia membeli bensin Rp 50 ribu, atau Rp 1,5 juta dalam sebulan, dengan harga keekonomian yang sudah hampir dua kali lipat harga subsidi, pemerintah menyubsidi bensin si Alay Rp 1,5 juta per bulan. Dalam setahun, subsidi BBM yang dihabiskan Alay adalah Rp 18 juta.
Untuk listrik berkapasitas 2.200 VA dan menggunakan dua unit penyejuk ruangan, dia membayar tagihan listrik setidaknya Rp 500 ribu per bulan. Dengan subsidi listrik yang hampir separo, subsidi listrik yang dinikmati adalah Rp 250 ribu sebulan atau Rp 3 juta setahun.
Jadi, orang-orang seperti Alay ini setahun menghabiskan subsidi energi Rp 21 juta. Dengan pajak yang dibayarkan ke negara Rp 20,7 juta, negara masih tombok Rp 300 ribu.
Sekarang bandingkan dengan seorang buruh, sebut saja Aking. Upah si Aking adalah Rp 2 juta per bulan. Dengan penghasilan itu, dia masih ngontrak di sebuah rumah petak yang sumpek. Dengan gaji Rp 2 juta per bulan atau Rp 24 juta per tahun, pajak penghasilan yang dia bayar adalah Rp 710 ribu. PPN yang dipungut dari belanjanya sekitar Rp 125 ribu per bulan atau Rp 1,5 juta per tahun. Dengan demikian, total pajak yang dibayar Aking adalah Rp 2,21 juta per tahun.
Mari kita hitung subsidi yang dinikmati. Tagihan listrik per bulan untuk kapasitas 900 VA sekitar Rp 70 ribu per bulan. Dengan begitu, tiap bulan Aking menerima subsidi sekitar Rp 45 ribu atau Rp 540 ribu sebulan. Aking menghabiskan Rp 4.500 sehari untuk bensin motornya atau Rp 135 ribu sebulan. Dalam setahun, subsidi BBM yang dinikmati Aking adalah Rp 1,62 juta. Total subsidi energi yang dinikmati Aking adalah Rp 2,16 juta.
Dengan pajak Rp 2,21 juta per tahun dan subsidi energi Rp 2,16 per tahun, dari orang seperti Aking, negara justru mendapat surplus Rp 50 ribu.
Karena kondisi kehidupan yang makin sulit, Aking bersama kawan-kawan berdemonstrasi di depan gedung DPR, menghadapi aparat kepolisian. Sedangkan Alay, penikmat subsidi energi Rp 22,5 juta itu, tengah berada di Starbucks dan memainkan iPad-nya sambil menggerutu dan memaki-maki demonstran yang memacetkan lalu lintas lewat Twitter.
Lalu, anggota-anggota DPR itu bersandiwara membela siapa? ●
Keputusan tersebut tidak terlepas dari drama politik di parlemen yang memalukan. Tiga fraksi oposisi memang tidak ambil kompromi dengan tetap mengunci kewenangan pemerintah. Namun, fraksi-fraksi koalisi pemerintah sangat sibuk memoles citra agar masih tetap dianggap berada di barisan masyarakat yang menolak kenaikan harga BBM.
Fraksi Partai Golkar, misalnya. Kurang dari dua jam pembahasan di badan anggaran, mereka mengumumkan menolak kenaikan harga BBM. Padahal, dalam pembahasan dari awal hingga hampir ujung, Partai Golkar-lah yang membuat alur pembahasan menjadi lebih lancar dengan menyetujui opsi postur anggaran versi pemerintah yang mengasumsikan ada kenaikan harga BBM per 1 April.
Begitu pula halnya dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Sungguh pun mereka tegas menolak kenaikan harga BBM dalam rapat paripurna, tidak demikian sikapnya ketika di awal-awal pembahasan.
Persoalannya, siapa yang mereka bela? Para penolak (atau yang pura-pura menolak) kenaikan harga BBM, selalu mengklaim bahwa mereka tergugah membela kepentingan rakyat miskin.
Namun, jika harga tidak naik, ada pihak yang paling diuntungkan. Siapa? Saya ingin menggambarkan sosok yang paling diuntungkan itu dengan, sebut saja si Alay. Alay adalah pekerja swasta bergaji Rp 14 juta per bulan. Dengan penghasilan itu, dia bisa mencicil rumah di pinggiran Jakarta dengan angsuran Rp 2 juta per bulan. Dia juga bisa mencicil mobil Avanza dengan angsuran Rp 3 juta per bulan. Alay juga masih bisa sesekali nongkrong di Starbucks sambil memainkan iPad terbarunya.
Berapa pajak yang dibayar Alay setiap tahun? Dengan gaji Rp 14 juta per bulan, penghasilan per tahun adalah Rp 168 juta. Paling tinggi, pajak penghasilan (PPh) yang dibayar Alay adalah Rp 17 juta. Lalu, pajak pertambahan nilai (PPN). Anggap saja PPN yang dipungut dari dia melalui para penjual barang adalah sekitar Rp 300 ribu per bulan. Dengan begitu, setiap tahun Alay secara tidak sadar berkontribusi menyetor PPN Rp 3,6 juta. Untuk pajak bumi dan bangunan, paling banter Alay dipungut Rp 100 ribu. Dengan demikian, total pajak yang dibayar Alay adalah Rp 20,7 juta.
Memang lumayan pajak yang dibayar Alay. Tapi sayang, Alay masih membeli premium untuk Avanza-nya. Jika tiap hari dia membeli bensin Rp 50 ribu, atau Rp 1,5 juta dalam sebulan, dengan harga keekonomian yang sudah hampir dua kali lipat harga subsidi, pemerintah menyubsidi bensin si Alay Rp 1,5 juta per bulan. Dalam setahun, subsidi BBM yang dihabiskan Alay adalah Rp 18 juta.
Untuk listrik berkapasitas 2.200 VA dan menggunakan dua unit penyejuk ruangan, dia membayar tagihan listrik setidaknya Rp 500 ribu per bulan. Dengan subsidi listrik yang hampir separo, subsidi listrik yang dinikmati adalah Rp 250 ribu sebulan atau Rp 3 juta setahun.
Jadi, orang-orang seperti Alay ini setahun menghabiskan subsidi energi Rp 21 juta. Dengan pajak yang dibayarkan ke negara Rp 20,7 juta, negara masih tombok Rp 300 ribu.
Sekarang bandingkan dengan seorang buruh, sebut saja Aking. Upah si Aking adalah Rp 2 juta per bulan. Dengan penghasilan itu, dia masih ngontrak di sebuah rumah petak yang sumpek. Dengan gaji Rp 2 juta per bulan atau Rp 24 juta per tahun, pajak penghasilan yang dia bayar adalah Rp 710 ribu. PPN yang dipungut dari belanjanya sekitar Rp 125 ribu per bulan atau Rp 1,5 juta per tahun. Dengan demikian, total pajak yang dibayar Aking adalah Rp 2,21 juta per tahun.
Mari kita hitung subsidi yang dinikmati. Tagihan listrik per bulan untuk kapasitas 900 VA sekitar Rp 70 ribu per bulan. Dengan begitu, tiap bulan Aking menerima subsidi sekitar Rp 45 ribu atau Rp 540 ribu sebulan. Aking menghabiskan Rp 4.500 sehari untuk bensin motornya atau Rp 135 ribu sebulan. Dalam setahun, subsidi BBM yang dinikmati Aking adalah Rp 1,62 juta. Total subsidi energi yang dinikmati Aking adalah Rp 2,16 juta.
Dengan pajak Rp 2,21 juta per tahun dan subsidi energi Rp 2,16 per tahun, dari orang seperti Aking, negara justru mendapat surplus Rp 50 ribu.
Karena kondisi kehidupan yang makin sulit, Aking bersama kawan-kawan berdemonstrasi di depan gedung DPR, menghadapi aparat kepolisian. Sedangkan Alay, penikmat subsidi energi Rp 22,5 juta itu, tengah berada di Starbucks dan memainkan iPad-nya sambil menggerutu dan memaki-maki demonstran yang memacetkan lalu lintas lewat Twitter.
Lalu, anggota-anggota DPR itu bersandiwara membela siapa? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar