Rabu, 11 April 2012

Baratayudha Pamungkas


Baratayudha Pamungkas
Sumaryoto, Anggota DPR, Fraksi PDI Perjuangan
SUMBER : SUARA MERDEKA, 11 April 2012


BILA tak ada aral, Rabu (11/4) ini DPR menggelar rapat paripurna untuk mengesahkan RUU Pemilu. Mengingat masih ada sejumlah pasal yang alot, pengambilan keputusan diprediksi secara voting. Ibarat perang, voting RUU Pemilu ini adalah Baratayudha terakhir atau pamungkas, sebelum parpol-parpol sibuk menghadapi Pemilu 2014.

Sebelumnya sudah ada Baratayudha di Senayan, yakni voting skandal Bank Century yang dimenangkan Pandawa yang memihak rakyat, dan voting harga BBM, di mana tak ada yang menang, namun rakyat bisa bernapas lega karena dalam 6 bulan terakhir tak ada kenaikan harga BBM, asal harga minyak mentah Indonesia tak naik melebihi 15% dari asumsi APBN.

Diprediksi, harga minyak mentah dalam 6 bulan terakhir cenderung turun sehingga tak ada kesempatan pemerintah menaikkan harga BBM. Kedua voting itu termasuk perang gagal, dan perang sesungguhnya adalah voting RUU Pemilu, karena UU Pemilu akan menentukan hidup matinya parpol.

Semua parpol mengklaim usahanya memenangi voting demi rakyat. Rakyat yang mana? Termasuk Partai Golkar yang saat voting harga BBM, Sabtu (31/30), justru seolah memilih berada di kubu pemerintah. Namun kemudian beredar rumor, langkah Golkar seolah menjadi ”pahlawan” di kubu Partai Demokrat, dengan berhasil mengusulkan tambahan Ayat (6a) pada Pasal 7 RUU APBN-P 2012 yang memberi ruang pemerintah menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan harga pasar internasional; ”ada udang di balik batu”.

Konon, Golkar mendapat kompensasi berupa anggaran penyelesaian kasus Lumpur Lapindo. Bahkan Ayat (6a) dibarter dengan Pasal 18 di mana korban lumpur di luar peta terdampak, yang semula di-cover PT Lapindo, kini di-cover pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sejak 2007 hingga sekarang negara telah mengeluarkan anggaran Rp 27,4 triliun untuk penanganan lumpur Lapindo, dan keluarga Aburizal Bakrie konon Rp 3,4 triliun.

Jadi, ada dua keuntungan yang dipetik Golkar, khususnya Ical, yakni keuntungan ekonomi, anggaran Rp 516 miliar itu, dan keuntungan politik, dapat mengendalikan Demokrat.

Bagaimana dengan voting RUU Pemilu, apakah Golkar juga akan menjadi ”pahlawan” atau justru pecundang bagi Demokrat?

Sampai berakhirnya rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi, hanya satu poin yang berhasil disikapi sama, yakni jumlah kursi per daerah pemilihan antara 3 dan 10.

Ada tiga poin krusial dalam RUU Pemilu yang belum disepakati, yakni sistem pemilu, terbuka atau tertutup; parliamentary threshold (PT) atau ambang batas perlemen; dan mekanisme penghitungan suara.

Demokrat (148 kursi) menghendaki sistem terbuka, PT 4%, dan mekanisme penghitungan suara model kuota; Golkar (106) sistem terbuka, PT 4%, dan model webster; PDIP (96) sistem tertutup, PT 3%, dan model webster; PKS (57) sistem tertutup, PT 4%, dan model webster; PAN (46) sistem terbuka, PT 3,5%, dan model kuota; PPP (38) sistem terbuka, PT 3%, dan model kuota; PKB (28) sistem tertutup, PT 3%, dan model kuota; Gerindra (26) sistem terbuka, PT 3,5% dan model kuota/webster; dan Hanura (17) sistem terbuka, PT 3%, dan model kuota.

Masalah Disiplin

Model webster, seperti dipakai dalam Pemilu 2009, adalah mekanisme penghitungan suara di mana jumlah perolehan kursi ditentukan dengan cara membagi jumlah penduduk tiap provinsi dengan bilangan pembagi atau divisor. Hasil pembagian jumlah penduduk tiap provinsi dengan bilangan ganjil kemudian diranking. Angka tertinggi secara berturut-turut mendapat kursi sesuai dengan jumlah kursi yang tersedia.

Mengapa PDIP memilih sistem tertutup? Pertama; alasan konstitusional bahwa peserta pemilu adalah parpol, bukan perorangan. Kedua; sistem tertutup mengutamakan kolektivitas dan kebersamaan. Ketiga; yang dilihat adalah visi misi parpol, bukan visi misi caleg.

 Sekadar perbandingan, hasil Pemilu 1999 dan 2004 yang menggunakan sistem proporsional tertutup kualitasnya jauh lebih baik, terutama soal disiplin anggota mengikuti rapat-rapat. Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional terbuka, sehingga ketika parpol-parpol menerapkan sistem nomor urut, Mahkamah Konstitisi (MK) kemudian menganulirnya setelah ada pihak yang menggugat, sehingga yang berlaku akhirnya suara terbanyak.

Pada detik-detik terakhir menjelang voting RUU Pemilu ini diprediksi akan terjadi pergeseran yang cukup atraktif, di mana Golkar akan memilih sistem tertutup yang sudah terbukti ”memenanginya”  pada Pemilu 2004 dengan perolehan 128 kursi, disusul PDIP dengan 109 kursi, sementara Demokrat hanya meraih 55 kursi.

Bagi parpol-parpol menengah seperti PAN, Gerindra, dan Hanura, sistem proporsional tertutup juga masih cukup menarik karena bisa disiasati dengan penerapan kombinasi sistem suara terbanyak dan nomor urut dalam menetapkan caleg terpilih di internal partai, sehingga kepentingan parpol terakomodasi. Dengan begitu, hasil voting sudah bisa ditebak, yakni yang akan dipilih mayoritas adalah sistem tertutup, PT 3,5%, kursi 3-10 per dapil, dan mekanisme penghitungan suara model webster.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar