Papua dan
Negara yang Absen
Joko Wahyono, Peneliti pada Center for
Indonesian Political Studies (CIPS) Yogyakarta
SUMBER : SUARA KARYA, 11 April 2012
Teks sebagai bagian dari realitas sosial (part of social reality) tampaknya sudah tidak mampu menarasikan
kondisi Papua saat ini. Begitu banyak akar persoalan yang saling
berkaitkelindan satu sama lain melilit di bumi Cenderawasih. Ibarat puncak
gunung es, yang pucuknya terlihat, namun badan dan akarnya begitu panjang.
Mulai dari distorsi sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia,
pembangunan ekonomi sampai represivitas operasi militer dari pemerintah pusat.
Kesemuanya itu melahirkan kesenjangan dan ketidakadilan yang berujung pada
gejolak berkepanjangan. Hidup miskin di negeri yang alamnya kaya raya terjadi
secara nasional. Inilah akar masalah gejolak tersebut.
Pemiskinan adalah pelanggaran HAM yang sesungguhnya. Bagaimana
tidak, 50 persen penduduk Kabupaten Jaya Wijaya yang merupakan daerah operasi
Freeport, nyatanya hidup di bawah garis kemiskinan; 35 persen di antaranya
hidup di daerah pembuangan tailing yang penuh dengan zat berbahaya.
Lebih ironis lagi, upah buruh Indoneisa yang bekerja di tambang
emas raksasa ini hanya Rp 6 juta per bulan, lebih rendah dari upah di negara
asalnya yang mencapai 30 kali lipatnya. (Metrotvnews 9/11/11).
Belum lagi, dampak kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan.
Namun, saat buruh asli Papua menuntut kebebasan berserikat, perbaikan kondisi
kerja, penghapusan diskriminasi hak dan fasilitas antara pekerja asli Papua
dengan asing, serta kenaikan upah, mereka justru diintimidasi dan diberangus
dengan operasi militer dari pemerintah.
Menarik pernyataan dari Martin Luther King Jr, "Saya memiliki keberanian untuk percaya bahwa
orang di mana mereka berada dapat makan tiga kali sehari untuk tubuh mereka,
pendidikan dan kebudayaan untuk pikiran mereka, dan martabat, kualitas, dan
kebebasan untuk jiwa mereka. Saya percaya bahwa apa yang dihancurkan oleh
orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dapat dibangun kembali oleh
orang-orang yang memikirkan orang lain."
Pernyataan ini kiranya patut dijadikan titik balik bagi pemerintah
untuk hadir dalam menangani krisis multidimensi rakyat Papua secara serius
dengan berbasis pada pemerataan keadilan.
Ketidakadilan
Istana seolah menutup diri atas masalah dan konflik Papua? Klaim
masalah Papua adalah masalah ketidakadilan. Masyarakat Papua belum mendapat
banyak dari hasil kekayaan sumber daya alam yang dimiliki mereka. Ini
menyangkut persoalan ketidakadilan yang diterima oleh rakyat Papua. Menurut
data Badan Pusat Statistik 2004, Papua yang memiliki cadangan emas terbesar di
dunia justru tergolong provinsi dengan penduduk termiskin terbesar.
Bisa dibayangkan, dengan menyedot kekayaan alam Papua, Freeport
mampu meraih total pendapatan 2,3 miliar dolar AS tahun 2004, lalu meningkat
menjadi 4,2 miliar dolar AS pada 2005 dan tentunya dari tahun ke tahun semakin
meningkat. Dhus, wajar adanya anggapan bahwa konflik Papua dilatarbelakangi
oleh kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan.
Sejauh ini berbagai macam solusi, seperti tawaran dialog,
pendekatan budaya, sudah dicoba, tapi tetap belum bisa karena masing-masing
pihak yang berkonflik masih saling keras. Penyelesaian lewat ekonomi enggak
nyambung, penyelesaian lewat politik enggak jalan, penyelesaian lewat budaya
tak berkembang.
Pada Juni lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
mengumumkan akan melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan. Namun,
renegosiasi itu hanya membicarakan luas wilayah kerja, perpanjangan waktu
kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian,
serta divestasi dan kewajiban penggunaaan barang dan jasa dalam negeri.
Sementara kerusakan lingkungan, konflik sosial, militerisasi, dan
pelanggaran HAM di sekitar pertambangan sama sekali tak disinggung. Sepertinya
renegosiasi kontrak karya Freeport-Rio Tinto tak akan menjamin keselamatan
orang Papua.
Perlu Keberanian
Isu kemerdekaan bagi Papua itu sudah usang dan sepertinya sulit
diwujudkan. Banyak kepentingan bermain yang disebabkan oleh tribal sistem
(kesukuan), yang tentunya masing-masing suku memiliki kepentingan-kepentingan
tertentu, sehingga membuat kemerdekaan rakyat Papua sulit terealisasikan.
Permasalahan di Papua lebih kepada segregasi masyarakat akibat distribusi
ekonomi yang diskriminatif. Selain itu, ketiadaan figur yang representatif
menambah sumbu konflik di Papua.
Untuk menuntaskan masalah Papua ini, tidak bisa tidak, negara
harus hadir di bagian-bagian di mana orang Papua membutuhkan. Pemerintah harus
pasang badan, melakukan dialog penuh kehormatan dengan seluruh elemen
masyarakat Papua untuk menjernihkan persoalan distorsi sejarah, ketidakadilan
ekonomi dan represivitas aparat. Akan lebih fair lagi, jika dimediasi pihak
ketiga. Semua orang dilibatkan OPM dan para akademisi serta pimpinan gereja
sebagai payung.
Sudah waktunya pemerintah mendengar suara rakyat Papua dan
Indonesia yang menuntut Freeport-Rio Tinto ditutup dan dinasionalisasi seperti
Bolivia. Pemimpin harus tegas mengutamakan rakyat, bukan bertekuk lutut di
depan pemodal. Jika Bolivia mampu melakukan gebrakan nyata untuk memperjuangkan
rakyatnya, apa Indonesia tidak bisa? Atau, kita harus menunggu pemimpin yang
berani menghadapi kekuatan adidaya? Kalau menunggu kontrak habis 2041, tidakkah
berarti negara mengekalkan pelanggaran HAM? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar